[25] - The Keeper?

28.2K 1.8K 15
                                    

Nara tahu ada yang salah dengan Dimas ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun pria itu belum bangun juga. Pukul delapan adalah batas bangun paling telat Dimas di pagi hari. Dimas adalah tipikal morning person. Bahkan saat weekend pun, saat kebanyakan orang memilih bermalas-malasan, pria itu akan dengan senang hati bangun pagi dan menjalankan aktifitasnya seperti berolahraga. Namun, yang terlihat di hadapan Nara saat ini pria itu masih menelungkup di atas tempat tidur.

Nara juga melirik selimut yang menutupi tubuh Dimas. Tidak biasanya pria itu tidur menggunakan selimut. Tidur menggunakan selimut akan membuat tubuhnya kepanasan meskipun kamar sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan. Jika kepanasan, tubuh pria itu akan sensitif dan menimbulkan banyak ruam.

"Dim, kamu nggak ke kantor?" Nara menepuk pelan bahu Dimas, mencoba membangunkan pria itu. Bukannya bangun, pria itu malah mengeratkan selimutnya.

"Dimas, udah siang. Kamu nggak ke kantor hari ini?" ucap Nara lebih keras, berusaha membuat pria itu bangun.

Dimas mengerjapkan mata berkali-kali, mencoba membuka mata. "Jam berapa sekarang?" tanya Dimas. Entah mengapa suaranya terdengar parau. Nara melihat lebih jelas lagi wajah pria itu juga terlihat pucat.

"Jam 8 pagi, kamu nggak ke kantor hari ini?"

Dimas memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut, badannya juga menggigil. "Saya merasa gak enak badan." Dimas menyerahkan ponselnya ke Nara. "Bisa tanya ke Papa kalau saya gak masuk hari ini. Kayaknya saya gak sanggup ke kantor dengan kondisi seperti ini."

Nara mengambil ponsel dari tangan Dimas. "Kamu sakit?" Nara refleks menempelkan tangannya di dahi Dimas membuat pria itu tersentak. "Sorry, saya cuman mau cek suhu tubuh kamu." Dahi pria itu memang terasa panas. Namun, alangkah lebih baik mengeceknya langsung menggunakan termometer. "Bentar, saya ambil termometer dulu."

Nara mengambil termometer digital yang berada di kotak obat-obatan. Mereka memang selalu menyediakan berbagai jenis obat, meskipun hanya digunakan sesekali.

"Dim...," panggil Nara membuat Dimas menoleh. "Bisa saya—"

"Ah.... Oke." Dimas mengangguk mengerti. Dia kemudian mengangkat tangan dan mengapit termometer yang disodorkan Nara.

Mata Nara membulat begitu melihat angka yang tertera pada termometer.
"38,9." Nara menunjukkan angka termometer pada Dimas. "Demamnya lumayan tinggi. Kita ke rumah sakit aja, mau? Sebelum tambah parah."

Dimas diam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. Itu akan merepotkan Nara jika
menemaninya ke rumah sakit. Apalagi saat ini wanita itu sedang hamil besar. Dimas juga tidak tau kenapa kesehatannya drop seperti ini. Dia jarang sakit kecuali karena kelelahan. Mungkin karena semalam dirinya kehujanan membuat sistem imunnya menurun.

Dimas menggeleng lemah "Gak usah. Paling saya cuman kecapean. Bisa tolong hubungi Dokter Jusuf saja?"

Nara hendak mengatakan sesuatu, namun mulutnya tertutup kembali. Baiklah, jika itu kemauan pria itu Nara tidak akan memaksa.

Nara melangkahkan kakinya menuju dapur, setelah dirinya menghubungi Dokter Jusuf. Dia membuka kulkas, mencari bahan makanan di sana. Hari ini jadwal belanja bulanan Bik Rum, jadi tidak banyak bahan makanan yang tersisa di kulkas. Karena Dimas tidak berniat ke rumah sakit, maka dia bertugas merawat pria itu dan hal pertama yang akan Nara lakukan adalah membuatkan makanan untuk pria itu. 

Nara mengeluarkan bahan yang dibutuhkan untuk membuat bubur. Hal pertama yang Nara lakukan adalah mencuci beras dan memasukkannya ke dalam pan. Dia juga mencuci irisan ayam, wortel, dan daun bawang kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian. Setelah semua bahannya siap, Nara mencampurnya menjadi satu. Tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk memasaknya, hanya tiga puluh menit.

Nara kembali ke kamar dengan nampan berisi bubur dan ibuprofen yang diambilnya di kotak obat tadi. Dokter Jusuf baru akan datang setelah makan siang, jadi Nara berharap ibuprofen ini bisa menurunkan demam Dimas sementara.

"Dim, makan dulu," ucap Nara membangunkan Dimas yang tertidur kembali.

Dimas menoleh dengan mata terpejam. Dengan gontai, dia mencoba menyandarkan badannya di kepala ranjang, namun tenaganya ternyata tak sekuat itu. Karena melihat pria itu kesulitan, Nara mencoba membantunya. Hal yang langka melihat pria itu tidak berdaya seperti ini.

"Makasih," ucap Dimas kepada Nara.

Nara menyunggingkan senyum."Makan dulu! Baru minum obat!" Nara meletakkan nampan di atas tempat tidur. "Mau saya bantu atau--"

Dimas menggelengkan kepalanya. "Saya bisa sendiri."

Nara mengangguk. "Saya sudah menghubungi Dokter Jusuf. Dia bilang akan datang setelah makan siang. Is it okay?

Dimas mengangguk. "Kayaknya saya bisa tahan sakitnya sebentar. Sakit kepala saya juga agak mendingan sekarang."

"Kamu yakin gak mau ke rumah sakit?" tanya Nara sekali lagi, mencoba meyakinkan Dimas.

"Gak usah!" Dimas menggeleng cepat.

Nara mengangguk-angguk. "TERNYATA PRIA DI HADAPANNYA SANGAT KERAS KEPALA," ucap Nara dalam hati.

Nara kembali diam sambil menunggu Dimas menikmati buburnya. Sesekali Nara mengalihkan pandangannya ke arah lain, agar tidak membuat pria itu terganggu. Namun, suasana hening itu dirusak oleh bunyi keroncongan dari perut Nara. Nara melirik Dimas, malu. Wajahnya pasti merah padam saat ini. Kenapa perutnya harus berbunyi saat ini? Dan lihat reaksi pria di hadapannya, malah mengulum senyum, berusaha keras menahan tawa.
.
"Kamu bisa meninggalkan saya sekarang, Nara. Saya akan memanggil kamu jika saya butuh bantuan."

Nara terdiam sebelum kemudian mengangguk. "Ah... oke. Enjoy your food!" Nara tersenyum kikuk.

Nara baru saja akan melangkahkan kakinya saat Dimas menahan lengannya. Pria itu hanya diam menatapnya, tanpa mengatakan sesuatu.

Nara mengangkat alisnya. "Ada apa?" ucap Nara, akhirnya.

Dimas tersenyum hangat. "Nothing. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada kamu."

Nara balas tersenyum. "It's okay. Ini sudah kewajiban saya."

Dokter Jusuf mengatakan Dimas mengalami gejala tifus. Tidak perlu rawat inap di rumah sakit, namun pria itu harus bedrest total selama tiga hari. Jika kondisinya tidak membaik juga, mau tidak mau Dimas harus dirawat di rumah sakit.

Tadi, Tante Ajeng juga menelepon Nara, menanyakan keadaan Dimas. Dari nada suaranya, Tante Ajeng terdengar sangat khawatir. Dimas memang jarang sakit. Namun, tubuhnya akan benar-benar drop saat itu terjadi. Nara meyakinkan Tante Ajeng bahwa kondisi Dimas akan membaik dan hanya membutuhkan istirahat untuk beberapa hari.

Nara melangkahkan kakinya menuju kamar sambil membawa baskom kecil berisi air hangat dan handuk. Dimas tertidur lelap setelah menghabiskan setengah buburnya dan menenggak obat yang diresepkan Dokter Jusuf untuknya.

Nara memeras handuk yang dibasahi air hangat dan menempelkannya pada dahi Dimas. Pria itu mengernyit sesaat saat handuk basah itu terkena kulitnya yang dingin. Namun, pria itu melanjutkan tidurnya lagi setelah handuk itu mulai terasa nyaman di dahinya. Nara melakukan hal yang sama berulang kali hingga air di baskom yang tadinya hangat berubah dingin.

Nara keluar kamar begitu demam di tubuh Dimas mulai mereda. Nara menghela nafas begitu menyadari sejak tadi dia belum meminum vitamin-nya. Pikirannya benar-benar terfokus pada kesehatan Dimas saat ini. Membuat Nara melupakan kehadiran bayinya sejenak. Bayinya pun juga tidak rewel hari ini, mungkin dia bisa menyadari ibunya sedang sibuk mengurus ayahnya yang sedang sakit.

"Anak ibu apa kabar hari ini?" Nara tersenyum lembut, mengusap perutnya lembut. "Lagi tidur ya, Nak?"

Nara melangkah mengambil air dan meminum vitamin-nya dalam sekali teguk. Jangan sampai dirinya ikut drop saat kondisi Dimas masih lemah seperti saat ini. Siapa yang akan mengurus mereka berdua jika hal itu terjadi?

***

Part 25 udah diupload, jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca😍😘

Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang