3. Tyo

3.5K 851 44
                                    

Met pagi!

Enjoy.

****

Diana duduk dengan tangan dan kaki terikat di lantai sambil memperhatikan pria bertubuh tegap dengan rambut cepak yang mondar-madir di ruang kerja ayahnya mencari sesuatu. Meski ketakutan setengah mati, otaknya bekerja keras memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Luka di lehernya masih meneteskan darah yang kini mengotori bagian atas piamanya. Namun, dia tidak sempat merasakan sakit dari luka itu, kecemasannya meningkat seiring dengan emosi sang penyandera yang juga bertambah.

"Lonte! Ngomong yang jujur, di mana kunci brankas bokap lo?" Pria bertopeng itu kehilangan kesabaran dan kembali bertanya kepadanya dengan kasar.

Diana mendongak dan menatapnya tepat ke mata. "Gue udah bilang, kagak tahu, Anjing!" tantangnya. "Lo ngarep lonte mana yang ngomong jujur?"

Pria itu mengerutkan keningnya. "Berani amat lo," komentarnya. "Mulut lo perlu disobek?"

Diana bergeming. "Lo ngatain gue duluan, gue enggak boleh bales?" sahutnya, berani.

Pria itu terkekeh. "Enggak salah lo anaknya Aryo Seto, lo punya nyali," katanya. Dia mendekat dan berdiri menatap Diana yang terpaksa mendongak. "Tapi ... apa lo masih bisa sombong kalo gue bikin lo jadi lebih kotor dari sampah?"

Diana mengerjap, mencoba mencerna kalimat ancaman itu. Dia terpekik kaget saat pria itu mendadak menjambak rambutnya dan menyeretnya menuju ke kamar sang ibu lagi. Rasanya sakit bukan main, dan dia merasakan banyak rambut terenggut dari kulit kepalanya dengan cara yang paling menyakitkan. Namun, dia tak punya waktu memikirkan rasa sakit itu saat si pria keji melemparkan tubuhnya dengan mudah ke ranjang orangtuanya. Diana bisa melihat tatapan horor ibunya dan Titi yang hanya bisa mengeluarkan suara lenguhan panik karena mulut mereka disumbat.

"Bu Marini, tolong bicara jujur." Pria itu berkata kepada ibunda Diana dengan nada sopan yang dibuat-buat. "Di mana kunci brankas Pak Aryo?"

Marini menggeleng-geleng susah payah. Berusaha mengatakan kalau dia tidak tahu. Air mata mengalir deras di pipinya.

Sang penjahat berdecak. Dia menyerahkan pisaunya kepada penjahat yang lain. "Bu Marini, Ibu tidak memberi saya pilihan," katanya. Dia menaiki ranjang, mendekati Diana yang setengah mati berusaha menjauh sambil menendang. Kalau saja tidak ada topeng yang menutupi, Diana pasti bisa melihat seringai mesumnya.

"Ibu punya waktu sampai kami bertiga selesai dengan putri Ibu. Kalau sampai saat itu Ibu tidak bicara, putri Ibu bukan hanya akan jadi karburator bocor, tapi mayatnya mungkin tidak utuh lagi. Coba dipikirkan." Sambil berkata begitu, dia merenggut celana piama Diana yang memberontak setengah mati.

Marini dan Titi menjerit susah payah, tapi pria keji itu terus menelanjangi gadis yang tidak menyerah melawannya. Tepat di saat kritis, lampu mendadak mati, lalu terdengar suara gaduh, dan Diana bisa merasakan tubuhnya ditutupi dengan selimut. Dia menutup matanya, berharap pertolongan ini bukan khayalan.

Waktu berlalu, Diana masih terpejam dengan jiwa mati rasa, mengantisipasi hal terburuk. Saat lampu menyala, kamar sudah terlihat hancur lebur, tetapi ketiga pria tadi sudah tak ada. Gantinya, seorang pria dengan seragam polisi tampak sedang berjongkok, membuka ikatan serta sumpalan mulut Nyonya Marini dan Titi.

"Tolong periksa kondisi Mbak Diana, saya menunggu di luar," katanya sopan, lalu keluar.

Gemetaran, Marini dan Titi mendekati Diana.

"Didi ... ya Tuhan," ucap Marini sambil membuka ikatan di kaki dan tangan Diana, sementara Titi memeriksa kondisi tubuhnya.

"Mbak Didi ... Mbak Didi enggak pa-pa, Bu. Cuma luka di leher dan kepala. Tapi belum ... belum ...." Kalimat Titi terputus, dia tak tega meneruskan.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now