[43] - Another Worries?

27.6K 1.8K 58
                                    

Dengan gontai, Nara melangkahkan kakinya keluar kamar. Hembusan angin yang berhasil masuk lewat celah jendela terbuka menyambutnya begitu dia membuka pintu. Sejak pagi tadi, langit memang tidak henti-hentinya memuntahkan isi perutnya. Matahari juga seolah enggan menampakkan wujudnya. Membuat Nara memerlukan waktu lebih lama meninggalkan tempat tidur. Hingga akhirnya, Nara menyerah karena perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi.

Seperti biasa, Ibu menyambutnya begitu Nara memasuki dapur. Ibu sedang menikmati sarapannya dengan sebungkus gado-gado. Ah.... Melihat gado-gado membuatnya teringat akan Dimas. Kemarin, Nara berpesan ke Ibunya untuk membelikannya gado-gado sebagai menu sarapan karena Nara tahu Dimas sangat menyukai makanan yang didominasi sayuran dan bumbu kacang itu. Namun, apa boleh buat, Dimas memutuskan pergi sebelum menikmati makanan kesukaannya.

Ya, benar. Dimas pulang saat pagi buta, saat matahari belum menampakkan wujudnya. Gemuruh petir di luar sana yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan juga tidak mengurungkan niatnya. Dimas berniat pulang cepat karena memiliki dengan dalih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan, padahal hari ini masih hari minggu. Namun, Nara menduga alasan kepergian pria itu ada hubungannya dengan pertengkaran mereka kemarin.

"Kamu mau ke mana?" tanya Dimas sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Dia mengernyitkan dahi melihat Nara mengambil sebuah selimut dan bantal hendak keluar kamar.

"Ke kamar Ibu," jawab Nara.

Dimas menyipitkan matanya. "Untuk?"

Nara mengedikkan bahu. "Ya, buat tidur."

"Kenapa tidak di sini?" Dimas menunjuk kasur di hadapannya, sebelum kemudian tersenyum getir. "Bahkan sekarang kamu pun menolak tidur sekamar dengan saya."

Tidak. Dimas salah. Alasan Nara berniat tidur di kamar ibunya karena wanita itu merasa kasur di kamarnya tidak akan muat menampung tubuh mereka berdua. Sebenarnya bisa, dengan cara dia dan Dimas harus tidur tanpa space sama sekali dan Nara berpikir itu bukan pilihan yang tepat.

"Mungkin kamu lupa, di mata hukum dan agama kita masih pasangan suami istri yang sah. Jadi, apa masalahnya?" lanjut Dimas ketika Nara belum juga bersuara.

Namun, bukannya menjelaskan alasan sebenarnya. Nara memilih jawaban yang nyatanya semakin menyakiti perasaan Dimas.

"Saya lagi malas berdebat, Dim. Kamu juga tahu apa alasan saya melakukan hal ini."

"Do you really hate me that much?" tanya Dimas, putus asa. "Bahkan untuk bertindak layaknya sepasang suami istri yang normal di sisa waktu pernikahan kita pun kamu menolak."

"Dim, saya-"

"Kamu tetap tidur di sini." Dimas menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini kamar kamu dan saya tidak berhak atas itu. Saya akan tidur di sofa jika kamu keberatan tidur sekamar dengan saya."

Nara hendak membuka mulutnya namun tertutup kembali. Membuka namun tertutup kembali. Kata yang ingin diucapkannya seolah tertahan di ujung bibirnya.

"Soal keinginan kamu. Mari bicarakan setelah persalinan. Untuk saat ini, saya hanya ingin kamu dan bayimu sehat dulu," ucap Dimas melangkah keluar, meninggalkan Nara dengan perasaan yang sama sakitnya.

Dengan pelan, Nara mencoba mendudukkan badannya di tepi ranjang. Tangan kanannya menghapus air mata yang sejak tadi di tahannya, sedangkan tangannya yang lain mengelus perutnya lembut, mencari kekuatan di sana. Raut kesedihan pria itu terngiang-ngiang dia kepalanya. Entah mengapa, membuat Nara bisa merasakan sakit yang pria itu rasakan.

"Kamu ndak makan, Nduk?" pertanyaan Ibu membuyarkan lamunan Nara.

"Nara mau buat teh anget dulu, Bu," ucap Nara sambil menyalakan kompor untuk memasak air.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now