Bagian 21

391 49 8
                                    

"Sudah mendeklarasikan kalah sebelum permainannya dimulai?" Chayoung bertanya takjub, menatap lelaki yang sedang menyetir di sebelahnya.

"Tidak. Hanya mempersiapkan bagi mereka yang sudah menyerah duluan, lagipula tidur di atas kasur lebih besar akan lebih baik untukmu, kan?"

"Benar juga. Repot nanti kalau kamu tiba-tiba muncul di kasurku yang sempit." Chayoung menyeringai.

"Atau kamu yang menyeretku ke sana." Ucap Vincenzo tidak mau kalah.

Butuh waktu dua jam untuk menyetir dan memutari toko furnitur untuk memilih kasur yang pas diletakkan di kamar Chayoung. Chayoung membayar kasur itu setelah Vincenzo mengatakan bahwa dia tidak memiliki satu alat pembayaran pun karena semuanya masih di bawah nama Italianya dan akan beresiko tinggi bila dia menggunakannya.

"Jadi sadar aku yang selalu membayar makanan dan kopi yang kita beli," Chayoung mendengus sembari memasukkan kartunya kembali ke dompet.

"Tentu saja. Aku adalah pengemis di sini, hidupku dalam genggamanmu, Ma'am." Vincenzo membungkuk.

"Kenapa kamu tidak punya kartu baru? Kan kamu ada paspor baru." Chayoung bertanya.

"Paspornya hanya identitas palsu yang bisa kupakai sementara, akan ribet kalau aku mengajukan pembuatan kartu baru dengan identitas sementara."

"Jadi itu ada... tanggal kadaluarsanya?" Tanya Chayoung.

"Hmm," Vincenzo mendengung. "Aku harus kembali ketika visanya habis." Ujar Vincenzo santai. Langkah Chayoung terhenti, menatap punggung Vincenzo yang melangkah maju tidak sadar dengan efek samping jawabannya. Lelaki itu menoleh ketika menyadari Chayoung tidak ada di sampingnya dan menemukan ekspresi Chayoung yang penuh kekecewaan.

"Jadi kamu bakal menghilang lagi?" Chayoung melemparkan pertanyaan, alisnya berkerut-kerut kencang.

Ketika Vincenzo menyadari implikasi jawabannya, hatinya melorot. "Ah, maaf aku belum memberitahumu tentang hal ini, ya... aku harus pergi lagi." Gumamnya.

"Jadi identitas barumu benar-benar hanya untuk sementara? Kenapa Pak Ahn tidak membuatnya permanen?" Chayoung bertanya dengan ketus.

Vincenzo menghela napas dan menatap Chayoung penuh rasa bersalah. "Ada pembicaraan untuk membuat identitas ini permanen tapi kalau bisa jujur padamu, aku tak ingin melepaskan namaku seutuhnya," ujarnya. Chayoung mengatupkan bibirnya, berusaha diam, jadi Vincenzo mengambil kedua tangan perempuan itu dan memegangnya pasti. "Aku tidak ingin menggunakan identitas orang lain. Aku akan cari jalan keluar secepatnya."

"Aku rasa ini bukan saatnya untuk sentimen tentang hal itu, kalau kamu lebih aman dan bisa tinggal di sampingku tanpa masalah satu pun lalu kenapa tidak digunakan saja?" Chayoung mendebat.

Bentakan yang datang tiba-tiba dari Chayoung sedikit menghantamnya. Ingin rasanya dia untuk membalas argumentasi Chayoung tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat. Berdiri di tengah jalan umum dan berdebat mengenai hal yang orang tidak selayaknya dengar. Hati Vincenzo mencelos sedih tapi Chayoung pantas untuk merasa kecewa dan memiliki pikiran seperti itu; Vincenzo benar-benar salah untuk tidak memberitahunya di awal. Dia masih memegang kedua tangannya, Chayoung menatap lurus ke arah matanya.

"Beri aku waktu, oke? Aku harus pikirkan baik-baik." Pinta Vincenzo, meremas lembut tangan Chayoung dengan ekspektasi untuk meyakinkannya.

Chayoung menggigit bibirnya, seketika merasa malu dengan luapan emosional remajanya tapi dia tidak bisa membuat dirinya untuk minta maaf. Dia kecewa dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya seketika mengetahui Vincenzo harus pergi di saat semuanya nampak kembali pada poros semula?

Memori di Atas Kertas Putih [FIN]Where stories live. Discover now