52. Hanya Tiga Mayat

1.3K 420 32
                                    

Met Rabu siang!

Ada yang deg-degan nunggu kabar Tyo, Didi, dan Bejo? Tadinya eike iseng mau apdet tengah malem nanti aja, heheheh. Gak jadi deh.

So, cekidot.

BAGIAN LIMA PULUH DUA: HANYA TIGA MAYAT

Diana membuka pintu mobil untuk Bejo yang dengan hati-hati menaruh tubuh Marini yang terkulai. Setelah yakin Marini aman, Bejo beralih menopang tubuh Diana yang mendadak terjatuh karena lemas.

“Didi, bangun. Kita harus pergi,” kata Bejo, gemetaran. Hidungnya bisa mencium bau kencingnya sendiri dan sebetulnya dia malu, tapi untunglah otaknya masih bekerja. Dia sadar, saat ini bahaya sedang mengincar, tidak boleh berlambat-lambat.

Diana menggeleng lemah. “Tyo, Jo,” bisiknya sambil menangis. “Tunggu Tyo.”

“Tyo suruh kita pergi, Di,” sahut Bejo.

Diana terus menggeleng dan melihat ke arah pintu rumah besar di atas sana. Tatapannya bertemu dengan Ferdy yang berdiri ragu, memandangnya dengan sorot mata dingin yang aneh. Tangis Diana pun pecah. Dia tahu, sesuatu telah terjadi kepada Tyo, karena pembunuh itu sendirian.

“Didi, ayo!” Bejo menguatkan hati dan mendorong Diana masuk. Dia sendiri berlari dengan perasaan tegang menuju kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin mobil dan membawa mereka pergi dari situ.

*****

Diana menggigit bibir hingga berdarah, setengah mati menahan tangis dalam diam, sementara Bejo mengemudi dengan pikiran kacau. Mereka saling membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kita ke rumah sakit terdekat dulu, ya, Di? Ibu perlu dokter,” kata Bejo, memecah kebekuan.

Diana mengangguk. “Iya.” Dia menoleh kepada sahabatnya dan berusaha bicara tenang dalam usaha menahan tangisnya. “Makasih udah nyelametin Ibu, ya, Jo. Makasih karena lo enggak ninggalin gue.”

Bejo menyeka air mata yang mengalir. “Jangan ngomong gitu. Gue temen lo, kan?” Dia melirik ke spion, memeriksa apakah ada yang mengikuti. “Gue minta maaf karena enggak bisa nunggu Tyo, ya, Di. Gue takut, dan enggak ada yang bisa kita kerjain selain nambah beban dia kalo tetap di sana.”

Tangis Diana pecah. Dia menutup wajahnya dan sesenggukan. “Tyooo!” panggilnya, sedih.

Bejo ikut terisak. Tidak mampu membayangkan bagaimana nasib pria seram yang selalu melindunginya dan Diana itu. Pembunuh tadi benar-benar mengerikan, bahkan Tyo pun terlihat kesulitan melawannya.

“Tyo pasti selamat, Di. Dia hebat,” hiburnya, juga kepada diri sendiri, sambil menangis.

Tangis Diana makin keras. Mulutnya terus memanggil nama Tyo dengan putus asa, membuat Bejo semakin merasa sesal menindih benaknya. Dia tidak punya pilihan.

******

Bagaimana keadaan Tyo sekarang? Apakah dia … ah, memikirkan ke arah sana Diana sudah tidak mampu. Apalagi, saat ini pikiran dan perhatiannya terbagi dengan sang ibu, yang sedang berjuang antara hidup dan mati di ruang operasi. Membuatnya semakin merasa tersiksa karena harus menunggu dalam ketidakpastian.

Diana duduk di ranjang rumah sakit dengan benak kalut. Setengah mati berusaha mengumpulkan segenap serpihan dirinya. Rasanya dia tidak utuh, hancur lebur menjadi beberapa bagian, dan sulit untuk menyatukan dirinya kembali. Rasa kehilangan, ketakutan, kesedihan, dan kemarahan yang entah harus dilampiaskan kepada siapa, membuat seseolah-olah ada lubang menganga di benaknya. Dia putus asa. Tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, dia ingin segera mengetahui bagaimana nasib Tyo, sedangkan di sisi lain, dia juga tidak ingin sampai melewatkan sesuatu tentang kondisi ibunya.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now