[6] - An Agreement?

32.6K 2.2K 25
                                    

"Jadi kalian beneran nggak pernah ciuman?" tanya Nadia, sahabatnya, membelalakan mata seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

Nara yang berada di hadapannya, sedang sibuk memotong buah apel mengangguk "Beneran." Nara memasukkan potongan buah apel ke mulut dan mengunyahnya. "Dia pernah sekali nyium gue, waktu akad. Itupun cuman di kening."

"Serius?" jerit Nadia membuat Nara menghela nafas. Kamar kosan Nadia, tempat mereka saat ini, hanya berukuran 3x3, tidak dilengkapi pengedap suara dan jarak antar kamar satu dengan lainnya pun sangat berdekatan. Penghuni kamar lain tentu dapat dengan mudah mendengar percakapan mereka. "Bukannya kalian tidur sekamar?" tanya Nadia lagi.

"Iya, dia yang minta. Biar bisa jagain gue katanya. Tapi ya gitu, cuman tidur gak ngapa-ngapain."

"He is such a gentleman. I am jealous." Nadia menautkan kedua tangannya dan memasang ekspresi dramatis. "Tapi.... Ra. Dimas nikahin lo cuman buat tanggung jawab doang ya?" tanya Nadia.

Nara mengedikkan bahu. "Emang mau bagaimana lagi. Dimas juga gak bakalan mau nikah sama gue kalau gue nggak hamil," ucap Nara, meletakkan buah apel dalam genggamannya di atas meja dan mengelus perutnya lembut. Kandungannya sudah memasuki bulan keempat. Bayi dalam kandungannya sudah mulai lebih aktif bergerak. Terkadang, Nara meringis kesakitan karena pergerakan bayi di dalam perutnya. Namun, semua itu membuat Nara merasa bahagia mengetahui bayi dalam kandungannya berkembang sehat.

"Kok gue kasihan ya sama lo, Ra." ujar Nadia, menatap Nara prihatin.

"No!" Nara menggeleng cepat. "Gue malah kasihan sama dia. Nikahin gue buat tanggung jawab padahal dia gak salah sama sekali." terang Nara, jujur.

"Iya juga sih." Nadia menyengir. "Tapi dia baik kan sama lo, Ra?"

"Baik." Nara mengangguk. "Keluarganya juga baik banget sama gue. Gue malah nggak enak sering repotin mereka." Nara mengambil potongan buah apel itu lagi dan mengunyahnya. Meski usia kandungannya sudah memasuki bulan keempat, rasa mualnya belum sepenuhnya hilang. Namun, tidak separah sebelumnya. Nara rutin mengkonsumsi buah-buahan untuk mengurangi rasa mualnya.

"Syukur deh." Nadia menatap Nara lega."Yang penting lo dan bayi lo sehat, Ra."

Nara mengangguk setuju dengan perkataan Nadia. Saat ini, kesehatan bayinya adalah hal yang utama. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Nara yang awalnya kukuh menolak, melunak untuk menyetujui pernikahan ini. Siapa lagi kalau buka untuk bayinya.

Sebulan yang lalu....

Nara bergeming menatap lurus sosok di hadapannya. Dari sekian banyak coffee shop yang terletak di Jakarta, mengapa dia harus bertemu dengan pria itu di tempat ini. Nara hendak berbalik badan dan melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju pintu keluar saat dia melihat pria itu menghampiri dan memanggil namanya. Nara menghela nafas panjang, untuk kali ini dia tidak bisa menghindar.

Suasana coffee shop di siang hari itu cukup ramai. Ada beberapa pria dengan setelan jas terlihat sibuk bercengkrama satu sama lain ditemani dengan segelas americano. Sekelompok pemuda yang masih mengenakan seragam lengkap terlihat berkutat depan laptop di salah satu meja di sudut ruangan. Karena letaknya yang berada di pusat kota, coffee shop ini tidak pernah sepi pengunjung.

"Apa kabar, Nara?" tanya pria itu membuka percakapan setelah pelayan membawakan secangkir mocha latte dan segelas americano ke meja mereka."

"Saya, baik." Nara mengalihkan pandangan, enggan menatap wajah pria itu.

"Mama sudah cerita semuanya ke saya. Soal perjodohan kita. Soal kehamilan kamu," Pria itu menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. "Dan ya, saya setuju. Mungkin lebih baik kita menikah. Ini demi kebaikan-"

"Saya sudah membicarakan soal ini dengan Tante Ajeng. Saya menolak pernikahan ini. " ucap Nara, memotong perkataan Dimas. Dia menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. "Untuk bayi ini, saya bisa mengurusnya sendiri."

Pria itu menjentikkan jarinya di atas meja. Dia terdiam sesaat, memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan kepada wanita di hadapannya. "Kamu perlu tahu, Mama tidak pernah memaksa saya menikah dengan kamu. Saya bisa saja menolak, tapi nyatanya tidak. Saya dengan sukarela menerima perjodohan ini."

Nara menyipitkan mata. "Kenapa?"

"Karena Rion adalah adik saya. Saya tidak mau bayi ini lahir tanpa figur seorang ayah."

Nara tersenyum kecut. Ini adalah lamaran paling aneh yang pernah didengarnya.

"Selain itu...." Dimas menautkan tangannya di atas meja. Pandangannya tampak sedih. "Mama mengidap kanker ovarium. Masih stadium awal tapi akhir-akhir ini kondisinya makin memburuk setelah kepergian Rion. Saya sudah kehilangan Rion, saya tidak ingin kehilangan Mama saya juga."

Nara menatap lekat sosok pria di hadapannya. "Tapi kita tidak saling mencintai."

"Cinta bukan segalanya, Nara." Dimas menyesap americano-nya. "Mama dan Papa saya dulu juga menikah tanpa cinta dan pernikahan mereka awet sampai sekarang. Dalam pernikahan yang terpenting adalah komitmen dan saling menghargai satu sama lain. Cinta akan tumbuh karena terbiasa."

Entah mengapa Nara merasa tersindir dengan pernyataan Dimas, walaupun dia juga merasa setuju. "Apakah kamu tidak punya kekasih?" Nara mengangkat alisnya. "Saya tidak mau menjadi perusak hubungan orang lain," ucap Nara jujur.

"Saya tidak mungkin melamar kamu saat saya memiliki kekasih." Dimas tertawa kecil. "Saya tidak akan memaksa kamu untuk memberikan jawaban sekarang. Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi saya harap kamu bisa mempertimbangkan segalanya dengan matang, termasuk kondisi kamu saat ini." Pria itu menatap perut Nara sekilas. "Dan juga bayi ini."

"Ra, lo mau makan apa?" tanya Nadia membuyarkan lamunan Nara.

Nara menatap jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Pukul delapan lewat tiga puluh menit. Sudah lima jam Nara menghabiskan waktu di kosan Nadia. "Gue pulang aja ya, Nad," ucapnya

Nadia mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. "Gak makan dulu? Gue baru mau pesan makanan."

Nadia menggeleng. "Udah malam. Dimas bentar lagi juga pulang kantor. Gak enak kalau dia udah pulang gue masih keluyuran."

Nadia menghela nafas. "Ya udah," ucapnya pasrah. "Tapi lo ada yang jemput kan, Ra?"

Nara belum sempat menjawab saat ponselnya bergetar menandakan ada pesan yang masuk.

Dimas : sudah di apart? saya masih di jalan, baru balik dari kantor.

"Dimas?" tanya Nadia, melirik layar ponsel dalam genggaman Nara.

Nara mengangguk. Dia kemudian mengetik balasan pesan Dimas.

Nara : Masih di kosan Nadia. Ini baru mau nelpon Pak Mul buat jemput.

Dimas : kos Nadia di bagian mana? biar saya yang jemput. Pak Mul jam segini sudah balik ke rumah.

Nara : Di Petamburan. Kamu yakin mau jemput? Nanti harus muter lagi. Aku naik taksi saja kalau kamu gak bisa.

Nara menghela nafas panjang, dia merasa tidak tega membuat Dimas kerepotan. Saat berangkat tadi, Pak Mul, sopir yang bekerja pada Dimas yang mengantar Nara. Namun, pak Mul akan kembali ke rumahnya saat malam hari. Seketika Nara merasa menyesal telah keluyuran sampai malam hari.

"Ada apa?" tanya Nadia, penasaran.

"Dimas mau jemput gue." jawab Nara

"Ya, terus kenapa, Ra?" tanya Nadia, bingung.

"Gak enak gue. Takut repotin."

"Ya ampun, Ra. Dia udah suami lo kali. Lagian dia yang nawarin duluan. Mau pulang sendiri jam begini juga bahaya, apalagi sekarang lo lagi hamil," omel Nadia kepada sahabatnya.

Nara menghela nafas panjang. Walaupun dia sedikit setuju dengan pernyataan Nadia. Balasan chat dari Dimas masuk lima menit kemudian.

Dimas : gak apa-apa, sekalian mau cari makan juga.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now