Bagian 11

440 53 12
                                    

Chayoung terbangun dengan penuh gelisah dan berkeringat terlalu banyak, badan dan hatinya seluruhnya terasa sakit. Masih terbujur di kasurnya, Chayoung menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, berusaha memahami tentang mimpinya semalam. Itu hanyalah mimpi, tapi terasa sangat nyata seakan dia berada di sana dan mengulangi adegan masa lalunya, dan ini baru pertama kalinya sejak dia mendapat sebagian ingatannya kembali, mengingat masa lalunya secara utuh, tidak hanya sekadar fragmen atau pecahan gambar. Dia mendengar sendiri percakapannya, gelombang suara yang tercipta masih terasa jelas di telinganya; hidungnya mengingat jelas bagaimana aroma parfum Vincenzo yang beradu dengan bau darahnya sendiri; lidahnya merasakan rasa asin air mata yang mengalir hingga bibirnya; seluruh sensor tubuhnya mengingat kontak fisik antara dirinya dan Vincenzo, bagaimana lelaki itu menyentuh bagian tubuhnya, rambutnya, saat mengusap air matanya; Chayoung juga mengingat bagaimana rasanya saat dia menyentuh tubuh Vincenzo. Dia merasakan emosi mendalam yang dia rasakan malam itu sampai-sampai dia merasa tercekat. Chayoung berusaha keras untuk tidak menangis tapi perasaan yang datang mendadak itu tak bisa terbendung dan membalutnya tanpa ampun. Bodoh, kenapa menangis? Dia toh ada di rumahmu sekarang! Berhenti! Menangis!

Perlu sepuluh menit untuk benar-benar kembali tenang. Chayoung menghela napas, dia selalu mendambakan masa-masa di mana dia bisa mendapatkan memori yang lebih jelas dan nyata, tapi ketika hal itu terjadi, rasanya seperti mimpi. Sungguh ironis. Chayoung bangkit dan duduk di pinggir kasurnya, berusaha pelan-pelan menarik kewarasannya kembali. Rasanya hari ini dia ingin menyangkal emosinya yang baru saja muncul ini dan menganggapnya hanya sekadar mimpi, tapi kalau dia bersikap seperti itu hubungan dia dan Vincenzo tidak akan berkembang. Sudah cukup dia tahu lelaki yang katanya mafia-berbahaya itu terjebak dalam kebingungan akan perasaannya sendiri, Chayoung tidak perlu membuat situasi itu makin mandeg dengan melakukan hal yang sama.

Chayoung beranjak dan berjalan ke arah pintu, perlahan membuka pintu kamarnya dan mengintip sekitar untuk mencari keberadaan Vincenzo—dia harus ada lah!—dan melihat lelaki itu tengah duduk di ruang amakan, membaca sesuatu dari tabnya. Dia berdeham sebelum memutuskan keluar seutuhnya dari kamarnya dan menuju kamar mandi untuk bebersih.

Dia mencium aroma sedap ketika berada di luar ruangan, dan kakinya memutuskan berkhianat dan berjalan ke arah dapur lalu berhenti tepat di seberang Vincenzo. Lelaki itu masih menggulirkan tangannya di atas tabletnya.

"Akhirnya bangun juga dirimu?" tanyanya kalem dengan nada cemooh terselubung. Chayoung mendecakkan lidahnya kesal dan bertanya pada dirinya sendiri kok bisa dia suka orang ini.

"Aku kan ga boleh kerja," jawab Chayoung, "untuk sementara ini."

"Tapi ini sudah hampir jam 10 pagi dan kamu melewati sesi olahraga pagimu."

Chayoung mendesis kesal. "Eh emangnya kamu siapa? Pelatihku?" Vincenzo akhirnya mendongak ke arah Chayoung.

"Iya." Jawabnya singkat. Chayoung mendengus.

"Kan bisa latihan nanti. Eh, apa yang kamu makan?" Chayoung berusaha membelokkan topik sembari menatap piring kosong di depan Vincenzo."

"Pancake. Mau?" tawarnya.

Chayoung mengangguk bersemangat. "Ga perlu tanya, aku lapar banget."

Vincenzo meletakkan tabletnya di meja dan beranjak berdiri. "Kamu habis nangis ya?" tanyanya kasual. Chayoung terkejut dan buru-buru menggosok matanya.

"K-Kok tahu?" tanya Chayoung penuh kaget.

"Kelopak matamu bakal bengkak setiap kamu habis menangis." Vincenzo menjawab sewajarnya sementara Chayoung berdiri bengong di seberangnya.

"Aku—Apa aku selalu menangis dulunya?" Chayoung bertanya penasaran, berpikir kalau Vincenzo sering membuatnya menangis, seperti malam itu.

Memori di Atas Kertas Putih [FIN]Where stories live. Discover now