[2] - The Gift?

47.6K 2.6K 18
                                    

Nara membuka mata perlahan, menyesuaikan matahari pagi yang menyusup masuk melalui celah jendela kamar hotel. Mencoba menyingkirkan selimut dan meraih ponsel yang berada di atas nakas. Pukul 07.00. Dia sudah tertidur selama sembilan jam. Nara akan menarik selimut, bersiap tertidur kembali. Saat dia merasakan pergerakan di sisi kanan ranjangnya.

Tunggu.

Nara menoleh ke sisi sebelahnya. Belum sempat memproses apa yang terjadi, perutnya terasa bergejolak. Dengan panik, Nara turun dari kasur dan berlari menuju kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutnya. Kejadian seperti ini bukan pertama kali Nara alami. Morning sickness. Kondisi mual dan muntah yang terjadi saat hamil. Hal ini lumrah terjadi pada Ibu hamil dengan usia kehamilan menginjak trimester pertama.

Nara menghela nafas panjang. Mengamati pantulan wajahnya di cermin. Bodoh. Bagaimana bisa dia lupa kalau dia sudah menikah? Dan orang yang berada di sebelahnya tadi adalah Dimas. Suaminya.

Semalam, Nara tak sadar dirinya tertidur karena kelelahan. Dia bahkan tidak menyadari saat Dimas kembali ke kamar dan tertidur di sebelahnya. Setelah membasuh wajahnya dengan air dingin, Nara memutuskan keluar dari kamar mandi.

Dimas sudah terbangun dan terduduk di sisi ranjang saat Nara kembali ke kamar. Dimas mengerjapkan matanya berkali-kali, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Matanya seketika membulat menyadari kehadiran Nara di dekatnya.

"Sudah bangun?" Dimas mengucek mata sambil menguap membuatnya terlihat seperti anak kecil.

Nara mengangguk. "Sorry, saya semalam ketiduran. Gak sadar kamu balik ke kamar."

"It's okay. Saya tau kamu kelelahan. Bagaimana kondisi kamu?"

"Tadi sempat muntah. Sekarang agak mendingan. Tidur lama membuat badan saya lebih segar."

Dimas mengangguk-angguk. "Aku mandi dulu. Kita sarapan di rumah saja. Is it okay? Mama sudah nunggu kita dari tadi!"

Nara mengangguk. "Saya beresin barang dulu."

Rumah yang dimaksud Dimas adalah rumah keluarga Maheswara. Yang Nara tahu, selama ini Dimas tinggal di sebuah apartemen di daerah Senopati. Dia hanya sesekali pulang ke rumah di saat akhir pekan.

***

Dimas menyetir dengan konsentrasi penuh. Tangan kanannya mencengkram kemudi. Membawa range rover hitamnya membelah kota Jakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali matanya melirik ke sisi sebelah, menatap sosok sang wanita yang sibuk menatap keluar jendela. Seolah jalan raya begitu menarik perhatiannya.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Dimas, memecah keheningan. Pandangannya beralih ke perut Nara untuk beberapa detik. Nara yang mengerti maksud Dimas, menganggukkan kepalanya.

"Ya, dia baik-baik saja," jawabnya tersenyum, sambil mengelus perutnya.

"Apa kamu menginginkan sesuatu," tanya Dimas, penasaran. "Seperti ngidam?"

Dimas tahu terkadang ibu hamil menginginkan sesuatu dan hal itu harus dituruti. Beberapa teman wanitanya mengalami hal seperti itu saat mereka hamil. Nara menelan ludah. Membayangkan Soto Lamongan dengan taburan bubuk koya yang biasa dia jumpai di dekat kampusnya dulu. Namun, Itu akan merepotkan Dimas jika membuatnya berkelana sejauh itu hanya untuk semangkuk soto.

Nara menggeleng. "Saya baik-baik saja."

Mendadak ponsel Dimas berbunyi. Pria itu memberitahu Nara kalau Tante Ajeng yang menelepon kemudian mengangkatnya.

"Ya, Ma," ucapnya, hangat. "Dimas sama Nara udah dekat, bentar lagi sampai rumah. Iya, tadi di jalan macet. Nara baik-baik saja, ini lagi disamping aku," ucap Dimas menoleh ke arah Nara. "Oke. Bye, Ma," ucap Dimas, mengakhiri panggilan telepon.

Nara menyunggingkan senyum. Menatap lekat pria di sebelahnya. Betapa lucunya takdir mempermainkan mereka berdua. Mereka bukanlah orang asing. Tapi hubungan mereka juga tidak bisa dibilang dekat. Nara hanya mengenal Dimas sebatas kakak dari teman dekatnya terdahulu, tidak lebih dari itu. Bagaimana bisa orang yang tidak pernah terpikirkan olehnya kini berstatus sebagai suaminya.

***

Dua bulan yang lalu....

Suasana cafe di siang hari itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang bersantai sembari menikmati kopi. Nara sengaja mengambil tempat duduk di sudut ruangan agar mereka lebih bebas berbicara. Matanya menatap lekat layar ponselnya. Membaca kembali pesan yang dikirimnya satu jam yang lalu.

Nara : Aku udah di cafe. Kamu di mana?

Suara dentingan lonceng pintu cafe terdengar. Menandakan seseorang baru saja datang. Nara mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk saat seorang pria mengenakan kemeja putih garis-garis dengan tas hitam di pundaknya mengambil langkah memasuki cafe. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, seolah mencari seseorang. Pria itu kemudian menatap Nara sambil tersenyum.

"Hai, Sayang. Tumben kamu ngajak ketemuan," ucap pria itu, menarik kursi dan duduk depan Nara.

"Aku nungguin kamu dari tadi!" balas Nara, kesal.

"Sorry. Dosen aku telat masuk, makanya rada lama keluarnya." Pria itu menunjukkan tampang menyesal. "Kamu udah pesan makan?" tanya pria itu, menatap buku menu di hadapannya.

Nara menggeleng. Dia hanya memesan grean tea latte tadi. Dia tidak berselera makan sama sekali.

"Aku mau ngomong sesuatu."

Pria itu mengalihkan pandangan dari buku menu. "Mmm.... Ada apa?

Seketika suasana hati Nara menjadi kalut. Rangkaian kata yang telah dirancang di otaknya hilang seketika. Dia tidak tahu harus memulai dari mana.

" Aku...," Nara menggigit bibir. Seolah kata yang ingin diucapkan, tertahan di bibirnya. "Aku hamil," ucap Nara, akhirnya.

Pria itu memandang Nara tanpa berkedip. Matanya membulat. Melihat reaksinya, Nara tahu pria itu sama kagetnya dengan dirinya.

"Apa? Kamu bercanda kan? Ini gak lucu, Nara!"

"Aku serius, Rion! Aku udah cek tadi pagi dan hasilnya positif. Kamu pikir aku bisa bercanda saat kayak gini!" balas Nara, dengan suara gemetar.

"Shit!Shit! Ini gak mungkin! Ini gak bisa terjadi!" Ucap pria itu dengan suara lantang. Membuat pelayan cafe menatap ke arah mereka dengan pandangan bertanya-tanya.

Melihat reaksi Rion, Nara merasa tangisnya akan pecah saat ini juga. Nara sudah menduga akan mendapat penolakan seperti ini. Betapa bodohnya dia jatuh ke perangkap pria pengecut seperti Rion.

Pria itu menghela nafas. Tatapannya sedikit melunak. "Kamu tahu kalau aku masih kuliah. Kamu juga masih kuliah. Aku masih punya banyak hal yang ingin aku capai dan aku yakin kamu juga begitu. Orang tua aku juga gak bakalan setuju kalau aku nikah secepat ini, Ra."

"Jadi kamu gak mau tanggung jawab?"cecar Nara, kemudian. Dia sudah malas berbasa-basi.

"Bukan gitu, Ra." Rion mengacak rambutnya frustasi. Dia seperti kehabisan kata-kata.

"Terus mau kamu gimana, Rion?" tanya Nara sedikit keras. Nara sudah tidak peduli beberapa pasang mata yang kembali melirik ke arah mereka. Dia butuh kepastian Rion saat ini juga.

Lelaki itu mengetukkan di atas meja. "Mmm.... Kita bisa gunakan cara lain!"

"Maksud kamu?" Nara menyipitkan matanya, mencoba membaca jalan pikiran pria itu.

Pria itu berdecak "Oh come on, Ra. Kamu ngerti apa yang aku maksud."

"Brengsek!" ucapnya, mengerti arah pembicaraan Rion. "Kamu gak perlu tanggung jawab jika kamu gak mau, aku tahu kamu memang pengecut. Dan bodohnya aku malah percaya sama kamu." Nara memberesi barang bawaanya. "Aku harap ini terakhir kali kita bertemu," Nara berlalu meninggalkan cafe. Seruan pria dari arah belakang tidak Nara hiraukan.

***

Married by AccidentWhere stories live. Discover now