Bagian 25

434 26 16
                                    

Jasadnya telah terbaring lemah dengan mulutnya terbuka lebar mengeluarkan darah. Dia menanggung akibatnya karena memancing amarah keluarga De Ellison.

Duncan tengah sekarat tetapi masih mencoba untuk berbicara, “k-kau, akan bersamaku di neraka!” Mereka menghiraukan Duncan yang tengah meringis kesakitan. Tak ada yang membantunya. Anak buahnya telah mati terbunuh sebelumnya.

“Ohh ya?” tanya Devan dengan nada tak mengenakan hati, tak lupa dengan senyum miring khasnya.

Auberron yang tengah meringkuk segera digendong oleh Arthur menuju luar ruangan penyiksaan itu. Semuanya keluar, meninggalkan Devan dan manusia yang sebentar lagi akan pergi ke alam baka.

“Kau terlalu pengecut, Duncan! Kau seharusnya menyelidiki sebelum menuduh orang!” ucap Devan. Duncan tak menjawab karena sudah tak kuasa menahan rasa sakit. Dia memejamkan mata, tetapi masih dapat mendengar suara di sekitarnya.

“Biar ku katakan. Yang membunuh anakmu bukan aku, Duncan. Tetapi, kembaranku yang bernama Deon. Rupa kami sama, marga kami sama, tetapi kami orang yang berbeda! Bijaklah menjadi orang!”

Seolah belum puas membuat Duncan sekarat, Devan masih menginjak perut Duncan hingga darah yang keluar dari mulutnya bertambah banyak.

Devan keluar dari ruangan penyiksaan itu dan pergi meninggalkan Duncan seorang diri dalam keadaan tak berdaya. “S-sialan!” desisnya sebelum kegelapan merenggut semuanya.

***

Auberron tampak masih menangis hingga tubuhnya panas dan bergumam kalimat, “jangam sakiti aku.” Setibanya di rumah, Devan langsung memanggil seorang dokter kepercayaan untuk membantu Auberron.

“Cepat periksa dia!” Dokter itu membuka kopernya dan mengeluarkan stetoskop. Lalu, dia mengambil termometer dan memasukkannya ke dalam mulut Auberron.

“Suhu tubuhnya sangat tinggi. Dan dia seperti orang ketakutan. Apa yang baru saja terjadi?” tanya Verel-dokter kepercayaan keluarga Devan.

“Terjadi penculikan.” Dokter itu tak menyangka, ternyata orang yang sudah besar juga masih diculik. Dokter itu memberi resep obat dan pergi meninggalkan kediaman keluarga Devan.

Namun, sebelum itu, Verel memberi pesan bahwa : jika Auberron tidur dan mengigau ketakutan atau jika bangun akan seperti orang yang ketakutan hebat. Maka Auberron bisa saja mengalami depresi akibat penculikan itu.

“Bagaimana jika Auberron benar-benar depresi, Dad?” tanya Alex dengan nada khawatirnya. Kakak terakhir Auberron itu sangat khawatir dengan adiknya.

“Tenang, Son. Jika itu benar terjadi kita akan usahakan yang terbaik untuknya.” Mereka yang masih berada di kamar Auberron pun menunggu Auberron bangun dari tidurnya.

“Jangan-jangan. Sakit ...,” kata Auberron dalam lelapnya. Devan yang mendengar itu mencoba tetap tenang dan berbaring di samping Auberron lalu memeluknya.

Mengusap lembut punggung Auberron dan mengucapkan kata penenang hingga Auberron kembali tertidur. Semuanya merasa takut akan kesehatan mental Auberron.

“Apa kita perlu ke psikiater, Dad?” tanya Andrew pada Devan.

“Sementara biarkan seperti itu dahulu. Nanti kalau sudah tidak terkendali kita cari psikiater terhebat di negara ini.” Mereka semua mengangguk dan keluar dari kamar Auberron.

***

Malam sudah datang, Auberron terbangun dari tidurnya tetapi langsung meringkuk ketakutan dan tubuhnya bergetar. Devan yang datang membawa makan malam pun langsung memeluk tubuh ringkih Auberron.

“Hust, tenanglah,” ucap Devan. Devan lalu mengangkat tubuh Auberron sehingga kini Auberron berada dalam gendongan Devan.

“Mau makan dulu, hm?” tanya Devan.

Auberron yang merasa sangat lapar karena dari lusa belum makan pun mengangguk. Meskipun ia takut bila tiba-tiba kembali dibawa oleh penjahat kemarin.

Auberron kembali didudukkan di kasurnya dan Devan mulai menyuapi Auberron. “Tenanglah, akan ku balas siapa pun yang menyakitimu.”

Bersambung ...

AuberronWhere stories live. Discover now