12. Penjelasan Ibu

2.4K 665 28
                                    

Met pagi!

Enjoy!

BAGIAN DUA BELAS: PENJELASAN IBU

"Tumben, kalem?"

Pertanyaan ibunya membuat Diana mengangkat wajah dan memandang sang wanita kesayangan dengan lekat. "Ibu masih ngajar malam?" tanyanya balik.

Ibunya mengangguk. "Mungkin sampai semester depan. Kenapa?" sahutnya.

Diana menimbang. "Bu, kalau memang ada jam malam, tolong kasih tahu aku. Nanti aku antar jemput."

"Lah, ngapain pakek dijemput? Nanti mobil Ibu gimana? Ditinggal?" ibunya tertawa dan mulai menikmati sarapannya.

"Iya. Mobil Ibu ditinggal aja, setiap hari aku bisa drop Ibu, kan?"

"Repot amat."

"Bu...." Nada suara Diana mendesak.

Marini meletakkan sendok dan mengamatinya, heran. "Kenapa mendadak perhatian gini? Biasanya kamu cuek aja, biarpun Ibu jalan bareng temen-temen dosen misalnya?" selidiknya.

Diana tertunduk dan memainkan sendoknya. "Ada yang mengganggu Ibu akhir-akhir ini, kan?" terkanya langsung.

Ibunya mengerutkan kening. "Maksud kamu?"

Diana menimbang sejenak. Tangannya terulur, mengetuk ponsel ibunya di atas meja dengan telunjuk. "Ada yang ganggu Ibu lewat hape. Entah lewat chat, telepon, atau email. Aku enggak tahu persisnya, tapi Ibu selalu kelihatan takut setiap kali terima notif."

Marini tertegun, membuat Diana tersenyum pahit.

"Ibu bahkan enggak sempat berkilah sekarang, kan?" katanya.

Sang ibu menghela napas. "Di, enggak usah sok tahu." Ia masih berusaha berkelit.

Diana menggeleng. "Aku enggak sok tahu, itu sebenarnya."

Ibunya terdiam.

"Siapa yang ngancem Ibu? Orang yang merasa kurugikan? Ada artikel yang dianggap menyinggung?"

Ibunya menggeleng, tertunduk sambil mengaduk makanannya. Diana menghela napas. Dia menaruh amplop di hadapan ibunya yang langsung mengerjap kaget.

"Kalau bukan orang yang terganggu sama artikelku, apa mungkin ... dia berhubungan dengan ini?" Dia bertanya.

Hening sejenak. Marini sadar, seperti saat berhadapan dengan almarhum suaminya dulu, tidak ada yang bisa disembunyikannya dari pengamatan tajam Diana. Dia pun tersenyum pahit. Ayah dan putri sama saja, terlalu tajam dan sulit kompromi. Keras, dia mengembuskan napas dan memilih bersikap jujur.

"Ibu enggak tahu siapa yang kirim, tapi yang jelas, ancaman itu sudah ada dari dulu. Bahkan sebelum Bapak meninggal," katanya.

Diana termangu. "Sebelum Bapak meninggal?"

Marini mengangguk. "Dulu, ancaman itu belum berupa foto, hanya SMS. Isinya, menyuruh Ibu membujuk Bapak untuk tidak meneruskan investigasi atau akan terjadi sesuatu pada Ibu atau kamu."

Ekspresi Diana mengeras. "Ibu masih simpan SMS-nya?"

"Di hape lama Ibu."

"Waktu itu Ibu kasih lihat ke Bapak?"

Marini tertunduk. "Iya. Bapak sempat gentar dan ingin mengungsikan Ibu dan kamu, tapi ...."

"Tapi?"

"Bapak mencium adanya relasi antara siapa pun yang sedang diinvestigasi olehnya dengan ... ayah Berto atau mungkin koleganya. Bapak bimbang, enggak mau hubunganmu dengan Berto bermasalah, tapi juga mustahil mengorbankan idelisme dan prinsipnya. Makanya dia bertekad untuk menjernihkan segala sesuatu dulu. Dia yakin, Pak Herman enggak salah, tapi rasa yakin pun tetap harus dibuktikan, bukan?"

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now