30. Menyingkirkan Keraguan

1.8K 480 35
                                    

Met pagi epribadeh!

Widih udah Desember euy. Mon maap, apdet ketunda melulu, akhirnya bisa juga hari ini.

So, Diana indehaus. Sekalian ngabarin kalo giveaway Dear Precious Me ditutup,  tiga pemenang udah dihubungi, yang belum beruntung, ikutan lagi di giveaway berikutnya ya.

Untuk podcast Dear Precious Me sendiri, episode 10 yang bahas soal kemageran hakiki dan cara menyiasatinya, udah tayang di podcast ya. Cuss, meluncur.

Now, enjoy.

BAGIAN TIGA PULUH: MENYINGKIRKAN KERAGUAN

Priyono, asisten Hadi Tanusubroto membuatkan janji dengan beberapa orang yang dimaksud Diana sekaligus, membuat Diana dan Gatot saling berpandangan heran. Mereka bertanya-tanya, untuk apa sang bos besar sampai harus mengutus asistennya yang berharga dan bergaji sangat tinggi itu hanya untuk membantu salah satu wartawati, padahal wartawati itu bisa melakukan sendiri pekerjaannya?

"Saya sudah membuatkan janji dengan ketiga orang yang Mbak maksud, ini hari dan alamat yang ditentukan untuk pertemuan wawancara." Priyo memberikan selembar kertas yang membuat Diana tercengang. Bahkan tulisan tangannya pun mirip dengan huruf hasil ketikan!

"Uhm ... baik, terima kasih, Pak. Maaf merepotkan," ucapnya, tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan.

Priyo menganggguk. "Sama-sama. Mohon beri tahu saja kalau ada lagi yang diperlukan," jawabnya. Dia mengangguk sopan, lalu berpamitan pada Diana dan ketua redaksinya yang untuk beberapa saat masih memandang arah kepergiaannya.

"Asisten Pak HT itu punya gaji jauh lebih besar dari kita, Di," kata Gatot, tiba-tiba.

Diana menoleh dan mengerutkan keningnya. "Terus? Kenapa, Mas?" tanyanya heran. "Mas Gatot ngiri?"

Gatot menatapnya dan menggeleng. "Enggak. Karena biarpun gajinya gila, dia enggak punya kehidupan pribadi. Bisa dibilang, dia lebih lama di sebelah Pak HT dibanding istri Pak HT sendiri. Ngeri, kan?" katanya.

Diana cengengesan. "Terus, esensinya Mas Gatot ngomong begini, apa, Mas?"

Gatot mengedip cepat, tersadar dengan keabsurdannya. "Enggak ada, kepingin komen saja," katanya dengan nada datar. Dia menggerakkan tangan dengan gaya mengusir. "Kerja!"

Diana hampir tertawa, tapi mengurungkan niatnya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi ibunya, ada sesuatu yang harus dikonfirmasi.

"Halo, Bu? Aku mau tanya, Ibu kenal Pak Hadi Tanusubroto secara pribadi? Atau ... Bapak, deh, kenal enggak sama beliau?"

******

Menurut ibunya, Aryo Seto pernah sempat mengenal Hadi, tapi tidak sedekat itu, apalagi sebagai senior segala. Senior dari mana? Mereka hampir tidak pernah bersinggungan kecuali saat Aryo mewawancarainya sebagai salah satu pengusaha sukses dengan stasiun televisi pertama yang meraih penghargaan se-Asia Tenggara. Berarti, bos Diana itu berbohong, atau sekadar basa-basi. Hm ... sikapnya sulit ditebak.

Namun, delapan tahun lalu atau pun sekarang, Hadi Tanusubroto jelas tidak berkepentingan sama sekali dengan Aryo Seto ataupun keluarganya. Dia bahkan bukan bos Aryo, karena ayah Diana bekerja di media lain. Jadi, apakah dengan demikian, Diana boleh merasa sedikit lega dan tidak terlalu khawatir? Yang jelas, Diana bertekad untuk tetap waspada. Tidak ada yang bisa dipercayainya saat ini, meski jika orang itu adalah bos tertinggi di tempatnya bekerja.

Tak sengaja, tangan Diana meraba liontin anak kuncinya. Meski sekarang dia tahu dan punya akses ke kotak deposit Aryo, Diana masih belum menemukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk melihat apa isinya. Masih ada penguntit yang terus mengirimi ibunya pesan ancaman itu, dan ia harus menunggu kepastian dari Tyo dulu soal siapa si penguntit. Akan sangat konyol kalau gara-gara tak sabar, bukti apa pun yang ada di dalam kotak itu sampai direbut oleh si penguntit, dan merusak semua yang sudah tersusun rapi.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now