64. Mengungkap Tabir Kekuasaan

2.6K 446 69
                                    

Met Rabu siang! Uhuy! Sampai juga kita di akhir cerita. Kalo kalian pikir kok gak ada romantisnya, ingat ya, ini cerita aksi, eike juga taruh genrenya di aksi, bukan romansa, oce?

Buat yang udah dengerin episode pertama cerita Devara, selebgram di cerita Steven-Keke, gimana menurut kalian? Kasih masukan, ya. Buat yang belum tahu, kalian bisa dengerin cerita spin off A Simple Love ini di podcast Winnyraca, di Spotify. Pencet aja tombol ijo di kanan bawah cerita ini. Cuss.

Buat sekarang, yuks ....

BAGIAN ENAM PULUH EMPAT: MENGUNGKAP TABIR KEKUASAAN - TAMAT

Perbedaan Utomo dan Bram yang paling menyolok adalah pada ketegasan mereka terhadap anak buah. Kalau Bram dengan sangat mudah menyingkirkan bahkan orang yang terdekat dengannya saat gagal atau berpotensi menjadi penghalang dalam rencananya, Utomo tidak. Dia akan berpikir berkali-kali, menimbang banyak hal, dan masih mau melindungi orang yang dipekerjakannya. Seperti saat ini misalnya.

Suara Kusno saat menelepon dan memperingatkannya soal Diana yang ternyata sudah memegang banyak bukti terdengar aneh. Seolah-olah, giginya sudah tanggal semua. Bukan hanya terdengar panik dan ketakutan, Kusno mendadak menjadi cadel dan mendengkuskan desau aneh setiap kali mengucapkan suku kata tertentu. Utomo bisa membayangkan betapa menderitanya pria setengah baya tersebut saat ini, setelah dianiaya habis-habisan oleh seorang perempuan. Meski sempat mengamuk dan melontarkan cacian kasar saat mengetahui Kusno terpaksa membeberkan semua hal demi nyawanya sendiri, Utomo masih mau membantu. Jadi, dengan jengkel dan masih dibarengi makian dia menyuruh anak buahnya itu untuk bersembunyi di salah satu rumah miliknya sebelum menutup telepon.

Bram yang sedang berada bersamanya untuk membahas sebuah topik penting menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. Utomo yakin kalau pria itu tak setuju. Bahkan dia bisa melihat kemarahan dari garis rahang Bram yang mengetat.

"Kalau sampai Pak Kusno tertangkap polisi, lebih berbahaya lagi untuk kita, Pak Utomo. Katanya mereka punya bukti, dan kalau bukti ditambah pengakuan Pak Kusno jatuh ke tangan penyidik, habis sudah," katanya, muram.

"Tapi ... pengakuan Pak Kusno diambil dengan paksa, setelah menyiksanya habis-habisan. Itu tidak bisa dianggap bukti, bukan?" sanggah Utomo.

"Diambil dengan paksa? Pak Kusno yang membawa Bu Diana ke tempat itu setelah sebelumnya mencari tahu keberadaannya di rumah sakit saat dilindungi oleh LPSK. Bahkan polisi paling bodoh pun bisa melihat kalau ada rencana penculikan dan niat mencelakai dari tindakan Pak Kusno. Kalau akhirnya malah dia yang disiksa, itu cuma masalah sial. Bu Diana tidak bisa dipidana hanya karena mempertahankan kehormatannya. Itu tindakan membela diri."

Utomo terdiam. Jelas mantan jaksa hebat di depannya benar. Mau tak mau dia harus merendahkan dirinya, meminta pertolongan dari pria ini, meski dalam hati sudah merasa kehilangan sebagian harga dirinya.

"Pak Bram benar, sekarang, apa yang perlu saya lakukan? Bapak bisa bantu saya?"

Bram bersedekap. Satu tangan mengusap dagu, sementara dahinya berkerut dalam. "Tergantung. Pak Utomo masih harus memanfaatkan Pak Kusno? Pastikan beliau tidak bisa ditemukan. Setelah selesai, singkirkan. Soal bukti yang katanya dipegang oleh Bu Diana itu, saya masih punya cara. Tapi, Pak Utomo harus ingat, saya sudah terlalu banyak memberi bantuan."

Utomo terpaksa menyungging senyum seraya mengangguk. Sedikit merasa terhina, tapi tidak bisa membantah. Era ayahnya sudah lewat. Dia harus memiliki hubungan yang saling menguntungkan dengan orang-orang yang tepat kalau ingin menjaga semua milik dan kehormatannya tetap utuh. Sayangnya, orang itu adalah Bram yang punya cara paling jitu untuk membuatnya tunduk. Sesuatu yang sangat dibencinya.

******

"Mana rekamannya?" tanya Ora yang hari ini membawa seorang asisten untuk membantunya dalam konferensi pers yang akan diadakan sebentar lagi.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now