Bab 40. Main cantik

1.1K 74 2
                                    

Suster Mia yang dari tadi sudah ketakutan sedikit bernapas lega. Dia agak yakin, kalau nyonya Devi tidak akan datang.

Memangnya Elli ini siapanya nyonya Devi sampai memintanya datang secara pribadi begitu? Suster Mia jelas tau reputasi nyonya Devi, dia adalah wanita hebat dengan bisnis lancar di berbagai properti. "Apa saya bilang, si Elli ini hanya membual saja. Ngaku-ngaku kenal dekat dengan nyonya Devi, pakai sok-sokan nyuruhnya kesini lagi. Halah, jujur saja kalau semua ucapanmu itu bohong. Dasar murahan."

Dikatai seperti itu, kedua mata Elli memanas. Monalisa yang berdiri di sampingnya juga mulai ragu pada ucapan sahabatnya ini.

Ceklek.

"Siapa yang kamu bilang murahan?"

Mereka serentak menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Di sana nyonya Devi melipat tangan di depan dada sambil menatap angkuh ke arah depan, lebih tepatnya Suster Mia yang terbelalak terkejut.

"B-bu Devi." Suster Mia tergagap.

"Ya." Nyonya Devi menjawab. "Atas dasar apa kamu menyebut Elli murahan?"

Suster Mia tersentak takut. "Ti-tidak Bu Devi. Saya tidak bermaksud begitu." Suster Mia menunduk dalam. Dia tidak berani menatap langsung mata Nyonya Devi yang menajam saat melihat kearahnya.

Perlahan, nyonya Devi melangkahkan kakinya. Dia baru berhenti saat di depan Elli dan Monalisa. Melirik sebentar Monalisa, nyonya Devi baru menatap Elli sepenuhnya. Dia mengusap air yang menggenang di pelupuk mata Elli. "Kenapa menangis?"

Elli menggosok hidungnya sebentar karena dirasa ada cairan mau mengalir. Setelah itu baru dia balas menatap ibu mertuanya. "Sakit, hati aku." Akunya manja.

Monalisa menganga mendengar nada manja Elli pada nyonya Devi. Apa selama ini dia melewatkan sesuatu? Kenapa Elli terdengar seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya? Sebenarnya apa hubungan mereka. Monalisa berteriak frustasi dalam hati.

Nyonya Devi membelai kepala Elli pelan, sorot matanya tampak lembut saat menatap Elli. "Apa yang kamu inginkan untuk membalas rasa sakit hati kamu ini?"

"Apapun?" Elli bertanya memastikan.

Nyonya Devi mengangguk memnenarkan. "Ya, apapun itu."

Diam-diam Elli memandang Suster Mia penuh kemenangan. Sorot matanya mengatakan seolah, 'apa aku bilang'.

Suster Mia mengepalkan tangannya kuat, sampai kuku jarinya yang panjang bersih menancap di telapak tangannya. Dia marah luar biasa karena merasa karirnya sedang dipertaruhkan sekarang. Namun, dia tetap dipaksa untuk tunduk seolah tidak punya harga diri walau hanya untuk membelanya saja.

"Kalau begitu, tahan mulutnya saja agar tidak ember dengan memberitahukan orang-orang kalau aku dan Dok. Udin sudah menikah."

Nyonya Devi berbalik ke arah belakang, di mana Suster Mia berdiri kaku. Dia memindai penampilan Suster Mia yang agak kusut. "Apa kamu masih betah bekerja di sini?" Tanyanya to the poin.

Suster Mia tersentak kaget. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan langsung dihadapkan pada wajah-wajah yang memandangnya berbeda-beda. Elli dengan seringaiannya, Monalisa dengan tatapan datarnya, dan terakhir nyonya Devi dengan wajah angkuhnya.

Suster Mia menelan saliva susah payah, lalu dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan nyonya Devi Saswito. "Ya, bu. Saya masih betah bekerja di rumah sakit ini."

"Kalau begitu, pastikan tidak ada kebocoran apapun mengenai pernikahan Elli dan Rudy sampai resepsi itu dilaksanakan. Kalau tidak, kamu sendiri tau apa yang bisa saya lakukan pada orang kecil sepertimu." Nyonya Devi menekan kata penegasan pada nada bicaranya, persis seperti karakter antagonis dalam sebuah film.

Elli dan Monalisa yang berdiri di belakang nyonya Devi serentak menganga takjub.

Hebat bener aura seorang Bos, mah. Beda banget sama gue yang hanya remehan rengginang. Monalisa membatin kagum.

Suster Mia menganggukkan kepala dua kali. "Baik. Saya pastikan rahasia itu tidak bocor pada siapapun."

Nyonya Devi mengangguk puas. "Sekarang, kamu boleh pergi."

Suster Mia mengangguk. Tanpa berlama-lama lagi, Suster Mia segera melesat keluar dari WC umum. Dia berjanji dalam hati, kalau WC umum adalah tempat terkutuk yang tidak akan pernah dia datangi lagi.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Nyonya Devi memindai penampilan Elli. Setelah dirasa tidak ada yang salah, barulah dia bernapas lega.

"Aku baik, kok." Elli tersenyum manis. "Makasih udah mau datang ke sini."

Nyonya Devi mengangguk. "Sama-sama." Lalu dia menoleh ke arah Monalisa yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi Elli dan nyonya Devi. "Ini, Monalisa bukan?"

"Iya, Bu Devi." Monalisa mengangguk hormat.

"Anaknya pak Cokrowo?" Nyonya Devi sedikit memiringkan kepalanya saat mengingat-ngingat wajah gadis kecil umur 6 tahun yang sebiji dengan wajah perempuan di samping menantunya itu.

Monalisa langsung mengangguk semangat. "Benar, Bu." Dia tidak menyangka kalau seorang Devi Saswito bisa mengenal ayahnya yang hanya orang dengan usaha kecil bila disandingkan dengan orang besar seperti nyonya Devi ini.

"Wajahmu ternyata tidak banyak berubah, ya. Masih dapat saya kenali walau sudah tujuh belas tahun kita tidak bertemu."

"Tujuh belas tahun?" Monalisa bertanya bingung. "Maksudnya, kita pernah bertemu saat saya kecil gitu?"

"Wajar saja kamu tidak ingat, waktu itu kamu memang masih sangat kecil. Saya dan Almarhum suami sering berkunjung kerumahmu dulu yang masih di rawasa. Sekarang hebat ayah kamu, rumahnya sudah pindah dan besar."

Raut nyonya Devi begitu ceria dengan binar di matanya, Elli dapat melihat itu. Sebenarnya nyonya Devi ini begitu kesepian, selalu menggumamkan nama sang suami di kala sendiri. Waktu itu, Elli tak sengaja melihat nyonya Devi duduk di depan kolam ikan sambil terisak menyebut nama suaminya. Elli sangat kasihan, tapi tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur ibu mertuanya ini.

"Tidak sepenuhnya lupa sih, masih ada samar-samar sedikit." Menyadari sesuatu, Monalisa menatap nyonya Devi antusias. "Lalu, gimana kabarnya kakak ganteng anak Bu Devi itu sekarang? Wah, pasti dia tambah ganteng deh."

Jelas dong ganteng, wong sekarang dia jadi rebutan para janda dan perawan. Elli berkata judes dalam hati.

"Dia ada. Tapi, karena ada sesuatu yang terjadi. Saya memutuskan untuk menyembunyikan identitasnya dari publik."

"Apa sekarang dia sudah menikah?"

Istrinya di sini, di sampingmu Momo. Elli memnatin kesal. Dari gerak geriknya, kenapa Elli menangkap nada tertarik pada suaminya itu.

"Sudah." Nyonya Devi tertawa melihat raut nelangsa  Elli.

"Terus! Terus saja bahas nostalgia kalian sampai lebaran tahun depan, saya mah apa atuh. Hanya patung pancuran di pedesaan." Elli merengut karena merasa terabaikan oleh dua orang ini.

"Oh, iya. Karena asyik ngobrol sama kamu, saya sampai kelupaan pada Elli." Nyonya Devi mentatap Elli merasa bersalah, lalu dia kembali menatap Monalisa. "Kalau begitu, lain kali mampir saja kerumah saya. Kita makan-makan di sana."

"Tentu. Nanti saya kesana ajak Elli sekalian."

"Baiklah, jangan lupa."

Nyonya Devi lalu menatap Elli. "Elli, kamu ikut saya ok."

Elli mengangguk.

"Sampai jumpa Monalisa." Nyonya Devi melambaikan tangannya sekilas pada Monalisa. Lalu, dia mulai melangkah keluar diikuti Elli.

Sebelum melangkah mengikuti nyonya Devi, Monalisa menahan tangannya sebentar. "Lo hutang penjelasan sama gue."

Elli mengacungkan jempolnya, setelah itu dia bergegas mengikuti nyonya Devi yang sudah keluar terlebih dahulu.

***

Status Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang