🌬️ 31 : Demam

408 53 2
                                    

☁️ SELAMAT MEMBACA ☁️

MESKIPUN televisi di depannya menyala, tapi Gavin tak henti-hentinya melirik ke arah pintu kamar Sheyla yang tertutup rapat. Bagaimana tidak? Hampir setengah jam berlalu sejak dirinya bangun dan duduk di sofa, Sheyla belum juga keluar dari kamarnya.

Entahlah gadis itu masih tidur atau tidak, yang pasti Gavin sedikit ragu untuk mengetuk pintu kamarnya. Namun, saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Gavin mulai merasa khawatir. Mengingat Sheyla tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Karena penasaran apa yang sebenarnya terjadi, Gavin akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Sheyla, memastikan apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak.

Tok tok tok!

"Sheyla, apa kau sudah bangun?" tanya Gavin.

Namun, tidak ada balasan apa pun dari dalam kamar. Bahkan di saat Gavin kembali mengetuk dan memanggil hasilnya tetap nihil.

Gavin menghela napas, terutama saat rasa khawatir kian menguasai hatinya. Dia juga bertanya-tanya kenapa Sheyla tidak membalas?

Kalau gadis itu masih tidur, rasanya tidak mungkin. Karena biasanya sebelum jam delapan pun Sheyla sudah bangun. Apa jangan-jangan Sheyla sedang memakai benda yang menyumpal kedua telinganya lagi seperti kemarin?

"Sheyla kalau kau tidak membalas, aku terpaksa masuk!" ancam Gavin, tapi hasilnya tetap sama. Sheyla sama sekali tidak membalas.

Gavin mendengkus, lalu dipegangnya gagang pintu. Kalau sampai pintunya terkunci, Gavin tidak punya pilihan selain berteleportasi. Namun, dia dibuat terkejut saat pintu kamar Sheyla ternyata tidak terkunci dan itu tidak biasanya terjadi.

Dengan perlahan Gavin membuka pintu lebih lebar agar dia bisa masuk dan di saat itulah tatapannya langsung tertuju ke arah tempat tidur Sheyla.

"Sheyla, kau masih tidur?" Gavin bertanya saat dia melihat Sheyla masih meringkuk di tempat tidurnya.

Tubuhnya tampak tertutup selimut dari atas kepala sampai ujung kaki dan tidak ada pergerakan apa pun dari gadis itu. Dengan perasaan khawatir yang semakin meningkat, Gavin lantas menghampiri Sheyla lalu duduk di tepi tempat tidurnya.

"Sheyla, apa kau masih tidur?"

Sayangnya tetap Sheyla tidak membalas. Dengan ragu Gavin lantas menyibakkan sedikit selimut yang menutupi wajah Sheyla.

"Sheyla, kau kenapa?!" tanya Gavin panik saat melihat wajah Sheyla yang begitu pucat.

Disentuhnya kening dan juga pipi Sheyla dan dia semakin dibuat panik saat tubuh gadis itu terasa begitu panas.

"Kau sakit?" ujarnya tidak percaya. "Ya ampun, apa yang harus aku lakukan?"

Di tengah kepanikan Gavin, dengan susah payah Sheyla membuka matanya. Padahal dia sudah senang mendengar suara Gavin saat lelaki itu masih di luar kamarnya. Dia juga berharap agar Gavin bisa cepat masuk.

Namun, setelah dia berada di hadapannya Sheyla benar-benar kecewa karena ternyata lelaki itu tidak bisa diandalkan. Kalau saja dia tidak kesulitan mengeluarkan suaranya, Sheyla pasti sudah memaki-maki lelaki itu.

Gavin mendengkus saat mengetahui apa yang Sheyla pikirkan. Dia memang tidak tahu harus melakukan apa jika manusia bumi sakit. Namun, tiba-tiba saja sebuah ide brilian terlintas di benaknya.

"Sheyla, kau bisa pikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku akan membaca pikiranmu," ujar Gavin sambil tersenyum.

Sheyla tampak terkejut mendengarnya, tapi harus dia akui ide Gavin cukup brilian. Maka dengan cepat dia memikirkan air dingin di dalam wadah dan juga sebuah sapu tangan. Semua itu akan digunakan untuk mengompres keningnya agar demamnya bisa turun.

THE MAN IN THE SKY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang