[32] - The Unforgiven?

33.7K 2K 57
                                    

Nara terbangun dalam keadaan disorientasi. Bau obat-obatan yang menyengat pertama kali tercium di hidungnya begitu dia terbangun. Nara mencoba mengerjapkan mata saat terangnya sinar lampu mencoba menerobos masuk ke retina matanya. Nara mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencoba mencari tahu dimana keberadaanya saat ini. Mendapati dirinya berada di ruangan serba putih dengan selang infus terpasang di tangan kirinya.

Nara tidak ingat mengapa dia bisa terbaring di rumah sakit saat ini. Kejadian terakhir yang terekam di otaknya adalah kejadian yang ingin dia hilangkan dalam ingatannya.

Nara menoleh, mendapati Ibu yang tertidur sambil merebahkan kepalanya di sisi kiri ranjangnya. Nara mengernyit bingung. Sejak kapan Ibunya berada di Jakarta? Berapa lama Nara tertidur sehingga dia tidak menyadari kehadiran Ibu? Nara menggeleng cepat. Berpikir keras saat ini membuat kepalanya semakin sakit.

Nara mencoba menyentuh perutnya dengan tangan kanannya. Namun, dia tidak dapat merasakan pergerakan janinya. Hal seperti ini tidak biasa terjadi. Biasanya, bayinya sangat aktif bergerak bahkan sering membuat sang Ibu kewalahan.

"Ibu...!" Nara menyentuh lembut punggung tangan Ibunya, mencoba membangunkan.

"Ibu...!" Panggil Nara kedua kalinya ketika Ibunya belum juga bangun.

Ibu mengangkat kepalanya. Beliau mengerjapkan matanya, mencari kesadaran di sana. "Sudah bangun, Nduk?"

"Ibu... Nara kenapa? Bayi Nara kenapa, Bu?" tanya Nara, setengah histeris.

"Ndak apa-apa." Ibu mengusap lembut kepala Nara. "Kata dokter cuman perlu banyak istirahat, Nduk."

"Nara takut, Bu...," ucap Nara gelagapan. Air mata sudah membasahi pipinya. "Bayi Nara gak gerak, Bu. Biasanya gak seperti ini. Bayi Nara gak mungkin—"

"Tenang dulu, Nduk. Tenang." Ibu mengusap lembut punggung Nara , mencoba menenangkan. "Bayi kamu baik-baik saja. Kamu cuman perlu banyak istrihat. Jangan banyak pikiran dulu. Biar bayinya juga tenang."

Nara mengangguk, menghapus air mata yang tidak berhenti turun dengan telapak tangannya.

"Ya, sudah. Kamu istirahat dulu, Nduk." Ibu membantu menarik selimut Nara.

"Ibu jangan tinggalin Nara, ya?" pinta Nara dengan wajah memohon.

Ibu mengangguk pelan kemudian tersenyum kecil. "Anak Ibu tidur dulu kalau begitu."

Dimas muncul sesaat kemudian membawa paper bag salah satu resto di tangan kanannya. Pria itu tidak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya begitu melihat Nara sudah sadarkan diri.

"Oh God! Thank you! Akhirnya kamu sadar!" Dimas meletakkan paper bag di atas meja dan menghampirinya. "Sadarnya dari tadi?" Pria itu hendak memeluk Nara, namun secepat kilat Nara menghindar membuat pria itu mengernyit kebingungan.

Nara menoleh ke Ibunya, menghindari tatapan Dimas. "Nara mau minum, Bu!"
Ibu terdiam sesaat mungkin beliau juga bingung harus bereaksi apa sebelum kemudian mengangguk. "Ahh... yo wis. Ibu ambilkan minum dulu, Nduk."

Nara berusaha bangun dari tidurnya dengan satu tangannya. Melihat wanita itu kesusahan, Dimas mendekat berusaha membantu. Namun, sekali lagi sebelum hal itu terjadi, Nara menghindar secepat mungkin.

"Saya bisa sendiri!" Nara menepis tangan Dimas yang berusaha membantunya.

Nara bisa melihat raut kebingungan bercampur kesal dari wajah Dimas. Dia seolah meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Namun, pria itu berusaha menahannya mengingat Ibu berada di ruangan yang sama dengan kami.

"Nak Dimas udah makan?" tanya Ibu setelah memberikan segelas air kepada Nara.

"Belum, Bu. Dimas belum lapar." Dimas tersenyum kecil. "Ibu makan duluan saja. Ibu pasti lapar karena belum makan sejak tadi."

Married by AccidentWhere stories live. Discover now