46. Genting

1.2K 391 18
                                    

Mayday!

Uhuy, ada yang ikutan demo hari ini? Eike sih lebih suka demo panci atau masak pas arisan, hehehe.

So, Diana indehaus, silakan dibaca.

Ngingetin aja, ini udah awal Mei, berarti bentar lagi kalian bisa menikmati cerita baru eike secara audio, alias dibacain, alias didongengin. Yang belum coba Spotify, coba deh, dengerin eike di situ, ya. Abis itu, klik gambar ijo di bawah cerita eike. Langsung kalian dibawa ke situ. Mulai minggu depan!

Cekidot.

BAGIAN EMPAT PULUH ENAM: GENTING

“Gue dikasih tahu kalau kita pakai mobil Mas Gatot untuk ke kantor Herman Bulaeng, Di. Lo yakin, enggak masalah kalau kita ke sana? Dia kan….”

“Mantan camer gue?” Diana menukas kalimat Bejo. “Udah lama kali, Jo. Udah enggak masalah lagi. Gue pro, ngerti, kan lo?”

Bejo menyeringai. “Okelah kalo begetoh. Yo wes, gue parkir motor dulu, ya? Kita dianter sopir, kan?”

Diana mengangguk. “He’eh, gue lapor Mas Gatot bentar, lo parkir dulu, deh. Ketemuan depan lobi aja, ya?”

Bejo mengacungkan jempol dan kemudian berlalu, sementara Diana masuk ke dalam kantor. Setelah bicara sebentar dengan atasannya dan memeriksa sekali lagi laptop dan perlengkapan lain yang diperlukan, dia pun melangkah keluar. Mobil sang atasan sudah menunggu bersama supirnya, sementara dari arah lain gedung kantor, tampak Bejo berjalan sambil menenteng perlengkapannya sendiri.

Diana membuka pintu depan hendak masuk ke sebelah pengemudi, tapi getar di ponsel membuatnya membatalkan niat. Dia memandang supir yang menunggu sambil tersenyum lebar. “Bentar, Pak. terima telepon dulu,” katanya.

Sang supir mengangguk. Diana sedikit mundur dan meraih ponselnya. Ada nomor tak dikenal di situ, juga notifikasi pesan dari nomor yang sama. Dia mengerutkan kening. Entah kenapa merasa tidak enak seolah-olah ada firasat buruk yang datang tiba-tiba. Sejenak dia menunggu, belum menerima panggilan itu, dan ternyata, panggilan terhenti. Dia menghela napas, membuka kunci layar dan melihat pesan yang masuk. Sebuah foto terpampang, dan dia terhuyung sampai menabrak Bejo yang tiba di belakangnya.

“Di?” Bejo keheranan.

Diana menoleh dan menatapnya. Wajahnya pucat pasi. “Jo ….”

Bejo langsung menangkap gelagat tidak baik itu. “Kenapa?”

Diana menunjukkan foto di ponselnya dengan tangan gemetar. Kepanikan tampak menguasai benaknya. Bejo sendiri ikut memucat. Seolah-olah darah berhenti mengalir melihat siapa yang ada di situ.

*******

Tyo menajamkan pandangannya sekali lagi dan langsung merasa yakin. Pria di depan sana adalah orang yang sama dengan yang tertangkap CCTV tengah mencuri dari mobil Diana. Benaknya dipenuhi tanya, apakah pria itu bertindak sendiri? Berani sekali dia membuntuti Diana dan Bejo bolak-balik bahkan sampai ke kantor polisi. Sebaiknya dia segera bertindak, menangkap orang itu dan memaksanya untuk mengaku, siapa yang sudah memberikan perintah, sekaligus melemparkannya ke penjara.

Baru saja dia hendak bergerak, sudut matanya melihat sesuatu yang janggal. Refleks, dia menoleh dan melihat ke arah Diana dan Bejo yang memang tidak mengetahui kehadirannya di situ. Diana tampak menutup mulutnya, dan dari sikap tubuhnya, Tyo langsung tahu. Ada yang tidak beres.

Dia kembali melihat ke arah pria mencurigakan yang kini berjalan santai menuju sebuah mobil dan langsung masuk ke dalamnya—cepat, Tyo menghafal nomor pelatnya—lalu ke arah Diana dan Bejo. Keraguan menyergap. Apa yang harus dilakukannya? Menangkap pria itu, atau mendatangi Diana yang sepertinya tidak baik-baik saja? Saat itulah ponselnya bergetar. Nomor Bejo tertera di situ. Tyo pun langsung memutuskan untuk memilih Diana dan Bejo. Pria mencurigakan itu bisa diurus nanti.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang