[47] - The Second Lost?

31.8K 1.9K 60
                                    

Dunia Nara seketika runtuh. Rasa antusias dan bahagianya mengandung bayinya hampir sembilan bulan dihancurkan hanya dalam sekejap. Tepat semalam, pukul tiga pagi, Nara yang baru memejamkan matanya selama dua jam setelah menangis sepuasnya dibangunkan tiba-tiba. Dokter mengatakan bayinya sekarat. Nara yang saat itu belum sadar sepenuhnya karena dibangunkan tiba-tiba, berlari gontai menuju ruang NICU sambil menangis histeris. Nara sudah tidak memedulikan bekas jahitannya yang mungkin saja sudah terlepas. Yang dia inginkan saat itu adalah melihat kondisi bayinya sesegera mungkin.

"Bayi ibu ...! Bayi Ibu yang kuat ...! Bayi Ibu pasti baik-baik saja ...!" teriak Nara histeris.

Dimas berlari secepatnya menyusul Nara dan meraih wanita itu dalam pelukannya. "Nara ... please! Tenang dulu!"

"Dim, anak saya ... anak saya gak apa-apa, kan?" tanya Nara dalam pelukan Dimas.

Dimas yang saat itu tidak tahu harus menjawab apa, semakin menarik Nara dalam pelukannya. Yang tanpa Dimas sadari, saat itu juga, air mata turun membasahi pipinya.

Nara menjauhkan tubuhnya, menatap Dimas dengan tatapan memohon. "Tolong bilang ke saya, Dim! Kalau bayi saya baik-baik saja!"

Namun, harapannya sia-sia tatkala Giselle keluar dari ruangan NICU dan mengucapkan kalimat yang menjadi alasan kehancuran Nara.

Giselle menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat penuh penyesalan. "Sorry ... bayi ... kalian gak bisa selamat."

Seketika, tubuh lemas Nara luluh ke lantai. Pandangannya semakin mengabur karena air mata yang tidak berhenti menetes. Rentetan kata yang keluar dari mulut orang-orang di sekitarnya tidak lagi Nara dengarkan. Tubuhnya mematung seketika.

"Dia Ibu yang jahat! Bayinya meninggal karena dirinya! Seharusnya sejak awal Tuhan tidak mempercayainya menjadi seorang Ibu!"

Rentetan kalimat-kalimat jahat memenuhi pikirannya. Seolah beradu untuk mencoba menyalahkannya. Nara memukul keras kepalanya, mencoba mengenyahkan kalimat-kalimat jahat itu. Namun, semuanya sia-sia ketika pukulan yang dilakukannya malah membuat kepalanya sakit. Samar-samar, Nara mendengar Dimas memanggil namanya, tetapi dia tidak punya tenaga lagi untuk menjawab. Hal terakhir yang Nara ingat Dimas mengangkat tubuhnya dan semuanya menjadi gelap.

***

Nara berharap semua ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang akan hilang jika dia terbangun dari tidurnya. Namun, seberapa keras pun Nara mencoba menyangkal, kenyataan tidak akan pernah berubah. Bayinya benar-benar meninggalkannya.

Sejak pagi tadi, orang-orang di sekitar Nara sibuk mengurus proses pemakaman bayinya. Bayinya yang baru berusia tiga hari akan dimakamkan di samping makam Rion, ayah kandungnya. Karena kondisi Nara yang lemah, dokter tidak mengizinkannya untuk pergi. Dan disinilah Nara sekarang, terbaring lesu di atas ranjang kamar inapnya, seolah jiwanya sudah terputus dari raganya.

Pandangan Nara terhenti saat matanya menangkap duffle bag berwarna coklat yang tergeletak di sudut kamarnya. Posisi duffle bag itu tidak pernah berubah sejak awal kedatangan mereka. Karena sejak awal isi dari tuffle bag itu memang tidak pernah digunakannya. Nara tersenyum miris saat mengingat baju-baju yang dia persiapkan tidak pernah dikenakan bayinya bahkan hingga akhir hidupnya.

"Makan dulu, Nduk. Perutmu belum di isi sejak pagi tadi."

Suara Ibu menyadarkan Nara dari lamunan. Di ruangan ini, hanya ada mereka berdua. Ibu memang tidak ikut ke pemakaman karena ingin menjaganya di rumah sakit.

Nara menggeleng lemah. "Nara gak lapar, Bu!"

"Jangan seperti ini, Nduk. Kasihan tubuh kamu kalau kamu seperti ini terus." Ibu masih berusaha membujuk.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now