[37] - The Left?

30.2K 2K 62
                                    

Ibu menyambut Nara dengan senyum sumringah begitu mereka tiba di rumah. Ibu tidak mengatakan banyak hal. Namun, dia sempat melirik barang koper yang terisi barang bawaan Nara. Ibu pasti bisa menebak, Nara tidak hanya datang untuk sekedar berkunjung, namun memilih menetap.

"Kandungan kamu gimana, Nduk? Ndak rewel kan tadi?" Ibu mengambil mini carrier bag di tangan Nara, sedangkan kopernya sudah lebih dulu dibawa masuk oleh Bagas.

Nara menggelengkan kepala, mengelus perutnya lembut. "Bayinya kalem hari ini, Bu."

Ibu menghela napas . "Syukurlah, Nduk. Ibu dari tadi mikirin keadaan kamu, takut kamu kenapa-napa." Ibu menaruh koper Nara di ruang tamu. "Sana mandi dulu, Nduk. Biar badan kamu segaran dikit."

Nara mengangguk. "Iya, Bu."

"Ibu ndak sempat masak tadi, baru sempat ke pasar sekarang. Kamu mau makan apa, Nduk?"

Nara terdiam sesaat. Sejujurnya, sejak tadi dia membayangkan Pecel Ayam Mas Bejo yang biasa dibelinya saat di Jakarta. Pasti sangat nikmat menikmati Pecel ayam dengan tambahan sambal terasi dan sayur lalapan saat cuaca sedang dingin seperti saat ini.

Membayangkan hal itu membuat air liurnya hampir menetes. Tapi, karena tidak mungkin mendapatkannya di sini. Jadi, Nara memilih pecel ayam buatan siapa saja asalkan dia bisa menikmati pecel ayamnya saat ini juga.

"Nara mau pecel ayam, Bu. Boleh?" ucap Nara, akhirnya.

"Pecel ayam?" Ibu terlihat berpikir sesaat. "Kayaknya warung Mbok Sri jual pecel ayam. Nanti Ibu beliin kalau gitu."

Nara tersenyum girang. "Sambelnya jangan lupa ya, Bu!"

Ibu menggeleng cepat. "Ndak boleh. Kamu lagi hamil. Ibu hamil ndak boleh makan pedas."

"Dikit aja, Bu. Masa makan pecel ayam gak pake sambel!" ucap Nara, setengah merengek.

Ibu menghela nafas. "Ya udah, mandi sana."

"Makasih, Ibu," ucap Nara tersenyum girang, berlalu menuju kamar mandi.

***

Nara duduk di tepi kasur sambil mengeringkan rambut basahnya. Tangan kirinya merogoh tas selempangnya, mencari ponsel genggamnya. Ponsel yang sejak tadi sengaja dia matikan. Berbagai notifikasi muncul begitu Nara menyalakan ponselnya. Dua panggilan tidak terjawab dari Tante Ajeng dan beberapa chat dari Nadia yang menanyakan apakah dia sudah tiba di Purwakarta. Namun, entah mengapa hatinya terasa kecewa saat dia tidak menemukan pesan dan panggilan dari Dimas di salah satu notifikasi-nya.

Apakah pria itu sangat marah kepadanya? Bukankah harusnya Nara yang lebih marah saat ini? Nara menggeleng cepat. Tidak. Ini lebih baik. Sikap cuek Dimas saat ini akan memudahkan perpisahan mereka nantinya.

Nara mengehela nafas. Tangannya kembali bergerak menggulir beberapa pesan yang belum dibacanya. Namun, tangannya terhenti sesaat, saat pesan dari Tante Ajeng masuk. Ah... dia sampai lupa menelpon balik beliau. Di suratnya yang Nara titipkan ke Bik Rum, Nara

Mama : Nara kalau sudah sampai di rumah hubungi Mama ya, Sayang.

Nara menatap pesan itu dalam diam. Perasaan bersalah Nara pada Tante Ajeng tidak dapat dia hindarkan . Tante Ajeng pun pasti merasa sedih dengan apa yang terjadi dengan pernikahannya dengan Dimas. Tante Ajeng-lah yang pertama kali datang menemuinya dan memintanya menikah dengan Dimas. Dan jika pernikahannya hancur, bukan hanya dirinya yang terluka tapi orang-orang di sekelilingnya juga. Namun, apa boleh buat. Sekali ini saja, Nara ingin mengutamakan kebahagiaannya terlebih dahulu.

Nara menekan tombol call pada kontak Tante Ajeng, berharap Tante Ajeng mengangkat panggilannya.

"Halo?" sapa Tante Ajeng di ujung telepon

Married by AccidentWhere stories live. Discover now