[48] - The Progress of Healing?

26.4K 1.7K 40
                                    

Nara merasa dirinya mungkin sudah gila atau memang dirinya sudah benar-benar gila. Sebulan setelah kepergian bayinya, Nara merasa ada yang salah dengan dirinya. Dia memang hidup, namun jiwanya serasa sudah mati. Jiwanya seolah ikut terkubur dengan jasad anaknya di hari itu. Pasca kepulangannya dari rumah sakit pun tidak membuat kondisi Nara semakin membaik.

Seolah tidak cukup menghantui di sela tidur malamnya. Rasa bersalah itu selalu muncul setiap kali matanya melihat perlengkapan bayi yang pernah dibelinya dan hal itu kembali membuatnya menangis histeris. Karena sudah tidak tahan, Nara meminta Dimas menyingkirkan semua barang-barang itu. Terserah mau diapakan, Nara sudah tidak peduli. Dia hanya menyisakan satu baju. Baju rajut berwarna merah muda yang pernah dibuatnya selama masa kehamilannya. Meskipun bayinya belum pernah mengenakannya. Baju itu tetap menandakan bayinya pernah hadir walaupun hanya sebentar dalam kehidupannya.

Dimas yang tidak tega melihat kondisi Nara, mengajak wanita itu untuk menemui seorang professional. Awalnya, Nara bersikeras menolak. Nara merasa ini salah satu cara menebus kesalahannya dengan menyakiti dirinya sendiri. Namun, niatnya berubah saat Ibu juga turun tangan dalam hal ini.

"Ibu ndak mau lihat kamu seperti ini terus, Nduk. Ibu sudah kehilangan cucu, ndak mau kehilangan anak juga," ucap Ibu saat itu sambil berlinang air mata.

Benar saja. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan Nara mengidap PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Kejadian traumatis yang dialaminya karena kehilangan bayinya diduga menjadi penyebabnya. Kebanyakan dari penderita PTSD tidak menyadari mereka menderita penyakit itu dan hanya menganggapnya sebagai trauma biasa, begitupun dengan Nara. Lebih tepatnya, Nara malas mencari tahu apa yang salah dengan dirinya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya. Jika bukan karena orang-orang terdekatnya, Nara mungkin memilih untuk menyusul bayinya di surga.

Nara menatap tangannya yang sedari tadi tidak pernah lepas dari genggaman Dimas. Bahkan saat mereka meninggalkan ruangan dokter dan memasuki mobil. Genggaman hangat pria itu di tangannya seolah menyadarkan Nara bahwa saat ini dia tidak sendirian.

Soal hubungannya dan Dimas, keputusan Nara tidak berubah. Dia memang masih mencintai pria itu. Sangat. Tapi, rasa cintanya saat ini tidak cukup untuk membuatnya bertahan. Nara meyakini bahwa selalu ada hikmah yang dapat dipetik di setiap musibah. Mungkin, dengan musibah ini bisa meyakinkan Nara untuk mengambil keputusan tegas soal pernikahannya. Memulai hidup yang baru tanpa pria itu. Perasaan ragu yang sempat terbersit kini hilang seketika. Kepergian bayinya benar-benar mengubah semuanya.

Nara tersentak dari lamunannya saat Dimas tiba-tiba mendekat ke arahnya dan memasang sabuk pengaman untuknya.

"Sabuk pengaman kamu belum terpasang."

Nara menahan nafasnya, wajah Dimas yang sangat dengannya membuat Nara bisa melihat dengan jelas perubahan pada wajah pria itu. Rambut-rambut kecil yang tumbuh di sekitar dagunya dan lingkaran hitam di bawah matanya menandakan semuanya. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Pipi yang terlihat lebih tirus pun semakin mempertegas itu.

Terlalu lama bergelung dalam kubangan kesedihan membuat Nara tidak menyadari hal itu. Nampaknya bukan hidupnya saja yang berantakan akhir-akhir ini tapi juga orang di sekitarnya.

"Kita ke rumah bentar ya. Saya mau ngambil sesuatu. Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Dimas saat menjauhkan tubuhnya.

Nara mengangguk. "Iya."

Manik mata Nara masih mengamati Dimas dalam diam. Hingga pria itu menoleh karena merasa diperhatikan.

"Ada apa? Kamu butus sesuatu?" tanya Dimas.

Nara menggeleng lemah. "Dim? Are you okay?"

Dimas mengernyitkan alis, terlihat bingung dengan pertanyaan Nara. Nara yang melihatnya, menunjuk lingkaran hitam di bawah wajah pria itu.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now