44. Kekasih Yang Mengenalnya Dengan Baik

1.5K 389 29
                                    

Met malem Senin, selamat lebaran buat mantemans eike, umat Islam. Mohon maaf lahir batin ya.

So, Diana dan Mas Tyo indehaus, siap nemenin kamu yang lagi liburan ataupun lagi kena macet di jalan. Daripada kesel, cuss, ikutin aja petualang couple jagoan ini.

Oh ... bentar lagi udah mau mulai, yak. Eike bakal mendongeng buat kalian di podcast punya Wattpad dan Spotify di Spotify. Dongengnya cerita baluùuuuu!

Tungguin, ya. Sekarang, enjoy.

BAGIAN EMPAT PULUH EMPAT: KEKASIH YANG MENGENALNYA DENGAN BAIK

“Ibu oke, aku sementara tinggal di rumah kalian dulu?” tanya Tyo sambil menempelkan kapas antiseptik di lukanya melalui leher kemeja. Dia baru selesai mandi dan sedikit kesulitan untuk mengganti perban.

Diana mendekat dan mengambil alih perban dan gunting dari tangannya. Dengan cekatan dia mencopot lebih banyak kancing kemeja Tyo, lalu menyibak pakaian pria itu untuk mempermudah membalut lukanya, tapi Tyo langsung menahan tangannya.

“Kamu mau apa, Di?” tanyanya, waspada.

Diana membelalak. “Bawel! Mau perban luka aja pake nyelipin tangan ke leher baju, buka sekalian! Kayak perawan aja pake malu-malu,” omelnya. Dia menarik kemeja Tyo, menurunkannya hingga memampangkan bahu kekar pria itu yang terluka.

Sedikit tersipu malu, Tyo melihat ke arah lain. “Aku kan enggak enak kalau Ibu lihat aku setengah telanjang, Di,” kilahnya.

Dia mendengkus. “Cuma pundak, Tyo, itungannya belum telanjang. Lagian, kamu telanjang enggak boleh di sini, di kamarku aja. Aw!”

Sebuah ketukan di kepalanya membuat Diana menoleh. Tatapannya langsung bertemu pelototan ibunya. Meringis, dia mengusap kepalanya yang terasa lumayan sakit bekas jemari keras Marini.

“Saru! Anak gadis kok kegatelan kayak gitu!” tegur sang ibu.

Diana langsung merengut. “Bercanda, Bu,” kilahnya. Dia mengoleskan antiseptik di luka Tyo yang tertunduk sambil menelan ludah, takut, lalu membebatnya rapi dengan perban. Setelah selesai, dimasukkannya semua peralatan pengobatan ke dalam sebuah kantong, dan diambilnya pil yang diberikan dokter, disodorkannya kepada Tyo.

“Diminum sekarang,” perintahnya, tegas.

Tyo menggeleng. “Aku harus jaga-jaga, Di. Takut ngantuk,” tolaknya.

Diana membelalak. “Ngantuk ya tidur, masih ada satpam di depan kalau soal jaga, enggak sembarangan juga mereka menyerbu ke sini kayak waktu itu, semua pintu kan ada pengaman ganda?” katanya.

“Diminum, Mas. Jangan sampai semaput karena infeksi, nanti kamu diapa-apakan Didi, mau?” sela Bu Marini, yang membuat Tyo dan Diana terbatuk bersamaan.

“ibu!” Diana berseru, tak terima, tapi tangannya bergerak usil dan mencubit dada Tyo yang terlonjak kegelian. Ibunya langsung memutar mata.

Mau tak mau Tyo mengambil pil itu dan meminumnya, meski sebetulnya dia tidak ingin. Wajahnya merah padam karena malu, sementara Diana misah misuh sendiri, pura-pura. Padahal jelas sekali di wajahnya, dia mendadak bersemangat mendengar omongan sang ibu yang menimbulkan sebuah ide kreatif.

Sepertinya, mengganggu Tyo saat sedang tidur atau pingsan akan sangat seru!

“Ibu nih, kayak aku gatel banget gimana,” gerutunya, sok tersinggung.

“Memang iya, tho?” sindir ibunya. Beliau mengambil segelas air hangat, lalu duduk di hadapan Tyo dan menatapnya. “Kamu tidak masalah kalau harus melindungi kami juga, Mas? Tugas kamu sendiri berbahaya, lho?” tanyanya khawatir.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now