[11] - An Apologize?

30.3K 1.9K 12
                                    

Apartemen yang dimiliki Dimas terletak di lantai teratas gedung. Apartemen tipe penthouse ini memiliki fasilitas dua bedroom, satu maid room, dua bathroom dan dapur. Untuk bagian dapur, apartemen ini dilengkapi fasilitas dapur kering maupun dapur basah. Nara biasa menggunakan dapur basah untuk mengolah makanan mentah menjadi masakan, sedangkan untuk dapur kering Nara biasa menggunakannya untuk membuat makanan simple dan siap saji.

Nara membuka kulkas di hadapannya. Matanya menatap kulkas di apartemen Dimas yang selalu terisi penuh dengan sayuran dan buah-buahan. Bik Rum, asisten rumah tangga Dimas, bertugas untuk mengisi bahan makanan di kulkas setiap minggunya. Bik Rum juga biasanya bertugas untuk memasak setiap hari. Namun, hari ini Bik Rum tidak memasak karena mereka makan siang di rumah Tante Ajeng. Setelah mengamati bahan yang tersedia, Nara memutuskan untuk membuat pakcoy saus tiram, tempe balado dan omelet kentang untuk Dimas.

Hal pertama yang Nara lakukan adalah menanak nasi. Nara kemudian mengeluarkan bahan masakan yang dia butuhkan dari kulkas. Nara hanya memasak masakan simpel jadi bahan yang dibutuhkan tidak terlalu banyak. Satu ikat pakcoy, satu papan tempe, telur, dan kentang. Setelah mencuci semua bahan, Nara kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian.

Dimas muncul saat Nara sedang menggoreng omelet kentangnya. Pakaiannya sudah berganti ke setelan rumahan, kaos oblong dan celana pendek. Rambutnya basah menandakan dia habis keramas.

"Butuh bantuan?" tanya Dimas tiba-tiba membuat Nara hampir menjatuhkan spatula dalam genggamannya. Posisi Dimas yang berdiri lekat di sebelah Nara, membuat wangi pria itu menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya. Aroma sandalwood dari sabun yang biasa Dimas gunakan dan mint dari sampo yang bercampur jadi satu. Membuat konsentrasi Nara terpecah.

Melihat Nara yang berdiam, tidak merespon, Dimas bertanya lagi. "Hei, butuh bantuan?" ucapnya, menyentuh bahu Nara.

"Hmm?" Nara tersadar dari lamunan. "Oh nggak usah, ini bentar lagi selesai. Kamu tunggu di meja makan saja!"

Dimas mengedikkan bahu. "Baiklah."

Nara mengambil piring, menuang omelet kentangnya yang sudah berwarna kecoklatan. Sedangkan pakcoy saus tiramnya sudah tersaji diatas meja bersamaan dengan tempe balado dan semangkuk nasi putih.

Nara mengikuti Dimas kemeja makan. Tangan kanannya memegang piring berisi omelet kentang, sebelah tangannya membawa piring berisi buah apel yang telah dikupasnya tadi.

"Looks so delicious." ucap Dimas begitu Nara meletakkan omelet kentang buatannya di atas meja.

"Just a simple food. I hope you like it."

"Ini lebih dari cukup," balas Dimas.

Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Memecah kesunyian di malam hari. Sesekali mata Nara melirik Dimas yang terlihat menikmati masakan sederhananya.

Setelah mengenal Dimas selama beberapa bulan ini, Nara menyadari Dimas bukanlah tipe orang yang mudah membuka percakapan. Sama seperti dirinya. Terkadang mereka hanya berdiam diri hingga salah satu dari mereka memulai percakapan.

"Bagaimana keadaan di rumah sakit? Apa semua baik-baik saja," tanya Nara, memecah kesunyian.

Dimas mengangkat wajahnya. "Operasinya berhasil. Beberapa pekerja juga sudah diizinkan pulang hari ini."

"Syukurlah." "Saya sangat kaget saat kamu bilang ada pekerja yang kecelakaan."

"Nara," panggil Dimas perlahan.

"Mmm," Nara mengangkat wajahnya.

"Saya minta maaf soal tadi," Dimas menatap Nara lekat. "Kayaknya saya terlalu keras sama kamu."

"No," Nara menggeleng cepat. "Saya juga salah, pertanyaan saya pasti menyinggung perasaan kamu. Tapi percayalah, saya tidak bermaksud seperti itu."

"Nara," Dimas meletakkan sendoknya. Tangannya meraih tangan Nara. "Saya tahu pernikahan kita tidak seperti pasangan pada umumnya. Saya dan kamu belum terlalu mengenal sebelum kita menikah. Bahkan mungkin sampai saat ini saya juga belum mengenal kamu sepenuhnya. Tapi percayalah, sejak awal saya hingga saat ini, saya nggak pernah main-main dengan ajakan saya waktu itu."

Nara bergeming. Matanya menatap tangan Dimas yang saat ini menggenggam jemarinya. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Namun, tertutup kembali. Jangan tanyakan soal jantungnya yang saat ini berdetak cepat. Selalu seperti ini. Dimas memberikan reaksi yang berlebihan terhadapnya.

"Saya percaya," ucap Nara, akhirnya. "Saya ambil minum dulu," Nara menarik tangan dan bangkit dari duduknya. Ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya, pikirnya.

Nara membuka pintu kulkas, mengambil air dingin di sana. Dia butuh air dingin untuk menjernihkan pikirannya. Tangan kanannya menekan dadanya, mencoba meredam debaran jantungnya. Dimas hanya menggenggam tangannya tapi kenapa reaksinya sangat berlebihan seperti ini. Dia juga bukan anak ingusan yang baru mengenal cinta. Nara menggeleng cepat. Perasaan ini terasa tidak asing. Perasaan yang sama saat dia bersama Rion dulu, namun saat ini lebih berbeda.

Nara menoleh saat mendengar suara gemericik air dari arah sink. "Kamu mau ngapain?" Tanya Nara.

Dimas menunjuk piring kotor di hadapannya. "Cuci piring."

"Saya saja yang cuci, ini juga gak terlalu banyak kok."

Dimas menggeleng cepat. "Kamu sudah masak, biar saya yang cuci. Seperti kata kamu kamu cucian piring ini juga gak terlalu banyak."

"Baiklah." Nara mengambil dua buah cangkir dari dalam kabinet. "Tea or coffee?" tanya Nara kepada Dimas.

"Coffee, please."

Nara menuang biji kopi yang telah dihaluskan ke dalam coffee maker di hadapannya. Di apartemen Dimas terdapat coffee maker. Jadi, dia tidak perlu memasak air untuk membuat kopi. Setelah menuang air ke wadah coffee maker, Nara menyalakan mesinnya dan kopi akan jadi secara otomatis. Untuk Dimas, Nara membuat kopi dengan takaran 1:15 karena pria itu menyukai kopi yang crisp dengan citarasa yang tajam.

Nara mengalihkan pandangan pada Dimas sambil menunggu kopi buatannya siap. "You're doing great?" ucapnya, melihat Dimas yang serius mencuci piring.

"Percayalah saya sering melakukan ini dulu."

Nara mengernyit bingung.

"Waktu kuliah di Aussie saya pernah kerja part time buat cuci piring restoran."

"Really?" tanya Nara tidak percaya. Dimas yang lahir dari keluarga old money tidak perlu mencari uang dengan kerja part time.

"Gak lama. Cuman tiga bulan dan Mama gak pernah tau sampai sekarang." Pria itu tersenyum, mungkin teringat sesuatu.

"Saya gak bisa bayangkan kalau Mama tau kejadian ini," Nara mematikan coffee maker begitu kopi Dimas siap. Membayangkan Tante Ajeng mengetahui kalau anaknya pernah bekerja sebagai kitchen steward pasti akan membuat Tante Ajeng marah.

"No...." Dimas menggeleng cepat. "Jangan sampai Mama tau," ucapnya tertawa.

Nara mematikan coffee maker begitu kopi telah jadi. Dia kemudian mengikuti Dimas yang duduk di bar chair. "Butuh yang lain?" ucap Nara meletakkan kopi di depan Dimas.

Dimas menggeleng. "No, it's enough. Enjoy your time."

"Saya tidur dulu kalau begitu," Nara melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.

Dimas mengangguk. "Good night."

Married by AccidentDonde viven las historias. Descúbrelo ahora