40. Benang Kusut

1.4K 404 53
                                    

Yuhuuu!

Pa kabar kalian? Semoga masih nungguin cerita ini dan semangat ngikutinnya. Jangan lupa vote dan komen biar eike semangat, ya.

Betewe, eike ampir lupa apdet loh, kan eike minta diingetin? Faktor U nih. Oke? Ehem!

Oh, sebentar lagi ada yang istimewa dari eike, nanti, awal Mei. Inget sama selebgram di ceritanya Keke-Steven alias A Simple Love, Devara? Inget Goni? Kalo kalian kepo seandainya mereka dijadiin satu cerita, klik icon spotify di bagian bawah cerita. Di awal Mei itu kalian bakal ketemu mereka. Di mana? Di podcast eike, dong. Pengen didongengin, kan?

Buat sekarang, cuss.

BAGIAN EMPAT PULUH: BENANG KUSUT

Bram mengetukkan jemarinya di kayu meja. Keningnya berkerut, sementara matanya terpejam. Cukup lama waktu yang dia perlukan untuk mengambil sebuah keputusan, mengingat masalah yang ditimbulkan oleh isu suap seksual kini begitu besar. Sial sekali karena ini terjadi di saat dia memiliki agenda khusus untuk menarik Benjamin Mangkudilaga ke kubunya. Kalau sudah begini, maka semua rencana yang tersusun rapi harus dibongkar ulang, benar-benar pemborosan waktu dan sumber daya.

Ini semua gara-gara Utomo dan sekutunya yang serakah itu. Semakin besar keuntungan yang mereka peroleh dari usaha dan juga kecurangan yang terkadang difasilitasi oleh dewan ataupun pemerintah, semakin tidak puas mereka. Seolah-olah seluruh kekayaan di dunia tidak mampu memenuhi keserakahan mereka. Konyolnya, dia dengan sangat lalai telah membiarkan mereka menungganginya demi dana kampanye!

“Tina, kamu sudah memastikan jam berapa Pak Utomo sampai?” tanyanya.

Tina yang sedang mengetik di laptopnya mengangkat wajah dan mengangguk. “Sudah, Pak. Pak Utomo sudah di jalan dan kemungkinan sampai dalam sepuluh menit. Dia minta maaf karena terlambat, katanya dia membawa beberapa orang yang ingin dipertemukan dengan Bapak,” sahutnya.

Bram mengerutkan kening. “Apa kamu memastikan kalau ini adalah pertemuan privat? Kenapa dia malah membawa beberapa orang?” tanyanya tidak suka.

Ekspresi Tina tak berubah. “Beliau sudah tahu,” jawabnya, singkat. Tidak merasa perlu menjelaskan karena itu memang di luar kendalinya, dan Bram jelas mengerti.

Keras, Bram menghela napas. “Kalau begitu, kamu tahu apa yang harus dilakukan saat saya perlu bicara dengan Pak Hutomo berdua saja, kan?”

Tina mengangguk. “Ya, Pak.”

Beberapa saat Bram tercenung. Dia membuka brankas kecil di mejanya, mengeluarkan sebuah anak kunci, dan menyerahkannya kepada Tina. “Tolong luangkan waktu kamu untuk membongkar beberapa dokumen lama saya. Ada beberapa kasus yang dulu saya tangani, dan ada berkas khusus tentang Pak Aryo Seto yang tewas dalam kecelakaan delapan tahun lalu. Saya mau kamu susun ulang semua berkas berdasarkan tempat dan waktu kejadian. Sudah saatnya kita menimbang untuk beralih dari lingkaran lama ke lingkaran lebih baru.”

*****

“Bapak minta kita tunda dulu untuk urusan lobi biasa, sampai kapan?” Seperti biasa, Utomo, pangeran dari lingkaran kekuasaan lama yang masih punya pengaruh besar dalam perpolitikan dan juga ekonomi negara, bertanya tanpa merasa harus berbasa-basi.

Bram menyesap teh hijaunya sambil memandang ke kejauhan. Dibiarkannya pria yang lebih muda itu menunggu selama beberapa detik sebelum kemudian menjawab. “Sampai saya berhasil membereskan kekacauan yang timbul karena bocornya masalah ini.”

Utomo berdecak. “Kenapa harus menunda terlalu lama? Apa tidak bisa pakai cara seperti sebelumnya? Wartawan yang menulis artikel itu juga bukan wartawan yang paling terkenal, kan? Bisa saja tiba-tiba dia menghilang dan tidak akan ada yang merasa perlu mencarinya,” katanya dengan nada meremehkan.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now