[44] - The Most Awaited Momen?

27.6K 1.9K 87
                                    

"Jadi Nara udah balik ke apart lo, Dim?" tanya Danu sambil menyesap kopinya.

Dimas mengangguk singkat, sebelum kemudian mengalihkan kembali perhatiannya pada beberapa laporan RAB di hadapannya. Mereka sedang berada di salah satu coffee shop di daerah Senopati setelah mengunjungi site yang rencananya akan menjadi lokasi proyek Maheswara Group selanjutnya. Alasan Dimas memilih coffee shop ini sebagai tempat untuk bersantai sejenak sebelum mereka kembali ke kantor adalah agar dirinya bisa fokus memeriksa laporan RAB karena suasananya yang cozy dan sepi. Namun, gangguan yang didapat Dimas bukanlah dari pengunjung lain, melainkan dari pria yang duduk di hadapannya yang sejak tadi tidak berhenti mengajaknya berbicara. Membuatnya kehilangan fokus membaca deretan angka-angka pada lembar laporan itu.

"Udah lama baliknya?"tanya Danu, lagi.

"Dua hari yang lalu." Dimas masih berusaha fokus pada lembar RAB di hadapannya, meskipun sesekali Danu menginterupsi pekerjaannya. "Ini jumlah pekerja yang dibutuhin emang cuman gini?" tanya Dimas kepada Danu.

Danu mengangguk. "Kontraktornya sih bilangnya gitu. Emang kenapa, Dim?"

Dimas mengangkat wajahnya dari lembaran kertas di hadapannya.

"No. Just wondering. Ini bisa selesai sesuai jadwal kalau jumlah pekerjanya cuman segini?"

Danu mengambil lembar laporan di hadapan Dimas, membacanya kembali dengan teliti. "Bentar gue confirm ulang sama Pak Wahyu."

Dimas mengangguk-angguk. "Oke!"

Dimas memeriksa lembar laporan yang lain sembari menunggu Danu menyelesaikan panggilannya. Sesekali matanya melirik pada ponsel genggamnya yang tergeletak di atas meja, memastikan tidak ada panggilan masuk yang terlewatkan.

Seminggu menjelang persalinan  Nara benar-benar membuatnya hidup Dimas tidak tenang. Dia merasa antusias dan khawatir di saat yang bersamaan. Tentu saja karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Terlebih lagi, Dimas sering mendengar perjuangan seorang Ibu untuk melahirkan sang buah hati diibaratkan perjuangan hidup dan mati. Membayangkan hal itu membuat Dimas bergidik ngeri. Ya Tuhan. Dimas benar-benar berharap  persalinan Nara lancar nantinya.

"Udah gue confirm." Ucapan Danu mengalihkan perhatian Dimas. "Yang kerja nih laporan katanya anak magang dan Pak Wahyu gak sempat check sebelum dikirim ke lo. Bentar bakal di recheck sama dia."

Dimas mengangkat jempolnya. "Siip!"

"So, Nara kapan lahiran?" Danu menyimpan kembali lembar laporan di tangannya ke tempat semula.

"Minggu depan kalau sesuai perkiraan dokter," jawab Dimas, menyesap kopinya yang sudah dingin sejak tadi.

Danu mengangkat alisnya. "Terus rencana lo kedepan gimana?"

Dimas menghela nafas panjang sebelum kemudian menghembuskannya perlahan. Selain persalinan Nara, ini juga yang akhir-akhir ini membebani pikirannya. Masalah pernikahannya dengan Nara. Nara masih tetap pada pendiriannya untuk bercerai darinya. Dimas pun sudah mengupayakan segala cara agar hal itu tidak terjadi. Namun, melihat bagaimana Nara sangat menjauhinya, nampaknya itu akan sulit.

"Hei! Diajak ngobrol kok bengong!"

Celetuk Danu membuat Dimas menoleh. Pria itu mengusap wajahnya kasar, menunjukkan keputusasaan. "I've tried my best. Namun, keputusan Nara kayaknya gak bakal berubah."

"So, kalian berdua beneran bakal cerai? Jadi duda dong lo, Bro?"

"Sialan!" Dimas melempar bolpoin di hadapannya yang mengenai bahu Danu, membuat pria itu tertawa terbahak-bahak.

Married by AccidentWhere stories live. Discover now