56. Membaca Taktik Hadi

1.4K 383 17
                                    

Met Rabu pagi!

Supaya eike gak lupa, pagi-pagi udah apdet nih. Wkwkwkwk. Semangat ya! Buat yang nunggu podcast Winnyraca di Spotify, bulan Juni awal nanti udah mulai ya. Eike dengan suara sekseh eike yang bakalan bacain sendiri cerita di situ.

Sekarang, cuss deh.

BAGIAN LIMA PULUH ENAM : MEMBACA TAKTIK HADI

Hari telah jauh malam, keadaan di rumah sakit mulai sepi terutama di bagian paling terpencil tempat Diana dan ibunya dirawat. Sebagai pengacara Diana, Ora berkeras agar kehadiran Diana dan ibunya tidak diketahui siapa pun, karena mereka masih dibayangi bahaya, dan media akan mengganggu para pasien jika mereka berpikir adalah wajar untuk memaksa mewawancarai seorang di situ. Pihak rumah sakit pun memutuskan untuk menaruh ibu dan anak itu di bagian gedung terpisah, dan dengan baik hati mengizinkan seorang yang dikirim perusahaan sebagai pengamanan untuk menjaga keduanya.

Namun, ternyata bukan cuma mereka yang ada di bagian terpisah itu. Saat Diana yang merasa sesak oleh pikirannya sendiri, keluar untuk menghirup udara segar, dia melihat sebuah bangunan kecil dengan dua penjaga di depan pintunya. Heran, dia bertanya kepada petugas yang ditugaskan untuk menjaganya.

“Siapa yang ada di situ, Mas? Kok sampek ada dua polisi yang jaga?”

Penjaga melihat ke arah yang ditunjuk, dan mengangkat bahu. “Katanya sih penjahat besar, Mbak. luka parah dan sekarang koma, cuma dia dibutuhkan untuk jadi saksi kasus apa gitu, jadi dijagain. Kurang ngerti juga,” jawabnya.

Diana membulatkan bibir. “Oh.”

“Mbak mau ke mana, ya?” tanya sang petugas.

Diana memandang kejauhan lalu menghela napas. “Enggak ke mana-mana sih, Pak, cuma pengen cari angin aja. Saya bisa duduk di situ, kan?” Dia menunjuk ke sebuah bangku semen di bawah pohon beringin.

Sang petugas mengangguk. “Yang penting masih bisa saya pantau, ya, Mbak. Bu Deborah dan Pak Hadi sudah minta kami untuk melindungi Mbak sebaik mungkin.”

“Iya, di situ aja, kok, Pak. Makasih, ya?” Sedikit terpincang karena memar di kaki dan adanya sendi yang terkilir akibat perkelahian kemarin, Diana melangkah ke bangku semen yang dia maksud. Berhati-hati dia duduk, lalu mengarahkan pandangan ke kejauhan. Sejenak termenung, menelaah berbagai hal yang telah terjadi, dan mencoba bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah dia salah kalau menginginkan keadilan bagi ayahnya? Supaya nama baik Aryo Seto dipulihkan? Kalau memang keinginannya benar, lantas, kenapa dia harus mengalami ini semua? Ibunya diculik dan entah apa yang sudah dialaminya selama berada dalam penyekapan, dia bahkan tidak berani membayangkan. Kekasihnya, orang yang paling dia percaya dan mulai menjadi sandaran dalam hidupnya, entah ke mana. Bagaimana nasibnya, apakah dia hidup atau sudah tiada, masih menjadi tanda tanya.

“Kamu di mana, Tyo?” keluhnya. Berbagai gambaran yang semuanya buruk berseliweran dalam benaknya. Dia takut, sangat takut, kalau Tyo harus mengalami lebih buruk dari yang sudah dialami. Dia tidak ingin kehilangan lagi.

Tak disadarinya, sepasang aliran bening meluncur di pipi. Meski tahu kalau pekerjaannya memang berisiko, tapi dia tidak pernah menduga kalau harus berada dalam kondisi seperti ini. Tadinya dia hanya berpikir kalau harus hati-hati, karena bisa saja bahaya mengancam dalam setiap tugas yang dia jalani. Ternyata, bahaya bukan hanya mengancam dirinya saja, tapi juga orang-orang yang dia sayangi.

“Pak. kalau Bapak jadi aku, apa Bapak akan berhenti?” lirihnya, kali ini teringat kepada ayahnya.

Tidak ada jawaban, tentu saja. Hanya angin malam yang dingin berdesir menyapu kulit lengannya yang tidak tertutup pakaian. Keheningan yang hanya diisi suara jangkrik dan serangga malam lainnya, terasa makin membuatnya terpuruk dalam kesepian. Rasanya berat sekali, dan gamang harus bagaimana.

Diana, Sang Pemburu BadaiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant