Bagian 8

444 64 6
                                    

Vincenzo sempat berpikir kalau Miri-ssi hanya mengada-ada ketika dia berkata Chayoung membutuhkan kehadirannya, lewat sambungan telepon tidak lama lalu, atau perempuan itu menggunakan Chayoung untuk meyakinkan dirinya kembali ke Korea untuk selamanya.

Vincenzo sempat berharap untuk mendengar satu kata spesifik dari bibir Chayoung setahun yang lalu. Dia sempat pasrah untuk berharap akan hal tersebut ketika mendengar berita Chayoung kehilangan ingatannya. Dia punya ekspektasi rendah akan nilai kehadirannya bagi Chayoung ketika dia kembali ke Korea, seakan dia bisa dengan mudahnya menghilang dari kehidupan Chayoung jika perempuan itu tidak membutuhkannya lagi. Tapi kemudian dia menyebut kata-kata itu, seperti permohonan, dengan tangannya yang kecil memegang tangannya dengan lekat. Seakan perempuan itu mengerti akan apa yang dipikirkannya, seakan perempuan itu mengerti bobot kalimat yang dia ucapkan.

Vincenzo melepas tangan Chayoung dari lengannya, ada sekilas raut sedih dan ketakutan di wajah perempuan itu sebelum dia melihat tangan Vincenzo terangkat dengan telapak terbuka ke arahnya, menawarinya tangan untuk digenggam. Vincenzo tidak butuh mengulang pesannya dengan kata-kata, Chayoung kini menggenggam tangannya yang jauh lebih besar dan mereka berjalan masuk ke rumah bersama, berdampingan.

***

Chayoung nampak seperti orang asing yang masuk ke rumah seseorang, sangat hati-hati dan matanya menyeka seluruh area rumah itu. Dia belum ingin melepas tangan Vincenzo ketika mereka sudah di dalam, ketika dia berhenti untuk melihat pigura yang terpajang di dinding. Dia ingat seakan kemarin saja, rambut potongan mangkoknya dan teman-teman SMAnya. Dia sempat merasa canggung kapan lalu, saat sebagian ingatannya kembali dan menemukan dirinya memiliki rambut yang sangat panjang. Dia akhirnya memotong rambutnya sampai bahu setelah berpikir bahwa kembali ke potongan mangkok tidak cocok dengan raut wajah dewasanya.

Manik Chayoung pindah ke pigura lainnya yang menampilkan dirinya dengan rambut pirang dan berpose di balik ranting. Dia mendekat ke pigura tersebut, menyipit.

"Itu aku?" tanyanya dengan mata masih menatap foto tersebut.

"Ayahmu berkata itu dirimu," jawab Vincenzo, menyengir sedikit. Chayoung mengingatkan dirinya ketika pertama kali dia melihat foto itu.

"Apa?" Chayoung menoleh dengan instan. "Kamu pernah ke sini?"

"Ayahmu mengundangku untuk sarapan sup untuk mengurangi pusing," Vincenzo menjawab santai.

Chayoung menatap penasaran tapi dia tidak ingin bertanya lebih jauh dan kembali mengamati pigura-pigura itu sebelum berpindah ke meja kecil yang terletak tidak jauh dari laci depan pintu, melewati pintu kamarnya. Vincenzo mengikuti dari belakang karena tangan mereka masih terpaut satu sama lain.

Chayoung berhenti di depan meja yang berhiaskan pigura foto ayah dan ibunya, plakat nama ayahnya dan plakat dinding kecil bertuliskan Jipuragi. Chayoung akhirnya melepaskan pegangannya untuk berjongkok agar dapat menatap pigura orang tuanya lebih dekat. Vincenzo menoleh ke arah Pak Nam yang berdiri di sebelahnya dan keduanya memutuskan untuk mundur dan duduk di sofa.

Chayoung berjongkok lumayan lama, dalam keheningan, menatap kedua foto almarhum orangtuanya. Dia menghela napas, "Mungkin aku sudah banyak meratap dulunya jadi sekarang aku bahkan tidak merasa sedih," ujarnya, mengatupkan kedua bibirnya, merasa kecewa.

"Bukannya lebih baik untuk tidak mengulang rasa sedih dan sakit lagi?" tanya Pak Nam.

"Ga tahu," Chayoung menghela napas, "Kupikir akan lebih baik jika aku bisa merasakan hal tersebut agar bisa terkoneksi dengan masa lalu, ya kan?" Pak Nam hanya mengangguk paham, tidak tahu harus menjawab apa.

"Hargai kenangan indah dan fokus pada masa kini," ujar Vincenzo bijak, "Itu Hong Chayoung yang aku kenal. Semoga bisa membuatmu lebih semangat." Tambahnya, menatap Chayoung dengan tatapan sangat manis.

Chayoung merasa wajahnya menjadi sedikit hangat, entah karena kata-kata Vincenzo atau senyum manis tipisnya. "Benar. Terimakasih," akunya dan kembali mengamati sekitar. Matanya mendarat di pintu kamar orangtuanya dan memutuskan untuk memasuki ruangan itu.

Ruangannya rapi dan lengang walau banyak tumpukan kertas di sudut ruangan. Dia tersadar bahwa kasurnya sudah bukan kasur besar lagi, menunjukkan bahwa ruangan ini sudah lama digunakan oleh satu orang saja. Chayoung penasaran apakah ayahnya membuang kasur yang pernah ditiduri bersama dengan ibunya dan menggantinya jadi kasur lebih kecil. Ada beberapa seri pigura yang tertata rapi di atas laci duduk kamar; foto-foto orang tuanya dan dirinya pada saat masih kecil, foto dirinya dan ibunya, lalu foto ketiganya ketika mereka menghadiri kelulusan SMP, foto kelulusan SMAnya, dan foto dia dan ayahnya-yang nampaknya diambil pada saat kelulusan kuliah. Kedua tangannya masing-masing mengambil salah satu pigura dan membandingkannya; di satu tangan mereka tampak dekat dan bahagia, di tangan lain mereka tampak menjauh dan seperti tengah bertengkar sebelum mengambil foto. Apa yang sudah diceritakan Pak Nam jadi terasa lebih nyata, bahwa ada celah besar di hubungan antara dia dan ayahnya, Chayoung penasaran sebenarnya akan apa yang terjadi tapi setelah mendengar apa yang Vincenzo katakan, dia sepertinya memutuskan untuk melupakannya. Ayahnya sudah meninggal dan tidak ada yang bisa diubah kalau dia ngotot ingin mengingat segalanya.

Ketukan lembut membuyarkan pikirannya yang terbang kemana-mana. Chayoung menoleh.

"Aku hanya ingin mengkonfirmasi sesuatu," tanya Vincenzo.

"Apa?"

"Tentang permintaanmu untuk aku tinggal, apakah maksudmu aku menginap semalam?" Vincenzo bertanya sembari menggaruk hidungnya yang tidak gatal.

"Tidak," jawab Chayoung. "Yang aku maksud adalah untuk beberapa malam seterusnya tidak hanya untuk malam ini. Kamu bisa lihat kan aku tinggal sendiri."

"Tapi kan bisa minta tolong Nona Seo Miri-"

"Dia kan kerja? Repot kalau harus bolak-balik."

"Kamu anggap aku pengangguran?"

"Bukannya begitu?"

"Kamu serius?" tanya Vincenzo masih ragu.

"Terus gimana? Membiarkan aku tinggal sendirian?" Chayoung berbalik ke arah Vincenzo, tangan terlipat di dadanya.

"Bagaimana dengan Pak Nam?" tanya Vincenzo.

"Pak Nam sudah menjagaku berbulan-bulan, dia butuh privasi." Chayoung mendebat.

"Oke, oke. Aku hanya ingin mengkonfirmasi saja," ucap Vincenzo. "Kalau begitu aku harus mengambil barang-barangku dulu. Kamu disini dengan Pak Nam dulu, oke?"

"Oke."

"Aku akan kembali." Vincenzo kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan. Chayoung kembali menginspeksi ruangan ayahnya. Dia berjalan menuju tumpukan berkas kasus yang ditangani ayahnya, membolak-balik berkas yang didapatnya sampai matanya tertuju pada satu map berjudul "Kasus Pembunuhan Presiden Shinkwang Bank".

***

Pak Nam berdiri di taman depan dengan ponselnya di telinga ketika Vincenzo berjalan ke luar rumah.

"Samujangnim." Vincenzo menginterupsi. Pak Nam berhenti sejenak dari teleponnya. "Aku harus pulang sebentar, kau bisa tetap di sini sampai aku kembali?"

"Tentu saja, byeonhosanim. Aku akan di sini sampai malam, aku sedang berbicara dengan orang-orang Geumga, aku rasa mereka akan datang ke sini menjenguk Hong byeon sore ini."

"Oh ide bagus. Aku harus pergi kalau begitu, tidak lama!"

"Hati-hati, byeonhosanim."

Vincenzo berlari kecil ke arah mobilnya, menaikinya dengan cekatan dan kemudian melaju pergi. Tidak jauh dari mobilnya, sebuah mobil sedan abu-abu menguntit dari belakang.

Memori di Atas Kertas Putih [FIN]Where stories live. Discover now