21. Hinaan dari anak kampung

849 55 0
                                    

"Baiklah. Keputusan kita serahkan pada Rudy anak saya dan Elli. Jadi, apa keputusan kalian?" Nyonya Devi memandang bergantian Rudy dan Elli.

"Saya tid--," Rudy mendelik begitu sengatan maut bersarang dipinggangnya. Cubitan maha dahsyat ala emak memang tak terelakan sakitnya. Rudy saja sampai mengeluarka sedikit air di sudut matanya.

"Sekali bilang tidak, mamah jadikan kamu perkedel durian." Nyonya Devi berbisik kecil di dekat telinga Rudy.

Rudy menatap tak percaya ke arah mamahnya itu. Apakah benar orang yang baru saja mencubit dan berbisik mengancam barusan adalah orang yang melahirkannya? Dari pada disebut Ibu kandung, kenapa lebih pantas dipanggil Ibu tiri jahatnya Cinderella? Dan ... apa ada ya perkedel durian?

"Saya ... setuju." Akhirnya kata itu yang Rudy keluarkan karena berada dalam tekanan Nyonya Devi yang menatapnya penuh tungtutan.

Mulut Elli menganga konyol. Bukankah laki-laki ini sedari tadi menatapnya tak suka, lalu kenapa sekarang bilang setuju untuk menikahinya?

"Alhamdulliah." Kini giliran Pak Lurah Groho kini menatap Elli. "Lalu keputusan Nak Liya bagaimana?"

"Tentu saja tidak mau. Walaupun laki-laki ini tampannya maksimal, penuh pesona, tatapannya menggetarkan hati, dan bicaranya tidak meledak-ledak, tapi bukan berarti aku mau. Ingat, dia sudah ngintip aku mandi. Apa Pak Lurah Groho mau aku hidup dengan orang mata keranjang?" Tak segan Elli menyorot Pak Lurah Groho galak dan murka.

"Saya tidak tau, ucapanmu barusan entah memujiku atau malah menghina. Kenapa bisa kamu begitu gamblang mengungkapkan perasaan yang tergambar dalam hatimu?" Rudy menggeleng tak habis pikir dengan pemolaan ucapan yang gadis ini ucapkan.

"Mulut-mulut aku, kenapa juga jadi kamu yang ribet?" Elli menjawab ketus.

"Liya." Sulis melototi Elli agar tidak berbicara sekasar itu pada Rudy.

Ditatap seperti itu oleh Ibunya, Elli hanya bisa mengerucutkan bibir tanpa bisa membalas ucapannya.

Rudy menyeringai kecil saat melihat Nyonya Devi. "Mamah, dia sendiri yang menolaknya. Jadi, apa yang bisa kuperbuat selain menerima. Benar kan?"

Nyonya Devi hanya menggeleng tak habis pikir atas tingkah kedua anak muda di depannya.

Dalam hati Rudy tertawa puas melihat Ibunya tak bisa berkutik dalam menekannya lagi agar menikahi gadis ini hanya karena alasan konyol yang sama sekali tidak dia perbuat.

"Liya, bukannya kamu yang bersikeras kalau Nak Rudy ini sempat melihatmu telanjang waktu di pemandian dekat sumur itu. Lalu, kenapa sekarang kamu menolak saat Rudy jelas mau mempertanggung jawabkannya dengan cara menikahimu?" Kini giliran Pak Lurah Groho yang angkat suara. Di sini dia memang bertugas sebagai penengah, namun sebagai Lurah yang baik tentu dia juga harus ikut dalam perundingan ini agar ada jalan keluar yang adil antara warganya dan warga pengunjung ini.

"Masa aku harus nikah sama orang mata keranjang? Kalau di masa depan dia melakukan hal serupa bagaimana? Lagipula aku tidak kenal baik asal usulnya atau yang lainnya. Lalu bagaimana bisa aku setuju menikah dengannya? Pernikahan ini bukan hal main-main Pak Lurah Groho." Elli mengusap air dari sudut matanya. Dia sendiri tidak menyadari kapan air mata itu keluar, tau-tau sudah menitik mengaliri pipinya.

Rudy mendelikan mata kesal karena lagi-lagi disebut mata keranjang. Kenapa gadis ini seolah tidak mau menerima kalau dia benar-benar tidak sengaja masuk kedalam pemandian dan melihatnya telanjang. "Bisa stop gak sih kamu bilang saya ini mata keranjang."

"Liya, gak baik kamu terus-terusan bilang Nak Rudy begitu. Bukannya tadi dia sudah menjelaskan kalau tidak ada niatan untuk masuk ke dalam bilik pemandian. Hukum dunia itu berpatokan pada bukti, beda dengan akhirat yang tangan pun bisa menjadi saksi. Jadi untuk kemaslahatan semua orang, ada kalanya kalau kamu menerima penjelasan Nak Rudy tadi." Dengan bijaksannua Pak Lurah Groho memberi pengertian pada Elli yang sudah dia anggap anaknya sendiri.

Air mata Elli makin deras mengalir, karena tak tega buru-buru Supriyadi memeluk putrinya itu yang duduk menyimpang di dekatnya. "Atos! Lamun anjeun aim, nya entos. Anjeun ukur perlu cukup kuat jeung jadi diri sendiri wae. (Sudah! Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Kamu hanya perlu cukup kuat dan terus jadi dirimu sendiri.)"

Dalam pelukan Supriyadi Elli mengangguk kecil. Dia mengusapkan ingusnya pada pakaian yang dikenakan Supriyadi. Tanpa rasa jijik, Supriyadi malah membersihkan kembali hidung Elli dari ingus yang bercampur dengan air mata.

"Kalau Elli menolak, saya selaku Ibu dari Rudy hanya bisa menerima keputusan yang Elli pilih. Untuk kesalah pahaman yang ada, kami mengucapkan maaf sedalam-dalamnya." Nyonya Devi menatap satu persatu mulai dari Pak Lurah Groho, Sulis, Supriyadi, dan terakhir Elli yang sudah menegakan kembali duduknya.

"Sama-sama Bu Devi." Sulis menimpali dengan ramah.

"Karena musyawarah ini sudah sampai pada mupakat sama-sama, kita akhiri saja musyawarah ini dengan jalan damai ya Nak Rudy, Elli, dan para orang tua sekalian." Pak Lurah Groho melebarkan senyum lega karena satu masalah dalam dusunnya terselesaikan dengan baik.

"Baik Gro--ehm," Supriyadi terbatuk karena Pak Lurah Groho memelototinya akibat salah menyebutnya tanpa embel-embel pangkatnya. "maksud saya Pak Lurah Groho. Kami sekeluarga mohon undur diri." Supriyadi menoleh ke arah Rudy dan menatapnya tajam. "Dan kepada Nak Rudy, saya pribadi meminta maaf karena sempat menodongkan golok. Untuk ke depannya, usahakan jangan masuk kepemandian lagi."

Dengan tenang seolah intimidasi Supriyadi tidak berdampak apapun padanya, Rudy tersenyum tipis sambil mengangguk. "Pasti akan saya ingat nasihat dari Pak Supriyadi."

"Kalau begitu, kami pamit pulang. Assalmualaikum." Supriyadi mewakili keluarganya mengucap salam. Mereka keluar dari ruang Kelurahan setelah mendapat balasan dari orang yang tersisa di dalam.

Begitu sampai di Rumah Abah langsung membawa Elli duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengannya.
"Saenggalna anjeun geura mulang ka Jakarta deui. Abah khariwang anjeun di die jadi bahan olokan barudak. Anjeun meureun teurang kumha sipat jalma-jalma di dieu? (Secepatnya kamu segera pulang ke Jakarta lagi. Abah khawatir kamu di sini jadi bahan olokan anak-anak. Kamu mungkin juga tau bagaimana sipat orang-orang di sini?"

"Ih abah, liburan Liya pan masih genep poe deui. Nyaah atuh lamun keudah mulang ka Jakarta ayeuna. Eujeung mah caritaan jalma-jalma keur naon didangu, cukup angap angin lewat. Beres weh. (Ih abah, liburan Liya kan masih enam hari lagi. Sayang dong kalau harus pulang ke Jakarta sekarang. Lagian omongan orang-orang ngapain di dengar, cukup anggap angin lewat. Beres deh.)" Elli menimpali kekhawatiran sang Abah dengan santai.

Setidaknya rasa tenang dan santai Elli bertahan sampai hari esoknya.

"Uhuy, si Elli awakna geus te polos deui. Hayang atuh nempo urang oge. (Uhuy, si Elli badannya udah gak polos lagi. Mau dong saya lihat juga.)" Seorang pemuda dengan rambut gondrong yang tengah nongkrong di pos ronda menggoda Elli yang tengah lewat untuk ke warung.

Pemuda lainnya yang ikut nongkrong pun mensoraki si pemuda galing.

"Modar siah Junaedi, di bejakeun ka Abah aing! (Mati kamu Junaedi, mau di katakan pada Abah saya!)" Elli membalas murka.

"Buahahaha, ngadu ceunah euy. (Buahahaha, ngadu katanya.) Junaedi menimpali santai sambil melirik semua teman-temannya untuk ikut mengolok Elli.

"Wah, sok jual mahal si Elli teh. Awak geus peurnah katemong ku lalaki ge mani balagu keneh wae. Sakali teu hargaan, teuteup euweuh hargaan dek di kukumahakeun oge. Hahahaa... beuneur teu barudak. (Wah, so jual mahal si Elli ini. Badan sudah pernah terlihat oleh laki-laki juga tetap belagu saja. Sekali gak ada harganya, tetap gak ada harganya mau di apain juga. Hahaha... benar tidak teman-teman?)"  Junaedi kembali menimpali sambil meminta pendapat teman-temannya.

"Beuneur atuh. (Benar dong.)" Teman-temannya menjawab serentak kemudian ngakak bareng.

Tak kuat mendapat olokan habis-habisan dari Junaedi dan teman-temannya, Elli mengambil batu hendak melemparinya. Namun, sebuah tangan sudah lebih dulu menahan tangannya. Elli membalik badannya ke belakang, sontak matanya membulat begitu menyadari siapa orang yang berdiri di belakangnya itu.

***

Status Rahasia Where stories live. Discover now