[36] - The Space Between Us?

29.6K 1.9K 43
                                    

Nara mengambil koper hitam yang berada di dalam lemari dan memasukkan beberapa pakaian di sana. Dia tidak perlu membawa banyak pakaian karena sebagian pakaiannya masih berada di rumahnya dulu dan Nara belum sempat membawanya ke Jakarta saat itu. Selain pakaian, Nara juga memasukkan beberapa buku panduan ibu hamil yang pernah dibelinya. Buku ini sangat membantunya melewati masa kehamilannya selama ini. Jadi, dia masih membutuhkan buku panduan ini hingga akhir masa kehamilannya nanti.

Dalam waktu tiga puluh menit, koper hitam berukuran besar di hadapannya serta mini carrier bag sudah terisi penuh. Nara bersyukur Dimas berada di kantor saat ini, sehingga pria itu tidak perlu melihat Nara melancarkan aksinya. Meskipun pada dasarnya Nara sudah meminta izin pada pria itu. Dimas tidak mengizinkan, namun tidak juga melarang dan Nara sudah memantapkan hati akan tetap pergi meski tanpa izin dari pria itu.

Nara enggan mengakui tapi apa yang dikatakan Dimas benar adanya. Nara memang berniat menghindar. Menghindari pria itu lebih tepatnya. Setelah kejadian itu, hubungan mereka kembali memburuk. Tembok tinggi yang dulunya sempat menghilang, kini muncul kembali. Bagaimana bisa Nara bertahan tinggal bersama Dimas jika setiap kali melihatnya, Nara selalu teringat akan kejadian hari itu?

Bukan hanya itu, kondisi kesehatannya juga semakin menurun karena psikisnya yang sering terganggu. Hal ini tentu berimbas ke kandungannya jika terus terjadi. Nara tidak ingin kehilangan bayinya. Cukup sekali dia membuat bayinya kritis seperti kemarin.

Nara menatap jam tangan yang melingkar di lengan kirinya menunjukkan pukul setengah sembilan. Dia harus melakukannya lebih cepat. Bagas akan menjemputnya setengah jam lagi. Nara menutup kopernya segera dan membawanya keluar kamar.

Bik Rum muncul di hadapannya begitu Nara keluar kamar. Wanita berusia enam puluh tahun itu tampak kebingungan melihat koper berukuran besar di depan Nara.

"Neng Nara mau ke mana?" tanya Bik Rum.

"Saya mau balik ke Purwakarta, Bik." Nara membuka tas selempangnya dan mengeluarkan secarik surat di sana. "Saya titip ini buat Mama ya, Bik. Saya gak sempat ketemu soalnya."

Nara belum sempat meminta izin ke Tante Ajeng bahwa dia akan kembali ke Purwakarta. Bertemu dengan tante Ajeng saat ini juga bukanlah pilihan yang tepat. Sama halnya dengan Dimas, Tante Ajeng tentu saja tidak akan setuju dengan niatnya dan Nara takut itu akan menggoyahkan pilihannya.

Bik Rum menerima secarik surat Nara. "Sudah izin sama Mas Dimas kan, Neng?"

Nara tersenyum kecut. "Sudah, Bik."

"Gak nungguin Mas Dimas pulang dulu, Neng?"

Nara menggeleng. "Gak sempat, Bik."

Bik Rum membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, namun tertutup kembali. Wanita itu kemudian menarik koper Nara dan berkata. "Sini saya bantuin, Neng."

Nara mengangguk. "Makasih, Bik."

Nara menyalakan layar ponsel-nya begitu mendengar notifikasi pesan yang masuk. Bagas, adiknya, memberitahunya dia sudah berada di lobby apartemen.

Nara: Langsung ke atas aja. Kamu tau kan unit apartemen Mba di lantai mana?

Bagas: Lantai 21 kan, Mba?

Nara: Iya

Bagas : Oke, OTW :)

Nara memasukkan kembali ponselnya di tas selempangnya. Dia hendak membuka pintu apartemennya. Namun, sebelum dia melakukan hal itu, pintu apartemen tiba-tiba terbuka. Dimas muncul dari balik pintu membuat Nara tersentak kaget. Nara tahu Dimas sama kagetnya dengan dirinya karena mata pria itu sontak membulat. Seketika, Nara merasa dirinya tertangkap basah. Seolah dia baru saja melakukan tindakan kriminal yang tak seorangpun boleh tahu.

Namun, sebelum berpikir lebih jauh. Nara melirik Dimas yang berdiri di hadapannya. Pria itu masih mengenakan setelan kantornya. Jas kantornya bahkan belum ia sampirkan. Lantas, mengapa pria itu berada di apartemen di jam seperti ini? Sekarang bahkan belum jam makan siang. Bukankah seharusnya pria itu berada di kantor?

"Kamu ... mau... ngapain?" tanya Nara, terbata. Setelah hampir  semenit mereka hanya diam, saling menatap.

"Saya mau ambil berkas design yang ketinggalan." Dimas melirik koper Nara sekilas. Pria itu menyunggingkan senyum. "Saya gak tau kamu sungguh-sungguh saat mengatakan akan pergi."

Nara menghela nafas. "I've told you before."

Dimas hanya diam, menatap Nara datar. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Nara tidak tahu apakah pria itu marah, senang atau bahkan sedih dengan kepergiannya.

"Salam sama Ibu dan Bagas," ucap pria itu setelah terdiam beberapa saat kemudian melangkah melewati Nara.

***

Nara dan Bagas tiba di stasiun tepat pukul 10 pagi. Tiga puluh menit sebelum kereta mereka berangkat. Sambil menunggu keretanya tiba, Nara mengistirahatkan kakinya sejenak di kursi stasiun. Bepergian saat sedang hamil tentu bukanlah hal yang mudah. Berjalan sedikit saja, bisa membuat punggungnya nyeri. Namun, Nara bersyukur, ada Bagas yang menemaninya saat ini. Sehingga dia tidak perlu kesusahan membawa barang bawaannya sendiri.

Sambil menunggu keretanya tiba, Nara memainkan ponselnya sejenak. Meskipun Nara tidak tahu apa tujuannya memainkan ponsel saat data selular ponsel nya tidak aktif karena dia dengan sengaja mengaktifkan mode pesawat.

Setelah setengah jam menunggu, Nara tersenyum lega saat mendengar suara announcer yang mengatakan kereta tujuan Purwakarta sebentar lagi akan tiba. Dari kejauhan, manik mata Nara menangkap pergerakan kereta mendekat ke arah stasiun. Angin yang berhembus kencang dan rintik kecil yang mulai turun membuat Nara ingin segera masuk ke dalam kereta. Nara bangkit dari duduknya sambil merapatkan jaketnya, dengan gontai Nara berjalan sambil memegang perut bagian bawahnya menuju gerbong tujuannya.

"Biarin penumpang lainnya turun dulu, Mbak," ucap Bagas ke Nara.

Nara mengangguk. Dengan kondisinya seperti ini, memang lebih baik baginya menghindari berdesak-desakan dengan penumpang lain.

Suasana gerbong yang sepi membuat Nara larut dalam pikirannya. Sepanjang perjalanan dia memikirkan jawaban yang masuk akal ketika ibunya menanyakan alasan dia memilih tinggal di Purwakarta saat sedang hamil besar seperti saat ini. Nara memang sudah memberitahu Ibunya bahwa dia akan pulang. Namun, dia tidak secara gamblang mengatakan kalau dia akan menetap beberapa bulan dan bukan hanya sekedar berkunjung.

Haruskah Nara jujur kepada Ibunya tentang apa yang terjadi? Bahwa pernikahan anaknya saat ini sedang tidak baik-baik saja? Bahwa dia dan Dimas kemungkinan besar akan bercerai? Sejujurnya, Nara tahu keputusan ini pasti akan membuat Ibu bersedih dan membuat Ibu bersedih adalah hal yang paling Nara hindari. Tapi, Nara tidak punya pilihan lain. Dimas sudah membuatnya kecewa untuk kesekian kali dan ini sudah melebihi batas toleransinya. Nara mungkin bisa memaafkan, tapi tidak untuk kembali dengan pria itu. Nara juga tidak bisa menjamin kedepannya Dimas tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Pria itu sendiri bahkan tidak bisa berjanji kepadanya.

"Mba gak mau makan dulu?" Pertanyaan Bagas menyadarkan Nara dari lamunan. Nara menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam 11 siang. Tadi, saat berangkat dia hanya sempat makan sepotong roti dan segelas susu karena terburu-buru ke stasiun. Tidak heran dia merasa lapar saat ini.

"Mba nitip snack sama teh hangat, boleh?" tanya Nara ke Bagas.

Bagas mengangguk. "Boleh. Mba tunggu di sini saja. Biar Bagas yang beliin."

Nara balas mengangguk.

Sepeninggalan Bagas, Nara kembali menyandarkan kepalanya di kepala kursi. Matanya menatap ke arah luar jendela kereta. Pemandangan yang indah di luar sana tetap tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Nara hanya berharap, semoga tindakan yang dia ambil saat ini adalah pilihan yang tepat.

***

Buat yang nungguin, bab 36 udah update yaaaa💞

Jangan lupa tinggalkan vote and komen yuk yuk yuk gak sampai semenit kok😂

Bye love peace and gawl💕

Married by AccidentOù les histoires vivent. Découvrez maintenant