28. Memeriksa Fakta

1.9K 481 24
                                    

Met Rabu malem!

Pa kabar kalian di tengah minggu? Capek? Tetep semangat ya. Kayak eike yang masih tetep semangat apdet biarpun lagi gak terlalu sehat.

So, hari ini harusnya penutupan giveaway berhadiah novel eike yang judulnya Yemima. Buat kalian yang belum sempet ikutan, cuss ke work Dear Precious Me di bab giveaway dan cek ketentuannya. Eike tunggu jawaban kalian, dan novel Yemima serta notes cantik akan meluncur untuk 3 pemenang. Buruan ya.

Now, enjoy.

BAGIAN DUA PULUH DELAPAN: MEMERIKSA FAKTA

“Mendekati satu demi satu orang di daftar tersangka? Enggak! Meski untuk memeriksa fakta, itu bahaya, Di.” Tyo langsung merasa keberatan saat Diana melemparkan gagasan untuk mendekati orang-orang dalam daftar mereka yang kemungkinan menangguk keuntungan dari penetapan RUU Pertambangan yang baru.

Diana merengut. “Tapi dokumen yang diberikan narsumku cuma bisa dipakai kalau aku sudah lakukan cek fakta, Tyo. Aku enggak mau sembarangan mengarahkan opini terhadap orang-orang tertentu hanya bermodal kecurigaan dan bukti yang mendasari hanya dari satu pihak. Ini urusan suap seksual, lho,” bantahnya. “Lagi pula, artikel pembuka sudah meluncur, dan aku janjiin untuk buat sambungannya minggu depan.”

Tyo menghela napas. “Tetap saja, kita bisa cari cara lain untuk cek fakta, Di. Aku … aku enggak mau kamu….” Dia menutup mulutnya, kesulitan menemukan kalimat yang tepat tanpa mengungkit apa yang terjadi di masa lalu.

Diana tersenyum, ia meraih tangan Tyo dan meremasnya. “Aku ngerti, kamu enggak mau kalau aku sampai mengalami apa yang dialami bapakku, kan?” tanyanya lembut.

Tyo tertunduk, memandangi jemarinya yang ada di genggaman Diana. Sambil kembali menghela napas, dia balas menggenggam jemari Diana, memperhatikan dengan saksama bagaimana tangan Diana terlihat begitu mungil dalam genggaman tangannya yang kasar.

“Pak Aryo adalah wartawan kawakan, Di, dengan banyak pengalaman serta kemampuan yang enggak diragukan lagi. Aku enggak meragukan kamu, tapi jam terbang kamu masih jauh dari beliau, dan beliau masih saja … mengalami kejadian tragis itu.” Tyo berkata hati-hati.

Diana tersenyum tipis, pahit. Dia ikut menghela napas dan memandang Tyo, sabar. “Aku ngerti. Selain itu, aku juga perempuan, kan? Jenis kelaminku membuat bahaya ini berkali lipat bobotnya. Betul?”

Tyo tidak menjawab tapi menatapnya tepat ke manik mata, mencoba menunjukkan kekhawatiran tanpa kata. Masih tersenyum, Diana membalas tatapannya.

“Tyo, Bapak mungkin punya jam terbang berlipat kali dariku, Bapak juga laki-laki, secara fisik, mungkin lebih kuat dibanding aku. Tapi, sekarang ini aku punya banyak faktor yang lebih menguntungkan, lho. Pertama, aku punya pacar petugas polisi yang menyamar di kalangan preman, dan jagoan yang enggak tanggung-tanggung. Kedua, aku hidup di jaman yang memungkinkan orang untuk mengetahui informasi lebih cepat dibanding jaman Bapak dulu. Ketiga, ada media sosial yang bisa digunakan untuk membatasi gerakan orang-orang yang dulu bisa mencelakai Bapak dengan mudah, tapi, pastinya harus berpikir berkali-kali sebelum melakukannya lagi sekarang. Terakhir, aku punya bayangan soal siapa aja yang mungkin melakukan kejahatan itu, beda dengan Bapak yang waktu itu masih meraba. Jadi, kamu enggak perlu terlalu khawatir, Tyo.”

Tyo tercenung. Diana benar. Berbeda dengan Aryo Seto, sekarang ini dia punya banyak keuntungan seperti disebutkannya. Terutama, kekuatan media sosial yang merupakan dukungan terbesar seandainya pihak yang lebih berkuasa ingin melakukan sesuatu yang membahayakan gadis itu. Tetap saja, rasanya masih gamang.

Mengerti pergulatan batin kekasihnya, Diana mengulurkan tangan dan mengusap pipi berewokan Tyo. “Aku janji, kalau terlalu berbahaya, aku mundur. Aku juga akan sangat komunikatif dengan kamu, jadi seandainya ada ancaman atau hal sejenis, kamu akan langsung tahu. Oke?”

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now