Akhir Kisah-Awal Baru

2.7K 445 87
                                    

Syelamat sore epribadeh!

Yang kemaren bilang tanggung, nih eike beneran tamatin, deh. Hehehe.

Buat yang nungguin episode dua Devara di Spotify, barusan udah tayang, ya. Semoga bisa ngobatin kangennya kalian ke Goni juga.

Now, enjoy.

BAB EKSTRA: AKHIR KISAH-AWAL BARU

Bram menyaksikan berita di televisi dengan kening berkerut semakin dalam. Berat, dia menghela napas dan tersenyum pahit. Bahkan konglomerat sekelas Utomo, Rachmat Widjaya, dan Herman Bulaeng pun tidak bisa menghindar saat fakta soal suap seksual itu terbongkar. Meski dalam kasus yang terjadi delapan tahun lalu mereka bisa mengalihkan sebagian besar kesalahan kepada Kusno dan Musri serta mantan gubernur Eddy. Nama ketiga orang itu ada sebagai pemilik dari perusahaan dan aset negara yang dicaplok secara ilegal, bahkan mengorbankan banyak nyawa. Saat kematiannya, Aryo Seto sedang menginvestigasi soal itu. Hukuman mati menanti ketiganya, tapi, hanya Eddy yang bisa diadili karena Musri maupun Kusno menghilang.

“Kami tidak bisa membantu menyingkirkan kecurigaan akan keterlibatan Bapak sepenuhnya, terlebih, hubungan Bapak dengan Pak Aryo Seto dulu ikut terangkat ke permukaan. Ada isu kalau Bapak adalah orang terakhir yang dihubungi Pak Aryo,” kata Tina. Dia menyerahkan tablet dengan dokumen yang diminta Bram di dalamnya.

Bram menerima tablet itu dengan murung. “Seberapa banyak kerugian tiga sekawan, Utomo, Rachmat, dan Herman Bulaeng?”

“Utomo, 90 perusahaan yang memakai nama Musri, Eddy, dan Kusno. Rachmat, 30 perusahaan dan 2 lahan pertambangan atas nama Eddy, dan Herman Bulaeng 25 lahan atas nama Musri dan Pak Eddy. Pak Herman tidak mengenal Kusno.”

“Baguslah, berarti dia tidak akan dikaitkan dengan kematian Pak Aryo dan dua pengusaha itu. kita ingin Roberto bisa tetap maju.”

Tina menatapnya, menimbang sejenak sebelum kemudian bertanya. “Kenapa Bapak tetap menolong Pak Utomo dan Pak Rachmat, padahal mereka bukan orang-orang baik bahkan terlibat dalam kematian sahabat Bapak?”

Senyum masih menggantung di ujung bibir Bram saat dia menjawab. “Olympus dan Widjaya Group, Tina. Partai tetap membutuhkan sponsor, dan … tidak ada konglomerat yang bersih. Jadi siapa pun yang bisa memenuhi kebutuhan partai, dia yang mendapat keuntungan dari saya.”

Tina tertawa pahit dalam hati. Tentu saja. Bagaimanapun, uang sebagai alat paling efektif tidak akan pernah tergantikan saat sebuah ambisi menjadi terlalu besar.

“Satu lagi, Tina.” Tiba-tiba Bram menyambung. “Tolong jadwal ulang pertemuan dengan Pak Benjamin, kalau perlu, saya akan merendahkan diri agar bisa menemuinya.”

“Mengenai Pak Benjamin … “ Tina langsung teringat, “beliau bilang akan menelepon Bapak sebentar lagi. Oh… sekarang sudah waktunya.” Dia meraih ponselnya yang berdering dan menerima panggilan. Setelah memastikan siapa yang menelepon, dia menyerahkan ponsel itu kepada Bram yang melebarkan senyum saat menyapa.

“Halo, Pak Ben, apa kabar?”

“Halo, Pak Bram? Kabar baik, terima kasih. Bu Tina bilang Bapak mencari saya selama beberapa waktu?” Suara Benjamin Mangkudilaga, satu-satunya pria yang dihormati Bram terdengar.

Bram mengangguk meski Benjamin tidak akan bisa melihatnya. “Ya. Saya ingin menemui Bapak empat mata, bisa? Katakanlah, saya ingin Bapak mengambil alih posisi saya?”

*******

Malam telah larut saat Bram akhirnya menghela napas sambil menarik laci mejanya dan mengeluarkan sebuah amplop dengan logo rumah sakit di situ. Diambilnya isi amplop, sebuah hasil diagnosa dokter yang baru-baru ini ditemuinya.

Diana, Sang Pemburu BadaiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt