[12] - Another Fact?

29.8K 1.9K 12
                                    

"Jadi menurut lo gue ambil judul yang mana, Ra?"

"Yang kedua," jawab Nara seraya menjilati sendok es krimnya. Untuk menambah berat badan janin dalam kandungannya, akhir-akhir ini Nara sering mengkonsumsi es krim. Giselle menyarankannya untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan es krim jadi salah satu pilihan Nara.

"Rumah Singgah untuk Anak Terlantar?" tanya Nadia lagi.

Nara mengangguk.

Nadia mengangkat pandangannya dari laptop dan menatap Nara. Wanita itu mengernyit, tatkala melihat Nara mencocol kentang gorengnya dengan es krim. "Dokter lo ngasih izin lo makan makanan aneh kayak gini?"

"Ini enak tau! Mau?"

Nadia menggeleng cepat. "Nggak deh, gue cukup yang ini." Nadia mengangkat cup mocha float di hadapannya. "Kalau judul yang pertama gimana?"

Nara mengerucutkan bibir, berpikir sejenak. "Bagus juga. Tapi menurut gue karena setiap tahun jumlah anak jalanan di Indonesia terus bertambah, ada baiknya disediakan fasilitas rumah singgah buat mereka. Lagian fasilitas ini nantinya gak cuman berfungsi sebagai tempat tinggal, tapi juga berfungsi sebagai tempat untuk mereka mengasah keterampilan. Jadi, menurut gue mending lo ambil pilihan yang kedua."

Nadia mengangguk-angguk. "Iya juga sih. Tapi kalau gue ambil judul yang ini gue mesti bimbingan di Pak Purwanto dan lo tau kan dia orangnya bagaimana."

"Emang dia masih kayak gitu?"

Nadia mengangguk pasrah. "Lo tau Kak Sheina yang dulu deketin Rion? Dia gak lulus sidang karena dapat penguji Pak Purwanto. Gue bayangin bimbingan sama dia jadi mundur duluan, Ra."

Nara menatap Nadia iba. Pak Purwanto, dosen senior di Fakultas Teknik memang terkenal killer di kalangan mahasiswa. Korbannya tidak sedikit, banyak mahasiswa tingkat akhir yang tidak lulus sidang karena dia. Bahkan bukan cuman mahasiswa akhir, mahasiswa baru juga sering menjadi korbannya. Banyak yang harus mengulang mata kuliah, karena mendapat nilai error dari Pak Purwanto.

"Emang gak bisa ajuin buat ganti pembimbing?"

"Kalau bisa ganti Kak Sheina udah ganti dosen penguji sejak dulu kali, Ra." jawab Nadia.

Nara mengernyitkan alis. Dia diam sesaat, memikirkan saran yang tepat untuk membantu Nadia. "Atau lo ganti pendekatannya aja, Nad. Kalau pendekatan desainnya lo ganti bisa jadi bimbingannya bukan ke Pak Purwanto."

"Lah iya juga, Ra. Kok gue gak kepikiran. Thanks, Ra. You know, you're still my smartest friend." Nadia tersenyum senang seolah dia baru saja mendapatkan jackpot. "By the way, lo gak ada niat buat lanjut kuliah? Setelah lahiran mungkin? Sayang kalau otak pintar lo gak kepake."

Nara mengedikkan bahu. Dia belum memikirkan hal ini sama sekali. Nara mengetahui dirinya hamil saat dia menjalani semester lima perkuliahan. Sejak saat itu dia mengajukan cuti kuliah. Teman kuliahnya pasti berpikir Nara mengajukan cuti kuliah karena wanita itu ingin menikah. Namun, kenyataanya tidak seperti itu. Pernikahan ini terjadi diluar rencananya.

"Belum kepikiran. Gue juga belum pernah bahas masalah ini dengan Dimas. Semua yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan di hidup gue ini terasa seperti mimpi, Nad. Mulai dari gue hamil, Rion yang pergi dari hidup gue dan gue yang harus menikah sama Dimas, kakak Rion." Nara mengelus perutnya lembut, menenangkan bayinya yang akhir-akhir ini sangat aktif bergerak. Mungkin sang bayi tahu dirinya sedang dibicarakan. "And it's like a fever dream to me. I don't know if it's a good or even a bad dream."

"Lo tahu, Ra. Sejak awal lo cerita ke gue kalau lo hamil. Rion nolak buat tanggung jawab tapi lo mutusin buat tetap pertahankan bayi ini padahal mungkin lo bisa lakuin jalan pintas lain dan berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi tapi nyatanya enggak, kan?" Nadia menautkan tangannya di atas meja dan menatap Nara dengan ekspresi serius. "You are stronger than you ever knew, Ra and you will be the best mom for your child," ucapnya lagi, menggebu-gebu.

Nada terdiam sesaat. Mencoba mencerna perkataan Nadia. Nara memang tidak pernah berpikir dia adalah Ibu yang baik. Dia masih harus banyak belajar. Namun, dia tidak pernah sekalipun berpikir untuk melakukan hal yang buruk buat bayinya. Bagaimana mungkin Nara menyakiti bayi yang wujudnya bahkan belum pernah dia temui. Janin kecil seukuran kacang merah, namun kehadirannya sudah Nara rasakan.

Bahkan jika Tuhan memintanya memilih dia akan tetap memilih bersama dengan bayinya saat ini. Meskipun dia harus mengorbankan banyak hal. Masa depan, cita-cita dan bahkan dirinya sendiri. Anak ini tidak bersalah. Dia dan Rion yang harus mendapat hukuman untuk perbuatan mereka bukan bayinya.

Nara tersadar dari lamunan saat Nadia menyentuh tangannya. "Ra! HP lo bunyi!" ucap Nadia menyadarkan Nara.

Nara meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Senyumnya merekah begitu melihat siapa yang meneleponnya. Dia sangat merindukannya.

"Siapa?" tanya Nadia penasaran begitu melihat Nara tersenyum.

"Nyokap gue," jawab Nara. "Halo, Ibu," Nara mengangkat panggilan ibunya."Ibu apa kabar? Nara kangen. Nara dan bayinya sehat kok, Bu. Ibu sama Bagas jaga kesehatan juga. Iya, udah konsul sama dokter juga. Sekarang lagi di luar. Bareng Nadia. Nara gak sempat balik minggu depan mesti ke nikahan sepupu Dimas, Bu. Iya, di bogor. Mungkin bulan depan, Nara juga belum izin ke Dimas. Iya nanti Nara usahain."

Nara menutup teleponnya dengan senyum sumringah. Meskipun hanya berbicara lewat telepon, bisa mengurangi rasa rindunya sedikit.

"Lo mau ke Purwakarta?" tanya Nadia.

Nara mengangguk. "Baru rencana, gue kangen sama Ibu. Tapi gak bulan ini. Sepupu Dimas mau nikah bulan ini."

Nadia mengangguk-angguk. "Lo tau gak sih, Ra. Gue baru tau kalau Rion sekaya itu pas datang ke nikahan lo. Maksud gue, gue tau dia anak orang kaya. Tapi gue gak tau kalau ortunya sekaya itu. FOR REAL, Ra. Lo mesti liat tamu undangan lo waktu itu siapa aja," Nadia meneguk mocha float di hadapannya, seolah energinya terkuras karena bercerita. "Lo juga mesti liat gimana kagetnya gue pas tau Kezia Andriana, penyanyi idola gue, Ra. Jadi wedding singer di nikahan lo. Untung sifat norak gue gak keluar waktu itu. Bayangin waktu nikahan lo, gue minta foto sama dia, pasti gue jadi pusat perhatian." ucap Nadia tertawa, membayangkan jika hal itu terjadi.

"Gue juga," Nara mengangguk setuju.

"Serius? Lo juga baru tau?" tanya Nadia, heran.

"Dia gak pernah cerita latar belakang keluarganya ke gue dan gue juga malas buat cari tahu." Nara mengedikkan bahu. "Gue tau keluarganya punya bisnis properti, tapi cuman itu."

Nadia menyipitkan mata. "Emang Rion gak pernah ngenalin lo ke keluarganya? Atau ke Mamanya gitu?"

Nara menggeleng. "Kalau sama Tante Ajeng gak pernah, tapi dia pernah sekali ngajak gue ketemu sepupunya. FOR GOD SAKE, Nad. Gue baru pertama kali liat Dimas tuh di pemakaman Rion. Setelah itu Tante Ajeng datang jauh-jauh ke rumah gue, minta gue menikah dengan Dimas. Tentu saja gue tolaklah!" Nara menyendok bagian terakhir es krimnya. "Walaupun endingnya tetap gue terima sih."

"To be honest, gue senang lo terima lamaran Dimas, Ra. Gue gak bisa bayangkan ponakan gue tumbuh besar tanpa figur seorang ayah." Nadia menatap Nara lekat. "I think he will be the best father for your child, right?"

Nara mengangguk setuju "Yes, he will."

***

Bab 12 udah dipublish. Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca😆👋

Married by AccidentWhere stories live. Discover now