[49] - The Time To Be Alone?

25.7K 1.8K 64
                                    

"Saya gak ada kembalian, Neng. Kalau mau tunggu, saya tukar dulu di warung depan sana," ucap driver online yang ditumpanginya saat Nara menyerahkan dua lembar uang 100 ribuan.

"Kembaliannya ambil aja, Pak," Nara mengemas barang-barangnya hendak turun dari mobil.

"Semuanya, Neng?" Wajah driver online itu terlihat sumringah. "Terima kasih kalau begitu."

Nara tersenyum kecil. "Sama-sama, Pak."

Nara melangkahkan kakinya menyusuri area pemakaman yang menjadi tempat peristirahatan terakhir anaknya. Di tangannya, Nara menggenggam erat dua buket bunga yang sempat dibelinya tadi. Butuh waktu sebulan lamanya bagi Nara untuk mempersiapakan hatinya datang ke tempat ini. Meskipun sampai saat ini, hatinya belum benar-benar ikhlas, namun dirinya akan berusaha.

Nara memperlambat langkahnya saat matanya menangkap pemandangan makam yang dikenalinya. Sudah lama sekali, pikir Nara. Nara menahan nafasnya sejenak saat matanya melirik sisi sebelah makam yang dikenalnya itu, makam yang terlihat paling kecil diantara makam lainnya seolah menarik perhatiannya. Melihat nama yang menempel di batu nisan yang tertancap di atas makam anaknya membuat hatinya nyeri seketika.

Mikhayla Aulia Maheswari

Nama yang cantik, bukan? Hadiah terakhir yang bisa Nara berikan untuk bayinya hanyalah itu. Nara mendekat, meletakkan sebuket bunga di makam bayinya dan buket lainnya di makam sebelahnya.

Nara memukul pelan dadanya, berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Dadanya tampak naik turun dengan cepat, berusaha sekuat tenaga mengambil oksigen. Nara bisa mendengar helaan nafasnya yang terasa sangat berat. Melihat tanggal kematian anaknya yang hanya berselang dua hari dari tanggal kelahirannya seolah membawa kembali memori kelam itu.

Nara menggigit keras bibirnya, mencoba menahan agar air matanya tidak tumpah. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan anaknya. Namun, sekuat apapun Nara mencoba, dia tidak akan bisa menahannya. Tangisnya pecah juga.

Nara mengusap pelan batu nisan di hadapannya.

"Ibu cengeng banget ya, Nak?" Nara tersenyum miris. "Ibu sudah tahan buat gak nangis. Tapi, semua yang berkaitan sama kamu entah mengapa selalu membuat Ibu sedih."

Hening.

"Ibu minta maaf baru sempat lihat kamu sekarang. Sejujurnya, kemarin-kemarin Ibu gak punya nyali buat ketemu kamu, Nak."

Nara mengangkat wajahnya, agar air matanya berhenti menetes. "Anak Ibu di surga apa kabar? Ibu senang sekarang kamu sudah di tempat terbaik. Udah gak sakit lagi. Tapi ... Ibu boleh minta satu hal?" Nara menjeda kalimatnya sebentar. "Boleh sering temui Ibu dalam mimpi? Ibu benar-benar kangen, Nak."

Nara menghela nafas panjang, pandangannya mulai mengabur karena genangan air mata. "Terima kasih sudah memilih Ibu walaupun kamu hanya singgah sebentar. Ibu tahu, Ibu masih banyak kekurangan. Tapi karena kehadiran kamu, Ibu bisa belajar banyak hal."

Nara mengusap air matanya."Ibu percaya. Meskipun saat ini kita terpisah, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Dan jika saat itu tiba, Ibu boleh minta satu hal, Nak? Tolong jangan tinggalkan Ibu lagi. Kehilangan kamu yang pertama kali membuat Ibu sesakit ini dan Ibu tidak ingin hal itu terjadi untuk kedua kalinya."

Merasa lelah setelah menumpahkan perasaanya, Nara menyadandarkan kepalanya di atas makam anaknya. Tangannya mengusap lembut rumput-rumput halus yang tumbuh di sana. Rasanya sangat nyaman. Nara seolah bisa merasakan kehadiran anaknya. Padahal, sejak tadi dia hanya berbicara sendiri tanpa seseorang pun menanggapi.

Nara mengerjapkan mata saat merasakan tetesan air mengenai pipinya. Langit yang berwarna gelap menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Nara menatap jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Pukul 16.00. Nampaknya, Nara telah tertidur sebentar tanpa dia sadari. Andai tetesan air hujan tidak mengenainya, dia mungkin masih tertidur hingga saat ini.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now