57. Gue Marah, Jo!

1.4K 392 27
                                    

Met Senin pagi! Met bulan Juni, dan buat mantemans eike umat Budha, selamat merayakan Waisak, ya. Sabbe satta bhavantu sukhitatta (semoga semua makhluk berbahagia).

So, Diana-Tyo balik indehaus, manggung pagi-pagi buat nyemangatin kalian semua. Buat yang masih nungguin cerita baru yang bakalan dibacain dengan cara dramatis alias dongeng, kesabaran kalian pasti terbayar sebentar lagi. Ini bulan Juni! Yes. Pantengin Winnyraca di Spotify, ya.

Now, enjoy.

BAGIAN LIMA PULUH TUJUH : GUE MARAH, JO!

“Belum ada tanggapan dari Pak Hadi terkait jebakan yang dibuat untuk dua karyawannya?” tanya Bram, heran.

Tina menggeleng. “Belum ada, Pak,” jawabnya.

Bram menghela napas dan mengerutkan kening. “Aneh. Jelas sekali kalau jebakan ini berantakan, mereka bisa saja mempermalukan seluruh kepolisian dengan bukti dan saksi yang mereka punya, tapi kenapa malah menunda dan membiarkan beberapa badut bicara?” Dia memandang Ferdy yang berdiri dalam hening di bawah naungan bayangan.

“Kamu yakin tidak melihat kantong-kantong narkoba itu, Fer? Jadi mereka sama sekali tidak membawa apa pun semacam itu?”

Ferdy menjawab tenang. “Tidak ada sama sekali, Pak. Satu-satunya benda yang saya curigai sebagai narkoba adalah sebuah ampul kosong, yang sepertinya disuntikkan ke Bu Marini. Tidak ada yang lain.”

“Termasuk alat memakai narkoba, apa itu? Bong?”

“Termasuk itu. Tidak ada.”

Bram mengusap dagunya, lalu berjalan ke arah jendela, selama beberapa saat berpikir. Lalu, sesuatu melintas di benaknya, membuatnya tertegun.

“Kapolri adalah orang yang dikenal bersih, tapi banyak yang menganggap dia kurang mampu bersikap tegas terhadap beberapa bawahan yang disinyalir punya jaringan di dalam kepolisian, bukan?” tanyanya sambil berpikir.

“Betul, Pak,” jawab Tina. “Rumornya, kebanyakan dari mereka yang sulit diatur adalah mereka yang dibekingi oleh Pak Utomo dan beberapa anggota dewan dari koalisi kita.”

Bram mengangguk. “Saya suka Kapolri. Orang seperti itu yang kita butuhkan, tapi kadang bisa merepotkan kalau terlalu idealis dan tidak bisa melihat tujuan yang lebih besar, bukan?”

Tina dan Ferdy tidak menjawab pertanyaan retoris itu. Bram terkekeh.

“Saya mengerti sekarang. Kapolri katanya dekat dengan jaksa agung dan juga … Pak Hadi Tanusubroto. Ah … saya yakin, sebentar lagi akan ada pertunjukkan yang sangat bagus dan beberapa bintang akan berguguran. Bersiaplah, Tina. Kita perlu menyelamatkan beberapa orang dan membuat mereka berutang budi.”

Tina dan Ferdy saling berpandangan. “Mohon maaf, Pak,” kata Tina. “Saya tidak mengerti maksud Bapak.”

Kekehan Bram semakin menjadi. “Kapolri sudah dihubungi oleh Pak Hadi dan mungkin sudah membuat langkah progresif terkait kasus penculikan Bu Marini. Mereka bekerja dalam diam untuk membuat sekelompok orang yang paling sulit diatur nantinya dipermalukan. Mereka yang akan jatuh itu, pilih yang sekiranya berguna untuk kita, dan buat rencana untuk menyelamatkan.”

Tina langsung mengangguk. “Baik, Pak.”

Bram menatap Ferdy. “Oh, Ferdy. Kamu yakin tidak meninggalkan jejak sedikit pun di sana, bukan? Jangan sampai ada apa pun yang mengaitkan kejadian itu dengan kita.”

“Positif, Pak.”

“Bagus! Tina, cari tahu soal kondisi Bu Marini. Kita harus menunjukkan belasungkawa kita sejak awal.”

Tina mengerutkan kening. “Keberadaan Bu Marini, Bu Diana, serta Pak Rizky tidak terlacak, Pak. Bahkan Pak Rizky yang terakhir kami lihat berada di lokasi kecelakaan Pak Bambang, kini tidak ada kabarnya.”

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now