14. Shift malam untuk mengintip

1.4K 91 0
                                    

Tiga cangkir kopi nyatanya tak dapat menghilangkan kantuk pada mata Elli. Mata Elli berat luar biasa, ujung matanya bahkan serasa ada sesuatu yang menggelayutinya menyuruh untuk menutup.

Perlahan kelopak matanya menutup dan terbuka lagi, begitu seterusnya sampai jidatnya terantuk ke meja karena memang posisi Elli saat ini tengah duduk di kursi sambil menopang dagu di atas meja.

Elli mengusap jidatnya sebentar lalu menghela napas lelah. Elli berdiri dan melihat kesekelilingnya.
Tidak ada orang.

Elli bingung, kemana orang-orang pergi yang tadi ikut bersamanya duduk. Dari pada gak ada kerjaan, Elli memutuskan untuk berkeliling memantau pasien.

Saat Elli melewati ruangan Rudy, dengan jahil mengintipnya sedikit. Elli membulatkan matanya begitu melihat Rudy masih berkutat debgan berkas di tangannya. Elli tidak tau kalau malam yang menurutnya membosankan ini ternyata membawa berkah untuknya.

Setelah memastikan tidak ada orang yang melihat, Elli mendorong pintu dan buru-buru menguncinya. Elli cekikikan sendiri karena mengingat aksinya yang seperti maling saja.
Begitu dia membalik badan, jantung Elli hampir loncat saat melihat Rudy sudah berdiri di depannya sambil melipat tangan di depan dada.

"Gayamu seperti maling saja."

Elli menguap. Ternyata kejutan barusan tidak juga mengusir kantuknya. "Ngantuk, tidur boleh ya?"

Rudy mengusap pelan kelopak mata Elli yang sayu, Elli terlihat benar-benar kelelahan. "Kok jaga malam, bukannya giliranmu dua hari lagi?"

"Hm." Elli berjalan ke arah kursi dan mendudukan dirinya. "Dokter Ruslan minta tukeran. Katanya dia harus pulang karena penyakit ibunya kambuh dan butuh perawatan darinya." Elli kembali menguap. Matanya terhitung lima watt lagi menuju padam.

"Kenapa kamu terima? Bukannya kemarin malam juga bagian sift malammu?" Rudy berjongkok di depan kursi Elli. Rudy meneliti wajah sayu Elli yang mengantuk luar biasa namun tetap dia pertahankan untuk terbuka, lucu. Rudy tersenyum kecil.

"Kasihan." Samar-samar mata Elli menutup tanpa disadari si empunya.
Sebelum kepala Elli menyentuh meja dengan keras, Rudy sudah menopangnya menggunakan telapak tangan kirinya.

Rudy memandang wajah terlelap Elli yang begitu menggemaskan dengan diiringi dengkuran kecil. Rudy mencintai gadis ini. Ya, Rudy sekarang mengakui hatinya. Perasaan yang dulu tumbuh untuk wanita yang pergi meninggalkannya kini sudah tergantikan dengan nama Elliyana Rahmawati. Hanya Elli, dan selamanya akan begitu.

Rudy mengangkat tubuh Elli untuk memindahkannya kedalam kamar khusus miliknya. Setelah Elli berbaring di atas ranjang, Rudy menyelimutinya sampai dada.
Setelah mengecup keningnya cukup lama, Rudy keluar untuk meneruskan pemeriksaannya. Begitu pintu tertutup, Rudy kembali ke kursinya dan menekuri pekerjaannya.

Elli menggeliat, dalam tidurnya dia merasa perutnya ketimpaan beban berat. Begitu matanya terbuka, dia mendapati Rudy tengah tidur di sampingnya sambil memeluk pinggangnya.

Elli memegang jantungnya yang berlomba maraton ingin keluar. Jarak wajahnya dan Rudy hanya terpaut satu jengkal memudahkannya untunk mengamati setruktur wajah tampan luar biasa di depannya. Lalu matanya turun kebawah hidung, bagian tipis terbelah dua yang begitu menggoda.

Elli menggigit bibirnya menolak kuat dorongan bisikan yang menyuruh untuk mengecupnya. Halal ini, kenapa gak dicicipi saja. Toh orangnya juga tidur, jadi gak akan ketahuan. Bisikan itu semakin menggoda Elli. Buru-buru Elli menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pemikiran itu dari otaknya.

Ternyata aksi Elli yang sedang menggelengkan kepala itu membuat tidur Rudy terusik karena merasakan adanya pergerakan dari sampingnya.
Rudy membuka kelopak matanya setengah dan memandang Elli yang tengah melotot padanya dengan sayu.

"Kenapa?" Rudy bertanya serak.

Elli menggelengkan kepala.
Rudy melirik jam yang ada di atas nakas, 03:00. "Ayo tidur lagi sampai adzan Subuh. Saya baru tidur satu jam." Rudy kembali menutup matanya.

"Ka-kalau begitu aku turun aja, takut di cari Fika dan Suster Mia."

Ketika Elli hendak bangun, tangan Rudy yang ada di pinggangnya menarik kembali Elli membuatnya jatuh di dada bidang Rudy yang di lapisi kaos tipis. "Di sini aja!" Rudy membawa Elli kedalam pelukannya.

"I-itu anu Dok. Udin, aku harus keluar. Ini jamnya pengecekan pasien." Elli menggeliat dalam dekapan Rudy. Namun, karena tenaganya kalah dengan tenaga Rudy, Elli hanya bisa pasrah diam dalam dekapan.

"Saya sudah suruh Fika gantiin. Jadi kamu gak usah cek lagi." Rudy menjawab tenang dengan kondisi mata tertutup.

"APA! Elli melotot shock. "Kalau mereka curiga gimana?"
Rudy membuka matanya dan menatap Elli sebal. "Jangan teriak di depan telinga!"

Dengan sekali hentak Elli dapat keluar dari dekapan Rudy. Elli duduk yang langsung di ikuti Rudy. "Gimana kalau mereka curiga?" Elli memandang Rudy khawatir.

"Kamu tenang!" Rudy mengambil tangan Elli yang tengah di gigitnya kecil. "Saya udah bilang kalau kamu lagi istirahat karena sakit. Toh kamu memang sakit."

Elli melihat Rudy heran. "Sakit?"

Rudy nyengir kuda. "Sakit mata."
"Ngantuk." Rudy mengoreksinya.

Elli mengerjapkan matanya begitu mendapati Rudy semakin memajukan wajahnya. Teringat dia belum sikat gigi sehabis tidur, refleks Elli menutup mulutnya menggunakan telapak tangan sehingga Rudy hanya bisa mencium punggung tangannya.

"Kenapa?" Rudy menatap Elli kecewa.

"Katanya takut kebablasan." Jawab Elli beralasan.

Rudy mendengus kecewa. Dia langsung membaringkan tubuhnya kembali sambil menutup mata menggunakan tangan.

Elli menggigit bibirnya gusar. Dia bukannya tidak mau dikecup Rudy, hanya saja bau naga dalam mulutnya memaksa Elli untuk tidak sampai terlena dengan pesona sang Dokter.

Rudy menghembuskan napas kasar. Sialan, senjata makan tuan. Umpatnya kasar. Waktu itu Rudy mengatakan pada Elli kenapa tidak pernah mau menyentuhnya memang takut kebablasan, padahal alasan sebenarnya karena belum yakin dengan hatinya. Dan giliran sekarang hatinya sudah yakin, ucapannya kemarin membawa dampak sekarang.

"Marah?" Elli bertanya khawatir.

Rudy menurunkan tangannya dan balik menatap Elli. "Siapa bilang." Rudy menepuk-nepuk kasur di pinggirnya. "Sini! Kita tidur lagi."

Sekuat tenaga Elli menahan kedutan di bibirnya. Lonjakan senang di hatinya begitu besar. Perlahan Elli membaringkan tubuhnya dengan menghadap Rudy.

"Tidur, ok." Rudy mengusap kelopak mata Elli. Dia terkekeh kecil begitu Elli membuka kembali matanya.

"Jail banget." Elli manyun.

"Kode nih." Tawa Rudy kembali berderai begitu melihat Elli buru-buru menutup matanya sambil menelusup masuk ke dalam pelukannya.

Paginya Elli sudah rapi dengan dandanan seadanya. Baju kemarin yang dia semprot menggunakan deodoran yang tersedia di kamar mandi, cuci muka, sikat gigi memakai punya Rudy. Sekali lagi Elli mematut penampilannya di depan cermin yang terdapat di kamar mandi. Dirasa penampilannya sudah ok, dengan santai Elli keluar tanpa tau ada tamu di ruangan Rudy yang tengah memandangnya tak percaya karena baru saja keluar dari kamar khusus Rudy.

***

Status Rahasia Donde viven las historias. Descúbrelo ahora