[50] - The End?

32.9K 1.8K 112
                                    

Nara menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Menghela nafas lagi dan menghembuskannya juga. Nara melakukan hal itu berulang kali, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Seperti yang sudah mereka rencanakan, hari ini tepatnya, pria itu datang menemui ibunya. Pria itu datang sendiri, jauh-jauh dari Jakarta ke Purwakarta. Setelah mempertimbangkan banyak hal. Akhirnya, Nara setuju mengatakan 'YA' pada pria itu. Dan di sinilah mereka sekarang, duduk bertiga di rumahnya hendak membicarakan pernikahan yang rencananya akan digelar bulan depan.

Nara mengangkat wajahnya, menatap pria yang duduk di hadapannya, pria yang tidak lama lagi akan menjadi suaminya. Jika dihitung dengan saat ini, ini adalah pertemuan ketiga mereka. Sangat gila, bukan? Hanya dalam pertemuan sesingkat itu, mereka memutuskan untuk menikah. Apakah ada orang lain di luar sana yang akan melakukan hal segila ini? Mungkin saja tidak!

Menikah berarti menghabiskan sisa hidup bersama dengan pasanganmu. Semua orang pasti menginginkan melakukannya hanya sekali seumur hidup, begitupun dengan Nara. Dan pilihan wanita itu jatuh pada pria berusia 28 tahun di hadapannya. Pria yang tidak begitu dikenalnya.

Nara melirik remasan erat pria itu pada telapak tangannya. Nampaknya, pria itu sama gugupnya dengan dirinya.

"Nak Dimas yakin dengan pilihan ini?" tanya Ibu setelah beliau mendengar penuturan Dimas yang hendak menikahi Nara. "Menikah itu ibadah seumur hidup. Cobaannya banyak. Kalau Nak Dimas ndak siap, Ibu ndak akan maksa."

Dimas melirik Nara sekilas kemudian berkata, "Saya siap, Bu."

"Bagaimana dengan orang orang tua Nak Dimas? Bapak? Ibu? Apa mereka juga setuju dengan hal ini?"

"Mama dan Papa juga sangat menginginkan pernikahan ini, Bu."

Ibu mengangguk-angguk. "Ibu tahu ini pasti bukan keputusan yang mudah bagi Nak Dimas untuk mengambil alih tanggung jawab ini. Nak Dimas sudah memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya? Nak Dimas bukan hanya bertanggung jawab atas Nara tapi juga calon bayinya. Apa Nak Dimas siap?"

Disela ucapan wanita itu, Nara menatap Ibunya, kagum. Nara pikir Ibu akan dengan mudah menerima lamaran Dimas mengingat kondisinya saat ini. Namun, dirinya salah. Ibu memikirkan hal ini dengan sangat matang. Beliau tahu, melakukan pernikahan ini bukanlah hal yang mudah.

Dimas mengangguk. "Kami sudah membahas hal ini sebelumnya, Bu. Sebagai suami, saya akan bertanggung jawab penuh terhadap Nara. Dan untuk calon bayinya...," Dimas melirik perut Nara yang masih rata. "Saya berjanji akan membesarkan bayi ini seperti anak kandung saya sendiri."

Ibu tersenyum kecil, merasa puas dengan jawaban Dimas. Ibu kemudian menoleh, menatap Nara.

"Kalau kamu bagaimana, Nduk? Sudah yakin dengan pilihanmu?"

Nara menggigit bibirnya. Bukannya menjawab pertanyaan Ibunya, wanita itu malah balik menatap Dimas. Ucapan Dimas di pertemuan mereka sebelumnya, terbersit di otaknya.

"Mari membesarkan anak ini berdua. Saya tidak bisa janji akan menjadi suami dan ayah yang baik., tapi saya akan berusaha."

"Nduk?" Ibu menyentuh punggung tangannya. "Bagaimana?"

Nara menghela nafas, kemudian mengangguk mantap. "Nara yakin, Bu!"

"Ra?" Panggilan singkat Nadia menyadarkan Nara dari lamunan. "Kok melamun?"

Nara menggeleng cepat, menyadarkan dirinya kalau saat ini dia berada di sebuah tea shop setelah pagi tadi, Nadia berhasil menyeretnya keluar dari apartemen. Butuh satu jam buat Nadia meyakinkan Nara untuk pergi ke tempat ini. Semenjak kejadian menyedihkan itu, Nara benar-benar menghindari keramaian. Berada di tempat ramai terkadang membuatnya tak nyaman. Maka dari itu, pilihannya jatuh kepada tea shop ini yang bahkan saat jam makan siang jumlah pengunjungnya tidak lebih dari lima orang.

Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang