Bagian 4

616 42 7
                                    

04

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

04. Teman

Gue mau jadi temen lo. Kalimat yang tak diharapkan oleh Auberron kini terucap dari mulut orang baru saja ia ketahui namanya dan sedikit karakternya.

Orang yang menanyakan keadaan psikis nya dengan kata-kata yang mungkin menyakiti hatinya.

“Kamu yakin?” tanya Auberron.

“Saya itu gila, saya beban, dan saya yak berhak mendapat teman,” ucap Auberron.

“Lo 'kan tadi bilang, kalo terserah gue nanggepinnya gimana. Gue nganggep lo waras dan pantas berteman dengan orang ganteng plus baik kaya gue gini.” Auberron tahu, Rahman ini narsis. Auberron menganggukkan kepalanya saja.

Rahman bingung dengan reaksi Auberron, apakah Auberron mengizinkan dirinya untuk berteman? Atau Auberron akan menolak ajakan pertemanan dirinya. Kalau iya ini bisa kacau.

“Gimana, mau nggak? Tenang aja, gue nggak bakal hina lo kok. Bahkan, lo bisa dapat perlindungan dari gue.”

“Ya saya terima ajakan pertemanan kamu.”

Rahman melompat di pinggir jalan seperti orang uang baru saja menemukan uang. Rahman mengulurkan tangannya sebagai tanda pertemanan.

Auberron membalas uluran tangan Rahman dan ia hanya biasa saja serta menatap Rahman dengan tatapan hampa.

Teman itu sementara.

-A U B E R R O N-

“Karena kita udah temenan. Lo boleh kok panggil gue kapanpun disaat lo butuh.” Auberron hanya mengangguk dan segera duduk di kursinya.

“Pagi-pagi dah liat orang gila. Kenapa lo nggak lenyap dari dunia ini sih?” Auberron hanya menunduk tak menanggapi. Dia tidak berani melawan ucapan mereka yang akan berakhir luka fisik.

Tubuhnya sudah sakit, dia tak ingin menambah luka yang yambah menyakiti dirinya sendiri. Seorang pemuda berjalan mendekati Auberron.

“He, Gila!” Pemuda bernama Dafa itu mencengkeram kerah seragam Auberron. “Sekali-kali jawab dong! Jangan nunduk terus! Udah gila cupu lagi. Biasanya kan orang gila kalau diusik bakal ngamuk.”

“Y-ya berarti s-saya bukan orang gila.” Auberron menjawab dengan terbata-bata dan menundukkan kepala.

“Nggak gila lo bilang!” Seluruh kelas teetawa dengan ucapan Dafa. Apa yang salah dengan dirinya? Apakah dia benar gila?

“Tiba-tiba suka ngeremes tangan, gemeteran, nangis, ngamuk kalau guru nenangin lo. Itu yang lo bilang, lo nggak gila?!” cerca Dafa.

Auberron mengeluarkan air matanya, dia takut. Benar-benar takut. Apa memang dirinya gila? Cacian ibu, teman-temannya, dan ayah tirinya terngiang di kepala.

Auberron memegang kepalanya, sedangkan orang yang disekitarnya tambah memperburuk keadaan dengan menyuraki Auberron menggunakan kata-kata yang tidak sopan.

Gila! Gila!”

“Udah gila, bukannya ke rumah sakit jiwa malah ke sekolah. Salah alamat, Sat!”

“Huuu, dasar beban!”

“Kalau nggak kuat, pergi sana!”

“Ck! Gini amat sekelas sama orang gila.”

“Bangsat, kalau mau ngamuk jangan disini. Nanti nggak kuat ganti rugi lagi.”

“Arggghhh!” Auberron menjambak rambutnya. Cacian itu tak henti-hentinya berputar di kepalanya. Auberron menangis, hingga ... “Kalian ngapain?”

Bersambung ....

👇Jangan lupa pencet bintangnya ⭐

AuberronWo Geschichten leben. Entdecke jetzt