[21] - The Dissapointment?

28.2K 1.8K 11
                                    

Nara terdiam, menatap langit-langit kamar milik suaminya yang didominasi warna abu-abu. Meskipun matanya terfokus pada lampu yang menggantung di sana, namun pikirannya entah melayang kemana.

Nara tahu dirinya mungkin sangat kekanak-kanakan saat ini. Nara mengabaikan panggilan Dimas untuk ketiga kalinya. Pesan yang dikirim pria itu sejak pagi tadi juga belum dibalasnya. Perasaannya terasa campur aduk setelah pembicaraannya dengan Keyra kemarin.

Dimas memang sudah memberitahunya kalau mereka pernah menjalin hubungan. Bukan cuman sekali tapi dua kali. Namun, tetap saja Nara tidak mengetahui Dimas pernah berniat menikahi Keyra walaupun akhirnya ditolak.

Sekarang Nara mengerti kenapa Keyra membencinya. Nara merebut pria yang wanita itu cintai. Kehadiran orang asing yang tiba-tiba merebut posisinya sebagai wanita spesial di hati Dimas pasti sangatlah menyebalkan. Yang mirisnya lagi, Dimas menikahi Nara bukan karena cinta melainkan untuk bertanggung jawab atas perbuatan adiknya.

Nara menoleh saat bunyi notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Tangannya meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Dimas mengirimkannya pesan lagi. Setelah sebelumnya panggilan dan pesan dari pria itu Nara abaikan.

Dimas : Hey, call me back when you get a chance. I need to say something, please?

Nara menatap pesan itu lama. Menimbang apakah dia harus menuruti keinginan Dimas untuk meneleponnya balik atau mengabaikan pesan itu seperti sebelumnya. Nara menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Karena tidak tahan, Nara akhirnya menekan tombol call.

"Halo...," sapa Nara.

"Halo. Lagi apa? Saya telpon dari tadi kenapa gak diangkat?"

Oke. Pria itu marah. Nara bisa menebak dari nada suaranya.

"Sorry. Saya gak dengar telepon kamu. Hp saya dalam mode silent. Ada apa?"

Nara berbohong. Wanita itu memang sengaja mengabaikan panggilan Dimas.

Helaan nafas panjang pria itu terdengar dari ujung telepon. "Nara, can we talk about what happened that night? Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak seharusnya melakukan hal itu. Perbuatan saya pasti membuat kamu bingung."

Nara terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Dimas. Pria itu berpikir Nara mengabaikannya karena kejadian malam itu. Nyatanya, Nara merasa kesal karena pria itu tidak jujur kepadanya. Walaupun perbuatan Dimas malam itu memang membuat Nara kebingungan. Tapi, sekarang Nara mengerti pria itu menghindarinya karena dia mencintai wanita lain.

"No, Dim! You don't need to say sorry! I understand how you felt when you kissed a woman you didn't like!"

"Maksud saya tidak seperti itu, Nara. Saya hanya-"

"I am okay, Dim. Really." Nara menghela nafas panjang. "Kamu kapan pulang?" tanya Nara mengalihkan pembicaraan. Membahas masalah ini hanya akan membuatnya semakin terluka.

Dimas terdiam sesaat, merasa bingung dengan perubahan topik secara tiba-tiba. "Mungkin selasa... kalau semua urusan di sini sudah selesai," jawab Dimas, akhirnya.

"See you?"

"See you, too...."

Nara pernah membaca salah satu kutipan yang menarik. Jangan pernah memulai sesuatu dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Dulu kalimat itu terdengar biasa saja. Namun, setelah mengalaminya secara langsung, Nara berpikir kalimat itu ada benarnya.

Dimas tidak sepenuhnya salah. Bukankah Nara seharusnya tidak berekspektasi tinggi dengan pernikahannya? Pria itu datang menawarkan sebuah pernikahan tanpa cinta yang sejak awal Nara ketahui alasannya. Pria itu hanya ingin bertanggung jawab atas perbuatan adiknya dan Nara yang saat itu tidak mempunyai pilihan lain akhirnya menerima ajakan itu.

Nara tersenyum getir. Ingatannya kembali pada percakapannya dengan Ibu dulu yang menjadi awal segala keputusannya.

Nara tahu Ibunya sangat kecewa terhadapnya. Diamnya menjelaskan semuanya. Nara lebih berharap Ibu memarahinya habis-habisan daripada mendiamkannya seperti ini.

Nara sebagai anak pertama yang seharusnya bisa menjadi tumpuan keluarga setelah kepergian Bapak, datang membawa malapetaka untuk Ibu. Yang mirisnya lagi, Nara akan menanggung semuanya sendiri setelah kepergian Rion meskipun sejak awal pria itu memang tidak berniat tanggung jawab.

"Jadi apa rencana kamu selanjutnya, Nduk?" Ibu membuka suara setelah terdiam lama. "Ibu tahu kamu sudah dewasa. Apapun keputusan kamu, Ibu akan dukung."

Nara mengalihkan pandangannya. Membuat Ibu menangis adalah hal yang paling Nara hindari. Namun, lihatlah sekarang. Ibu terduduk lemah di hadapannya, berusaha keras menahan tangis.

"Ibu tidak masalah kalau kamu mau membesarkan bayi ini sendiri. Yang Ibu takutkan bagaimana pandangan orang terhadap kamu, Nduk." Ibu menghapus air matanya yang menetes. "Saat ini kandungan kamu memang belum terlihat. Tapi semakin lama orang lain akan sadar. Mau bagaimanapun pandangan masyarakat terhadap wanita yang hamil diluar nikah sangat kejam, Nduk."

Nara terdiam, mencerna perkataan Ibu. Nara memang belum memutuskan langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Kepergian Rion secara tiba-tiba dan lamaran Dimas membuatnya merasa semua ini terasa seperti mimpi. Namun, melihat keadaan Ibu saat ini bukankah Nara harus menelaah lagi keputusan awalnya untuk membesarkan bayinya sendiri tanpa figur seorang ayah.

"Dimas mau bertanggung jawab atas kehamilan Nara, Bu," ucap Nara akhirnya.

Ibu sontak mengangkat kepalanya. Nara tahu Ibu terkejut dengan ucapannya karena matanya sontak membelalak.

"Kamu bilang apa, Nduk?" tanya Ibu.

Nara meremas tangannya. Memberitahu Ibu ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. "Dimas berniat menikahi Nara, Bu. Dia ingin bertanggung jawab atas bayi ini."

Ibu menatap Nara lekat. "Jadi apa keputusan kamu, Nduk?"

Nara menghela nafas. "Nara belum tahu, Bu. Nara bingung."

"Kenapa, Nduk?"

"Nara dan Dimas tidak saling cinta, Bu. Nara juga tidak ingin Dimas terlibat dalam kekacauan ini! Ini bahkan bukan kesalahan Dimas! Kenapa dia yang harus bertanggung jawab?"

Ibu mengangguk-angguk. Tangannya meraih jemari Nara dan meremasnya pelan. "Ibu mengerti perasaan kamu. Tapi coba pikirkan bayi ini, Nduk. Anak ini berhak dapat kehidupan yang layak. Ibu tidak bilang kamu tidak bisa membesarkan bayi ini sendiri. Ibu tahu kamu akan menjadi Ibu yang hebat. Namun, pernahkah kamu berpikir apa yang akan terjadi dengan bayi ini saat dia lahir. Saat dia bertanya dimana ayahnya? Saat temannya bertanya kenapa dia tidak punya ayah? Kamu mau bilang kalau ayahnya meninggal sedangkan kamu dan Rion bahkan tidak punya status sah." Ibu mengelus perut Nara yang masih rata. "Ibu hanya mau yang terbaik untuk kamu dan bayi ini."

Nara menunduk lemah. Air mata yang sedari tadi ditahan keluar juga. Ibu benar. Dia harus memikirkan nasib anaknya kedepan. Bukan hanya dirinya sendiri.

Nara mengangkat wajahnya. "Ibu setuju kalau Nara menikah dengan Dimas?"

Ibu menatap Nara, tersenyum kecil. "Jika itu yang terbaik untuk kamu. Ibu akan setuju."

Nara mengangguk, menghapus sisa air mata di pipinya. Pilihannya sudah matang. Jika ini yang terbaik untuk anaknya kelak, dia bisa apa. Nara bangkit dari duduknya dan meraih ponselnya. Jemarinya menelusuri daftar kontak, mencari nama pria itu

Nara: Bisa kita bertemu? Ada yang ingin saya bicarakan.

Satu pesan itu menjadi awal perubahan dalam hidupnya.

***

Part 21 udah diupdate guys💞🙌 Wdyt about this part???

Married by AccidentWhere stories live. Discover now