62. Bumerang

1.4K 396 36
                                    

Hari Rabu!

Semoga tetap semangat dan gak lesu ya. Buat yang nunggu podcast Winnyraca, mulai Senin jam 20.00 WIB udah mulai ya, kangen kan sama Goni si Computer Freak? Ingat, di Spotify.

Now, enjoy.

BAGIAN ENAM PULUH DUA: BUMERANG

Pria itu dulu adalah teman ayahnya, orang yang pernah ditolong Aryo Seto saat dalam kesulitan, tapi nyatanya tidak lebih dari pengkhianat busuk. Namanya disebutkan dalam banyak dokumen dari kotak deposito Aryo sebagai penerima dana yang cukup banyak dari Utomo dan Rachmat Widjaya serta kroni mereka, bahkan mendapatkan satu perusahaan sebagai imbalan entah untuk apa. Pria itu juga adalah orang yang paling dicurigainya merupakan pelaku perampokan sekaligus pelecehan yang menimpanya.

Lantas, kalau tiba-tiba pria itu muncul di rumah sakit dengan begitu percaya diri, bukankah wajar bagi Diana kalau curiga? Caranya mengetahui keberadaan Diana saja sudah mencurigakan, belum motifnya. Sudah pasti dia ada di belakang penculikan Marini, dan mungkin hanya ingin memastikan seberapa buruk anak buahnya telah gagal.

Tangan Diana mengepal dan giginya gemeletuk, menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Pria pasti telah putus asa mencari Diana, dan kebetulan beruntung karena akhirnya bisa menemukannya. Kedatangannya bisa jadi berkaitan dengan Utomo atau mungkin dirinya sendiri, karena nyatanya nama Kusno ada di kebanyakan transaksi suap seksual dalam bukti catatan milik Bambang. Namun, apa mungkin Utomo dan kroninya sudah tahu siapa yang membocorkan informasi itu kepadanya? Seharusnya sih belum, dan pastinya mereka sedang kegirangan karena Bambang dinyatakan bunuh diri.

Kalau begitu, untuk apa Kusno menemuinya? Memastikan Diana memiliki kotak deposito ayahnya? Atau melanjutkan pekerjaan gagal anak buahnya? Dia sendiri? Sepertinya tidak mungkin. Manusia tamak dan biasa mengorbankan anak buah itu tidak mungkin melakukan pekerjaan kotor sendiri, kecuali … dia pasti mengira Diana belum tahu apa-apa soal seberapa banyak keterlibatannya dalam semua kasus yang melibatkan Utomo dan kroninya. Mungkinkah dengan berbekal pikiran itu dia ingin memastikan Diana tidak sedang menginvestigasi kasus delapan tahun lalu seperti yang disebutkan anak buahnya di telepon? Mengira Diana tidak tahu kalau sedang berhadapan dengan musuh sebenarnya?

Hm … tipikal pria yang suka meremehkan orang lain. Dia pasti menganggap Diana sebodoh itu.

Apa pun itu, kenapa tidak langsung cari tahu saja? Mumpung orangnya mengantarkan diri sendiri tepat ke hadapannya. Diana memutar pergelangan tangan dan hampir tersenyum puas. Selain memar kehitaman tersisa hampir di seluruh bagian tubuh, dia tidak merasakan sakit lain. Yah … dia tahu, salah satu rusuknya masih butuh pemulihan, tapi, dia yakin masih bisa menghadapi mantan polisi pecatan yang sekarang sudah kelihatan tambun dan lamban itu. Lagi pula, dia punya keuntungan, Kusno tidak tahu kalau topengnya sudah terbongkar.

“Apa tepatnya yang Bapak tinggalkan pada Om Kusno?” tanyanya, memecah keheningan. Dengan lihai dia memasang ekspresi polos, sambil memasukkan tangan ke saku jas dengan sikap santai. Padahal saat itu dia menggenggam alat setrum yang sejak dulu dimilikinya.

Kusno yang sedang meletakkan dua gelas minuman di meja, sempat tergagap. “Apa? Oh … itu. Bapak pernah menitipkan satu koper pada Om, katanya itu dokumen, entah dokumen apa. Karena banyak yang terjadi, Om lupa kalau ada koper itu,” jawabnya sambil mengulas senyum. “Minum, Di. Nanti Om ambil kopernya.”

Diana menangkap kesan mengarahkan pada gestur tangan Kusno yang mendorong gelas untuknya. Dia berpikir dengan cepat. Pasti ada yang tidak beres dengan minuman itu. diraihnya gelas dan dipegangnya dengan gerakan wajar sambil kembali bertanya. “Kok bisa lupa sampai kelamaan gitu, Om?”

Kusno tertawa canggung. “Ah … karena Om menyembunyikannya di gudang, dan saat Bapak meninggal, Om langsung teralihkan. Namanya juga duda, Di, enggak ada pembantu pula, pikiran Om banyak,” dalihnya, sambil menjelaskan kenapa dia langsung yang membuatkan minuman dan bukan orang lain seperti asisten rumah tangga, misalnya. Tangannya kembali memberi gestur tertentu. “Minum dulu, Di. Haus, kan?"

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang