🌬️ 33 : Terbongkar

341 52 3
                                    

☁️ SELAMAT MEMBACA ☁️

SEIRING dengan aroma minyak angin yang menyeruak di indera penciumannya, Sheyla yang hampir setengah jam tak sadarkan diri akhirnya membuka matanya secara perlahan. Semua orang yang berada di sana pun seketika tersenyum dan menghela napas lega.

Setelah kesadaran Sheyla sepenuhnya kembali dia lantas menatap ke sekelilingnya dan di saat itulah dia langsung terduduk dengan raut wajah panik.

"A-aku bisa—"

"Sheyla, tenanglah," tukas seorang wanita paruh baya.

Diusapnya lembut bahu Sheyla dengan tangan kanannya, sedangkan tangannya yang lain tampak memegang sebuah botol minyak angin yang dia gunakan untuk menyadarkan gadis itu.

"Ibu, a-aku bisa je-jelaskan semuanya. I-ini tidak —"

"Nanti saja menjelaskannya, Sheyla." Lagi-lagi wanita itu memotong ucapannya dengan nada penuh keibuan. "Sekarang tenangkan dulu dirimu."

Tanpa berkata apa-apa, Sheyla menuruti apa yang Ibunya ucapkan. Dia berusaha untuk mengatur napas dan juga jantungnya yang berdegup kencang.

Setelah menaruh minyak angin di atas meja, wanita itu lantas mengambil segelas air di atas meja, kemudian dia memberikannya pada Sheyla.

"Minumlah dulu," ujarnya.

Dengan tangan sedikit bergetar, Sheyla mengambilnya lalu meneguknya pelan-pelan seraya menatap satu per satu orang yang berada di sekelilingnya.

Di sofa yang hanya cukup diduduki satu orang, ada ayahnya yang tampak terdiam sembari menautkan jari-jarinya. Di sampingnya berdiri Gavin yang menatap Sheyla dengan lega.

Lalu di samping lelaki itu ada Sheryl Azrina, adiknya yang masih duduk di bangku kuliah, sedangkan dia sendiri berada di sofa panjang bersama ibunya, Elina Evira.

"Seharusnya kalau kau sakit, kau bilang pada Ibu. Ibu pasti akan datang ke sini dan merawatmu," ujar Elina seraya mengusap kepala Sheyla dengan lembut.

Sheyla tidak membalas, setelah meneguk habis minumannya dia langsung menundukkan kepala dengan perasaan takut. Hatinya pun masih belum tenang, terutama saat Ayahnya terus terdiam.

"Kalau kau masih sakit, kita pergi ke dokter saja sekarang," kata Elina lagi.

"Ti-tidak, aku baik-baik saja," balas Sheyla seraya menatap Ibunya.

"Kau yakin?"

Sheyla mengangguk lalu kembali menundukkan kepalanya. Sejujurnya dia masih merasa lemas, tapi dia tidak mau pergi ke dokter. Dia hanya perlu istirahat dan menenangkan dirinya.

"Baiklah, kalau begitu Ibu akan buatkan makanan kesukaanmu. Kau mau, kan?" tanya Elina yang lagi-lagi hanya mendapat anggukan dari Sheyla.

Elina tersenyum, lalu dia bangkit dari duduknya. Namun, saat dia hendak melangkahkan kaki, Sheyla tiba-tiba meraih tangannya.

"A-aku ikut," ujar gadis itu seraya menatap Elina dengan penuh arti.

Elina terdiam sejenak, lalu menjawab, "Ya sudah, ayo."

Dengan bantuan Ibunya, Sheyla segera bangkit berdiri. Dia merasa akan jauh lebih baik jika terus bersama wanita itu daripada harus satu ruangan bersama Ayahnya.

THE MAN IN THE SKY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang