5. Elli sakit

2.2K 120 3
                                    

Hai" sapa Ray begitu Elli membuka pintu.

Elli membalasnya dengan tersenyum tipis sambil masuk dengan nampan di tangannya seperti biasa.

"Nih, makan dulu!" Elli menyodorkan mangkuk bubur ke hadapan Ray.

Dengan patuh Ray menerima dan memakannya sampai habis.

"Makasih." Ray memberikan lagi mangkuk yang sudah kosong.

Elli mengangguk, menerima kembali mangkok lalu menaruhnya diatas baki, kemudian memberikan Ray segelas air beserta obatnya.
"Kata Dok. Udin, kamu sudah di perbolehkan pulang. Sekarang kamu beres-beres, mungkin sebentar lagi orang tuamu menjemput."

Ray mengangguk. Dia memperhatikan wajah Elli yang agak pucat, "Loe sakit?"

Elli tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. "Gak kok, aku cuma lemes dikit."

Ray memicingkan mata tidak percaya, namun dia memilih diam tidak terlalu ikut campur urusan pribadi Elli. "Nama loe siapa?" tanya Ray ketika sadar dia belum tau nama cewek yang suka teratur memberinya obat itu. Walaupun memang benar memperhatikan pasien itu tugas perawat, namun Ray merasa kalau gadis ini selalu tulus merawatnya, bukan karena tuntutan pekerjaan, melainkan karena kemauannya sendiri.

Elli yang sedang membereskan alat makan bekas Ray menoleh singkat. " Elliyana Rahmawati. Panggil aja Elli!" Menyadari sesuatu, buru-buru dia meralat perkataannya. "Kak Elli. Karena saya lebih tua dari pada kamu."

Ray tersenyum miring. Di matanya menyimpan kilatan licik. " Gue gak mau manggil loe Kakak. Bagi gue, loe itu bocah. Tinggi aja paling sebahu gue, mana dada rata lagi." Dia tergelak puas melihat respon Elli yang Refleks melihat ke arah dadanya.

Elli langsung menyilang kedua tangannya di dada sambil melotot ke arah Ray. "MULUTMU." Elli berteriak kesal. Bibirnya manyun tiga senti. "Kamu ini masih bocah udah mesum aja."

"Bocah?" Ray menunjuk dirinya sendiri. Dia mencebik kesal karena dikatai bocah. Memang tidak ada yang salah dari sebutan itu, karena dia masih anak SMA kelas 12. Namun entah kenapa ketika Elli menganggapnya begitu ada secuil rasa kecewa.

"Heem." Elli mengangguk membenarkan. "Memangnya sebutan apa lagi yang pantas untukmu?"

"Loe lihat ini wajahku?" Ray menunjuk wajahnya sendiri. "Tampan bukan?"

Elli mengangguk. "Ya." Ray memang tampan, bahkan wajahnya mirip dengan Aktor Korea Ca eun woo, Elli saja selalu dibuat kagum setiap kali melihatnya.

Ray mengangguk puas karena Elli membenarkannya. "Nah, walaupun loe katain gue ini masih bocah, namun yang ngantri pengen jadi pacar gue itu banyak. Beuh, pokonya dari anak SMP, SMA, sampai kuliah pun ada."

Elli memiringkan sedikit kepalanya tidak mengerti. "Terus maksud kamu apa?"

"Karena gue tampan, ya seengganya loe jangan sebut gue bocah lah. Bisa jatuh nanti harga diri gue didepan para fans."

Elli menghela nafas perlahan. Lama kelamaan kepalanya jadi sakit jika terus meladeni remaja puber dihadapannya. "Ya, baikalah Ray si tampan."

Ray mengangguk puas dengan jawaban Elli. Dia mengasongkan Hp kedepan wajah Elli. "Minta nomer Hp loe dong!"

"Aku gak punya Hp." Elli dengan santai berjalan keluar kamar. Dalam hati dia tertawa jahat, mentertawakan kebohongannya sendiri.

"Bohong loe!." tebak Rey. "Jarang banget jaman sekarang orang yang gak punya Hp."

Elli yang sudah ingin menutup pintu, menyembulkan kembali kepalanya, dia nyengir sambil menjulurkan lidah membuat Ray mendelik kesal.

***

Elli berjalan pelan di koridor. Sekeluarnya dari ruangan Ray, kepalanya bertambah sakit dan pandangannya mulai menguning. Sekuat tenaga dia berusaha tetap sadar agar bisa sampai di toilet. Namun, belum dia memegang knop, badannya sudah ambruk jatuh dilantai. Sebelum kesadarannya menghilang, samar- samar Elli. mendengar suara orang ribut mengerumuninya, tidak lama sebuah tangan dingin mengecek leher serta nadinya. Terakhir badannya terasa seperti melayang di udara.

"Eung." Elli melenguh. Perlahan mata bulatnya terbuka memperlihatkan warna coklat terang yang cantik. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinannya. Elli mengedarkan pandangannya kesegala penjuru. Setelah dia tau berada di ruangan Rudy, Elli dapat menutup kembali matanya dengan perasaan tenang.
Elli membuka kembali matanya saat mendengar bunyi pintu terbuka.

Rudy datang dengan sepiring nasi beserta lauknya dan segelas air, lalu menyimpannya diatas nakas.

"Dok. Udin." Panggil Elli sedikit serak.

Rudy melihat kearah Elli. Dia meraba dahi Elli untuk mengukur suhu di tubuhnya, Elli demam. Namun, alasan pertama Elli pingsan bukan karena demam, melainkan perutnya kosong karena belum di isi apa-apa. "Kamu sakit dalam keadaan perut kosong. Apa pagi-pagi tadi kamu tidak sarapan?"

Rudy bertanya heran. Dia jelas tau dengan kebiasaan Elli yang pantang meninggalkan makan. Mendapati perut Elli kosong dari makanan, membuat Rudy tidak bisa untuk tida berpikiran bahwa Elli tengah kehabisan uang.

Elli mencoba mendudukan tubuhnya. Dengan sigap Rudy membantunya dengan menyanggakan bantal agar Elli dapat duduk dengan nyaman. Setelah di rasa Elli terlihat nyaman, barulah Rudy mendudukan dirinya di ranjang samping tempat Elli duduk.

"Makan, kok." Akunya pelan.

"Makan? Lalu, kenapa perutmu kosong? Demammu tidak terlalu tinggi. Namun, karena perutmu dalam keadaan kosong, itu membuat tubuhmu kekurangan stamina. Dan kamu sendiri paham akhirnya seperti apa." Rudy menjelaskan dengan sedikit membawa nada kejengkelan bercampur sini.

Elli meringis samar. Dalam hati dia merutuki hatinya yang tengah melonjak kegirangan di perhatikan Rudy. "Aku itu anak kostan. Uang bulanan sudah habis. Makanya kelaparan gini." Elli nyengir di akhir kalimatnya.

Rudy mendengus tak habis pikir. "Kan ada uang transfortasi dari Rumah sakit. Itu juga sudah lebih dari cukup untuk makan dan ongkos." Setau Rudy memang pihak rumah sakit memberikan uang untuk setiap calon Dokter yang magang di rumah sakit tempatnya ini bekerja.

Wajah Elli yang pucat makin terlihat memprihatinkan saat dia memasang wajah putus asa. "Kostanku jauh Dok. Udin. Uang transfortasi dari rumahsakit tidak cukup kalau harus dibagi antara ongkos jalan dan uang makan. Uang itu hanya cukup di pakai untuk ongkos naik transfortasi umum saja."

"Seberapa jauh?" Rudy mendadak penasaran sekaligus iba. Dirinya hidup enak tinggal dikawasan perumahan elit, pulang pergi memakai mobil pula. Dia tidak menyangka ternyata Elli hidup sebaliknya.

Mata Elli melihat ke atas mengingat-ngingat waktu yang dibutuhkan dari kostannya untuk sampai di rumah sakit. "Sekitar dua jam setengah. Dua kali naik bus dan satu kali naik angkutan umum."

Penuturan Elli membuat Rudy tercengang. Dia tidak tau ternyata tempat ngekost Elli begitu jauh dari rumahsakit. "Kamu pindah kostan saja! Biar nanti saya yang carikan."

"Sebenarnya aku juga pernah mikir kesana. Tapi, kostan aku yang sekarang itu sudah strategis banget. Dekat sama kampus dan banyak teman juga pada akrab. Kalau aku pindah kostan, nanti harus penyesuaian lagi. Ribet." Elli menyerukan pemikirannya.

Kalau sudah keinginan Elli, Rudy hanya bisa mengiyakan untuk menghargai keputusannya. Lagi pula, Elli Koas di rumah sakit ini tinggal beberapa bulan lagi. Dari pada nanti ribet pindah barang sana sini, lebih baik Elli menetap di kostannya yang lama.

Rudy mengambil piring di atas nakas, lalu memberikannya pada Elli. "Makan dulu nasinya sampai habis!"

Elli menerima piring yang di asongkan Rudy. "Iya." Elli menjawab pelan. Dengan susah payah Elli menelan nasi beserta ayam yang rasanya seperti pecahan kayu karena agak tertekan di pandang lekat selama makan.

"Saya antar kamu pulang." Dan perkataan Rudy itu sukses membuat Elli tersedak nasi yang sedang di kunyahnya.

***

Status Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang