#21

13.5K 1.2K 2
                                    

Seorang wanita paruh baya terlihat berdiri diambang pintu, "Dean sayang anak mama sudah pulang nak, sudah makan belum?"

Dean hanya diam dan menerobos masuk. Menahan kekecewaan saat melihat wanita itu tersenyum, menahan semua pertanyaan dibenaknya. Dean butuh waktu untuk meredakan emosi nya.

Wanita paruh baya itu hanya mendapatkan kebingungan dengan kepergian Dean.

"Deana sudah mengetahui, Neta. Maaf kelancanganku karena memberitahunya." suara bariton yang berasal dari laki-laki yang didekat mobil dia adalah Jordan.

"Berikan Deana waktu dan jelaskan secara perlahan, jangan sampai membuat mate-ku bertambah sedih atau kau akan habis ditanganku." kata Jordan kemudian pergi meninggalkan Neta yang terkejut.

Seluruh badan Neta melemas mendengar perkataan Jordan. Kepalanya terasa sakit, ini memang kesalahannya karena sudah menyembunyikan sesuatu yang besar kepada orang yang ia sayangi.

Dengan lunglai Neta berjalan kerah kamarnya. Terlihat bunga disekitar kamarnya menjadi layu, Neta menatap salah satu bunga yang layu dengan sendu.

Sedangkan dikamar Dean sedang duduk dibalkon sambil memegang bingkai kecil yang berisi dirinya dan ibunya.

Derai air mata membasahi pipi, sesekali mencoba menyekanya namun tetap saja mengalir tanpa henti.

Mencoba untuk tidak mengeluarkan suara Dean menggigit bibir bawahnya, akan tetapi hal itu sangat sia-sia. Karena tidak kuasa menahan dan menerima kenyataan yang ada saat ini.

"Kenapa? Kenapa aku harus tau semua ini?"

Dean memukul-mukul dadanya bermaksud menghilangkan sesak yang kini melekat didadanya.

Rasanya Dean ingin berteriak sekencang mungkin.

Dean bangkit dari duduknya, lalu menutup pintu balkon dan pergi ke tempat tidur. Menaruh bingkai foto yang sedari tadi ia genggam dinakas yang berada dihadapannya.

Mengingat kembali kenangan bersama ibunya. Saat Dean sakit, saat bermain bersama, saat masak bersama. Banyak sekali kenangan indah bersama sang ibu.

Sangat tidak adil berjuta-juta keindahan akan hilang begitu saja hanya karena satu hal yang menyakitkan.

Seperti noda titik yang berada diatas kertas putih.

Di sisi lain Jordan yang notabanenya seorang Alpha memiliki pendengaran yang sangat tajam, hanya dapat memandangi balkon kamar Dean dari luar.

Mendengar suara rintihan itu membuat Jordan juga merasakan penderitaan.
Tangan Jordan mengepal, dan napasnya memburu.

Jordan langsung melompat ke arah balkon Dean, kemudian mengetok pintu kaca milik Dean.

Terlihat Dean yang sedang menangis termenung memandangi foto di nakas.

Dengan pelan Jordan membuka pintu itu yang ternyata tidak terkunci.

Berjalan dengan pelan menghampiri Dean, kemudian duduk di tepi kasur yang berdekatan dengan posisi Dean.

Dean sedikit terkejut melihat kehadiran Jordan, Deanpun bangun dari tidurnya. Mata sembabnya kini menatap Jordan dengan lemah.

Tangan Jordan terulur mengelus rambut Dean, menampilkan senyum yang selalu dia berikan kepada Dean.

"Jangan menangis lagi, Deana." Jordan menyeka  air mata yang turun dengan pelan dipipi Dean, "Aku tidak kuat mendengar rintihan tangis mu, sangat menyakitkan."

Tersenyum kecil mendengar hal itu, terdengar seperti Jordan sangat mencintai nya. Dean adalah gadis beruntung yang diperlakukan seperti ratu ditangan orang yang tepat.

Dengan pelan tangan Dean terulur memeluk Jordan, menenggelamkan wajahnya didada bidang Jordan.

Sangat nyaman, dan menenangkan.

Jordan menepuk-nepuk bahu Dean, dan mengelus rambutnya dengan lembut.

Beberapa waktu kemudian setelah menenangkan diri, Dean memutuskan untuk menemui ibunya.

Akan tetapi Dean tidak sendiri, karena Jordan berada disisinya akan menemani Dean.

Di ruang keluarga terlihat Neta yang sudah duduk disana. Menyadari kehadiran Dean dan Jordan, Neta bangkit dari duduknya.

Kekhawatiran Dean akan membenci dirinya seolah sirna.
Neta sangat menyayangi Dean, meskipun Dean bukanlah anak kandungnya.

Dean kini berada tepat dihadapannya.

"Deana cantik, maafin mama sayang." Neta menangkup wajah Dean. "Deana adalah anak mama yang paling mama sayang, mama sayang Deana." ucap Neta sambil menangis tersendu sendu.

Dean menyeka air mata Neta, lalu memeluk Neta. "Deana juga sayang sama mama, Deana cuma sedikit kecewa karena mama gapernah bilang apa-apa ke Deana."

Neta melepas pelukan Dean, mengajak Dean duduk disofa berdua.
"Maaf karena mama takut Deana benci sama mama."

Jordan yang sedari tadi menyaksikan hanya memperhatikan. Nyatanya Dean mampu berbicara dengan ibunya tanpa bantuan sedikitpun dari Jordan.

Kini Neta mulai menceritakan segala hal, dari awal dia berasal, menyamar, bertemu Dean sampai akhir. Neta tidak menutupi sedikit fakta pun dari Dean.

Dean dan Jordan hanya menyimak bagaimana kisah perjalanan Neta.

"Jadi kapan kamu dan Jordan akan menikah? Kamu mate-nya Jordan kan?" tanya Neta tiba-tiba.

Mata Dean terbelak mendengar hal itu sedangkan Jordan terlihat biasa saja.

"Ma, Deana masih sekolah."

"Tidak masalah sebenarnya, atau kamu tinggal dengan Jordan? Karena pasti Jordan sudah menunggu kehadiranmu terlalu lama."

Hah? Ini terlalu cepat untuk Dean, mengingat umurnya yang masih terlalu muda untuk melanjutkan hubungan dengan jenjang yangs serius.

Dean masih memiliki cita-cita yang harus dia gapai. Dan pendidikan yang tinggi adalah salah satunya.

Dengan gugup Dean melirik ke arah Jordan yang sedang asik mengambil kue yang selalu tersedia dimeja.

"Neta jangan terlalu memaksa Deana." kata Jordan dengan singkat.

Neta menatap Dean, "Mama tidak akan memaksa Deana, tapi Deana tahu? Kalau seorang werewolf tidak akan bisa jauh dari pasangannya, dan bisa merasakan sakit pada waktu tertentu."

Dean terkejut bukan main, jadi selama ini Jordan merasakan sakit karna dirinya.

"Tapi ma, Deana mau sekolah dulu belajar sampai pintar masuk perguruan tinggi. Meskipun Deana tidak terlalu pintar, tapi Deana mau punya pendidikan yang tinggi."

"Bagaimana dengan private school? Homeschooling?"

#TBC

The WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang