15. Puber Kedua

2.5K 606 53
                                    

Met pagi!

Cekidot.

BAGIAN LIMA BELAS: PUBER KEDUA

Canggung, Diana berdeham. "Uhm ... itu agak overrated, sih, tapi makasih."

Tyo mengangguk, ekspresinya biasa saja seperti tidak merasa kalau sudah membuat seorang gadis hampir pingsan karena melayang. "Tolong drop saya di sisi jalan yang agak gelap situ, saya akan menyusul Mbak dengan jalan kaki. Hati-hati saat masuk ke rumah, sebelum Mbak masuk, pastikan pintu dalam keadaan persis seperti saat ditinggal tadi. Saya akan memantau dari jarak enggak terlalu jauh, dan kembali ke tempat saya setelah memastikan kalian aman."

"Mas Tyo enggak mau saya antar aja? Jauh lho balik ke tempat Mas?" Diana bertanya heran.

Tyo menggeleng. "Saya jauh lebih tenang kalau melihat Mbak Diana sudah aman di rumah dulu sebelum pulang," jawabnya.

Kehangatan menguasai benak Diana. Rasanya menyenangkan dijaga dan diperhatikan begitu. Sebuah keinginan untuk mengukur kadar perhatian Tyo muncul. Dia menghentikan mobil di tempat yang ditunjuk Tyo, dan menoleh pada pria yang sedang mencopot sabuk pengamannya. "Uhm ... sebelumnya, boleh saya tanya?"

Tyo menoleh dan mengangguk. "Silakan."

"Uhm ... Yoyo itu adik sepupu Mas Tyo? Kalian dekat?"

Tyo kembali mengangguk. "Cukup dekat, tapi jarak usia kami lumayan jauh."

Diana mengerjap cepat. Waduh ... jarak umur yang jauh? "Oh ... memangnya dia umur berapa?"

Tyo mengingat sebentar. "Dua-dua tahun ini."

Wadaw! Hampir tujuh tahun lebih muda darinya! Diana langsung merasa seperti mbak-mbak genit yang suka daun muda. Tapi, sekarang, itu bukan masalah, kan?

"Masih muda, ya?" Diana berkomentar, garing.

"Iya. Makanya saya sempat merasa dia kurang sopan karena memanggil Mbak Diana langsung dengan nama." Kalimat Tyo terdengar serius.

"Uhm ... saya yang minta." Diana buru-buru menjelaskan.

"Begitu?"

"Maksudnya, supaya akrab. Saya mau pedekate."

"Oh."

Diana mengerutkan kening. Kenapa tidak ada perubahan pada ekspresi Tyo? Masih biasa saja tanpa ada tanda-tanda....

"Boleh, Mas?" tanyanya, hati-hati.

Kali ini Tyo yang mengerutkan kening. "Boleh, apa?" Dia balik bertanya.

Diana tersenyum gugup. "Boleh saya pedekate sama Yoyo?"

Tyo mengerutkan kening, heran. "Bukan saya yang bisa bilang boleh atau enggak. Kalau dia mau, silakan."

Diana melongo. Tidak ada keberatan? Cemburu, gitu? Terus, perhatiannya ...?

Tyo mengangguk untuk berpamitan, dan turun dari mobil. Untuk beberapa saat Diana menggenggam roda kemudi sambil berpikir. Kesadaran mendatanginya saat sosok Tyo menjauh. Astaga ... ada apa dengan dirinya? Kenapa dia jadi bodoh begini? Kenapa dia harus bertanya pada Tyo soal keinginannya mendekati Setyo? Dalam kapasitas sebagai apa? Sepupu? Sejak kapan sepupu dimintai izin soal pedekate atau apalah itu?

"Bego! Bego! Bego!" gerutunya sambil memutar roda kemudi dan meneruskan perjalanan yang tinggal sedikit. Dia tahu Tyo mengikuti tak terlalu jauh dengan berjalan kaki karena bisa melihat sosok pria itu—yang tampak seram—berjalan di sepanjang trotoar. Malu banget! Ada apa dengannya?

******

"Jadi, siapa yang sudah mengacau?" Bram bertanya kepada asistennya yang memasuki ruangan dengan tablet di tangannya.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang