Bagian 11

467 34 9
                                    

11

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

11. Panti Asuhan?

Tin

Tin

Tin

Bunyi klakson mobil dibunyikan. Auberron yang tengah melamun pun tersadar dan melihat ke belakang.

Tak terasa kini dia berjalan di tengah jalan yang ramai akan pengendara. Meskipun ini sudah malam, jalan masih ramai.

“Kalau jalan, diperhatiin jalannya dong. Ngebahayain diri sendiri sama orang lain tahu nggak?” ucap seorang perempuan yang kiranya sebaya dengan Auberron.

“Kalau mau bunuh diri nggak kaya gini caranya. Noh, jurang. Lo tinggal terjun dan lenyaplah nyawa lo,” ujarnya dengan menunjuk arah jurang.

“Maaf.” Auberron menundukkan kepalanya dan minggir ke tepi jalan. Perempuan yang memarahinya tadi sudah kembali melaju setelah dirinya menepi.

“Nak, kamu tidak apa-apa?” tanya seorang ibu-ibu pengendara sepeda motor yang tadi ada disekitar tempat kejadian.

“Tidak apa-apa, Bu.”

“Syukurlah. Kamu mau kemana, Nak?” tanya ibu itu.

“Nggak tahu, Bu,” jawab Auberron dengan menundukkan kepalanya.

“Memangnya rumah kamu dimana?”

“Saya tidak punya rumah, Bu.”

“Astaghfirullah, kalau gitu kamu mau ikut Ibu nggak?”

“Kemana, Bu?” tanya Auberron.

“Ke panti asuhan yang Ibu miliki. Kamu mau?” Auberron mengangguk dan melangkah ke sepeda motor milik ibu tadi, lalu duduk di belakang ibu tersebut.

-A U B E R R O N-

“Ini panti Ibu, kamu bisa tinggal di sini.” Ibu tadi berujar pada Auberron dan mengusap surai Auberron.

“Baik, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tahu lagi harus pulang kemana.”

“Sekarang kamu istirahat dulu ya, jangan lupa bersih-bersih. Ini kamar kamu dan teman-teman yang lain. Di sana ada kamar mandi. Kamu bisa mandi terlebih dahulu,” ucap Ibu Panti.

“Iya, Bu.” Auberron melangkah ke kamar tidur yang ditunjukkan ibu tadi dan kembali keluar untuk membersihkan badannya.

“Tempat ini lebih nyaman daripada rumah milik Mama. Memang ya, terkadang orang yang paling dekat adalah orang yang paling banyak memberi luka.” Auberron merehatkan tubuhnya di kasur yang disediakan untuknya.

-A U B E R R O N-

“Auberron ... Auberron. Gampang banget gue nyingkirin lo!” ucap secara angkuh seseorang di seberang.

“Tenang, gue cuman bakal ambil yang udah lo ambil. Nggak bakal ambil nyawa lo! Kalau gue ambil sekalian lebih asik juga.”

Orang itu sangat membenci, karena dia sangat tidak suka dengan keberadaan Auberron yang hanya menjadi beban bagi dirinya.

“Lo mau ngerebut Mia. Lo harus mati dulu!” tekan orang itu.

“Hahaha,” tawa seseorang itu seperti orang gila yang tertawa tanpa sebab.

-A U B E R R O N-

“Hai, kamu siapa?” tanya seorang anak kecil yang masuk ke kamar Auberron dan kawan-kawan. Pagi kini telah menggantikan malam. Auberron terbangun karena goyangan kecil yang disebabkan anak tersebut.

“Ya?” Auberron balik bertanya.

“Kamu siapa? Kok di sini? Udah izin sama Bu Ani?” tanyanya beruntut.

“Ah, ya. Aku Auberron, aku di sini karena semalam aku bertemu sama Bu Panti ini, aku nggak punya rumah, jadi, aku diajak ke sini.” Auberron menggunakan aku-kamu karena ia berkata dengan anak kecil.

“Lalu, namamu siapa?”

“Aku, Vano. Salam kenal.”

“Aku udah nggak punya orang tua. Jadi, aku di sini. Apa kamu juga sudah tidak punya orang tua?” tanya Vano.

Aku punya orang tua, tetapi serasa sudah tak punya. Batin Auberron.

Bersambung ...

👇jangan lupa pencet bintang, makasihhh.

AuberronWhere stories live. Discover now