[18] - The Confused Kiss?

31.1K 1.9K 11
                                    

Bik Rum pulang satu jam yang lalu, meninggalkan Nara sendirian di apartemen. Sedangkan Dimas, pria itu belum pulang, setelah mengirimkan Nara pesan bahwa dia sedang bertemu klien. Setelah menikah, keseharian Nara sangat berbanding terbalik dengan Dimas. Pria itu lebih sering menghabiskan waktu di kantor karena kesibukannya. Hampir tiap hari pria itu pulang pukul delapan malam dan harus pergi kembali ke kantor pukul tujuh pagi.

Sedangkan Nara, wanita itu hampir tiap hari menghabiskan waktunya di apartemen. Dia hanya keluar jika Nadia mengajaknya bertemu, tapi mengingat saat ini kandungan Nara semakin membesar dia memilih untuk berdiam diri apartemen. Selain itu, meskipun Nara tidak bekerja, tabungannya masih tetap terisi setiap bulannya. Dimas dengan senang hati memberinya uang tiga digit setiap bulannya tanpa diminta. Terkadang, Nara merindukan kehidupannya sebelum menikah, dirinya yang sibuk. Walaupun saat itu dia sering kekurangan uang dan harus bekerja part time untuk mendapatkan uang tambahan.

Nara merebahkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tamu. Matanya menatap fokus layar TV yang berukuran besar di hadapannya, menayangkan film yang menceritakan seorang wanita muda yang harus merelakan mimpinya saat mengetahui dirinya hamil. Awalnya, wanita dalam film itu berniat memberikan anaknya ke penampungan sosial, namun dia mengurungkan niatnya setelah mengetahui bagaimana hebatnya menjadi seorang ibu. Wanita dalam film itu pun menjadi ibu tunggal dan membesarkan anaknya seorang diri, hingga dia dapat meraih mimpi yang selama ini dia inginkan.

Tanpa sadar, Nara meneteskan air mata ketika film itu selesai. Entah mengapa cerita dalam film itu mengingatkan Nara akan dirinya, walaupun kisah hidupnya tentu saja jauh lebih beruntung. Kehadiran Dimas di hidupnya, bagaikan malaikat penolong.

Nara menghapus sisa air matanya saat dia mendengar suara pintu terbuka, diikuti langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Belum tidur?"

Nara menggeleng. "Belum ngantuk." Nara menoleh, tersenyum menatap Dimas. "Lagi nonton juga."

Dimas mengangguk-angguk. "Nonton apa?"

"Love Rosie."

Dimas mengangguk lagi.

Nara berdiri menghampiri Dimas. "Sudah makan? Tadi Bik Rum buat lasagna. Mau saya hangatkan buat kamu?"

Dimas memijat tengkuknya. "Saya sudah makan tadi sama klien."

"Coffee?"

"Boleh." Dimas mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dia menyipitkan mata tatkala matanya menangkap tumpukan kardus yang berada di apartemennya. "Apa ini?"

"Dari Mama, buat keperluan bayi katanya."

"Sebanyak ini?"

Nara mengangguk.

"Mama benar-benar luar biasa." Dimas menggeleng tidak percaya. "Isinya apa saja?"

Nara mengedikkan bahu. "Belum saya cek."

Dimas mengangguk-angguk. Menoleh menatap Nara. "Saya mandi dulu."

"Oke."

Nara menyalakan kompor untuk memanaskan air, sambil menunggu kopi untuk Dimas jadi. Nara membuka kabinet yang berisi berbagai varian susu untuk ibu hamil, dari mocca, coklat, strawberry hingga pisang. Di awal kehamilan, semua makanan yang masuk ke lambungnya berakhir menjadi muntahan termasuk susu ibu hamil, membuat Dimas membelikannya berbagai varian yang cocok untuk lidahnya. Namun, seiring dengan bertambahnya usia kehamilan, Nara bisa mentolerir rasa susu tersebut.

Nara menuang kopi untuk Dimas di cangkir dan berjalan menuju ruang TV dengan segelas susu hamil di kanan kirinya. Dimas bergabung dengan Nara di depan TV setelah pria itu mandi. Setelan formal yang tadi melekat di tubuhnya sudah berganti menjadi piyama katun dengan motif garis-garis. Di hadapan mereka sudah tersaji segelas kopi untuk Dimas dan segelas susu ibu hamil untuk Nara.

"Capek?" tanya Nara begitu Dimas menyandarkan bahunya di sofa. Pria itu berulang kali memijat tengkuknya. Pasti sangat lelah bekerja hingga malam hari.

Dimas mengangguk. "Banget."

"Kerjaan di kantor emang selalu sebanyak itu ya?"

"Kalau lagi banyak proyek yang on-progress memang seperti ini."

Nara mengangguk-angguk. Dia menepuk pahanya, meminta Dimas berbaring. Awalnya Dimas terlihat ragu, namun anggukan Nara meyakinkan pria itu. Entah karena kelelahan atau, Dimas langsung memejamkan mata saat kepalanya bersandar pada paha Nara. Punggung dan kakinya yang awalnya terasa pegal kini terasa nyaman. Beberapa menit, mereka hanya diam. Hanya ada suara TV yang memecah kesunyian. Nara mengusap rambut lebat pria itu. Wangi shampoo beraroma mint menyeruak masuk ke indra penciuman Nara.

Nara tertegun, menatap wajah damai pria itu saat tertidur. Wajah yang dulu pernah meyakinkan Nara bahwa mereka bisa menghadapi semua masalah berdua. Wajah yang dulu mengajarkannya bahwa selalu ada cahaya setelah kegelapan.

"Aduh...." Nara mencengkram ujung sofa untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Hey, ada apa?" Dimas sontak membuka mata dan menatap wajah Nara yang meringis kesakitan. "Apa bayi kita bergerak lagi?"

Bayi kita. Ucapan pria itu membuat hati Nara menghangat sesaat. Namun, dia tidak bisa mencerna lebih jauh karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh pergerakan bayinya.

Dimas terbangun, dengan cekatan dia mengusap perut Nara lembut. Jika diperhatikan bayi itu memang bergerak ke bawah, membuat perut bagian bawah Nara terlihat lebih besar.

"Hey, Nak. Tenang ya. Ibu kamu kesakitan," ucap Dimas, mengusap perut Nara, lembut.

Nara menunjuk perutnya yang bergerak. "Dia bergerak lagi ke kiri. Itu kakinya keliatan. Kamu liat kan?" tanya Nara antusias.

Dimas mengangguk sambil tertawa. "Apa yang dia lakukan? Kenapa dia sangat aktif?"

"Saya juga tidak tau." Nara tertawa lebar. "Tapi, dia memang bayi yang aktif."

Dimas mengangkat tangannya di atas perut Nara. "Apa sudah mendingan?"

Nara memejamkan mata. Dia menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. "Ini jauh lebih baik." Nara mendongak, menatap Dimas. "Kamu tahu? Sentuhan kamu benar-benar membuat bayinya tenang."

"Benarkah?" tanya Dimas, tersipu malu.

Nara mengangguk. "Mungkin bayi ini juga sadar kalau kamu orang baik."

Dimas menatap Nara lekat. "Kamu juga Ibu yang baik."

Nara mengalihkan pandangan. Dia tidak mau Dimas tahu kalau ucapan pria itu membuat pipi Nara meronaa. "Terima kasih," ucap Nara akhirnya.

"Kamu tahu ini ini kedua kalinya saya melakukan ini." Dimas tampak malu saat mengatakannya. "Mmm, Saya melakukannya pertama kali saat kamu tertidur. Awalnya saya merasa takut, saat saya menyentuhnya dia akan terluka." Dimas menjeda kalimatnya sebentar. "Rasanya sangat luar biasa, bisa merasakan kehadiran bayi ini."

Nara hanya terdiam, mendengarkan Dimas berbicara.

Dimas menatap Nara lekat. "Saya tahu dia akan tumbuh menjadi bayi yang kuat. Sama seperti Ibunya."

"Dim, saya-"

Sebelum Nara melanjutkan kalimatnya, pria itu menutup bibir Nara dengan ciuman. Ciuman pria itu terkesan menuntut. Nara belum sempat merespon apa yang terjadi. Dia mencoba membuka mulutnya hendak membalas ciuman Dimas, namun, secepat kilat, pria itu menarik diri dan meninggalkannya sendirian dalam kebingungan.

Nara mengoles wajahnya dengan pelembab. Selama hamil Nara masih melakukan perawatan wajah, meskipun tidak serutin sebelumnya. Dia hanya memakai toner dan moisturizer sesekali untuk mengatasi kulitnya yang kering selama kehamilan. Giselle mengatakan dia boleh saja menggunakan skincare dengan syarat skincare yang dia gunakan mengandung bahan yang aman.

Dari pantulan cermin rias di hadapannya, Nara melirik Dimas, bersandar di kepala tempat tidur sedang fokus membaca buku di hadapannya. Sejak kejadian tadi, mereka belum berbicara sama sekali. Nara merasa pria itu menghindarinya, entah karena apa.

Nara menutup botol skincare di depannya dan berjalan menuju tempat tidur.

"Mau tidur?" tanya Dimas, tanpa menatap Nara.

Nara mengangguk. "Good night."

"Night."

Married by AccidentWhere stories live. Discover now