Tajuk 1: Atap Sekolah

24 5 0
                                    

Maret 2015, Yeonghwa High School

Da-Reum meremas jemari untuk mengurangi kekhawatirannya. Pacu jantung sudah melebihi batas normal, pun peluh sudah membasahi kening dan pelipisnya sedari tadi. Dia tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi tadi malam. Tangan kirinya menyentuh leher belakang yang masih terasa panas, Da-Reum yakin ada orang lain di atap. Da-Reum yakin dia tidak membunuh siapa pun apa lagi … Juee?

Bahkan masih jelas ekspresi terkejut gadis itu saat leher Da-Reum merasa perih lalu terjatuh. Kini tangan kanannya ikut meraba, merasakan kepedihan yang menyelimuti tengkuknya. Namun, siapa yang akan pecaya? Air mata Da-Reum yang tertahan di pelupuk mata terjatuh.

“Wang Da-Reum?”

Da-Reum mengangkat kepala perlahan untuk menoleh ke sumber suara. Dua petugas yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai polisi duduk di hadapan Da-Reum. Salah satunya memberikan botol air dan secangkir minuman lain lantas tersenyum hangat memandang Da-Reum.

Haksaeng!” panggil laki-laki itu sambil mengetuk meja. Laki-laki satunya mengeluarkan buku kecil dan pulpen. Apa itu untuk menulis kesaksiannya? Seperti yang ada di drama Sabtu malam yang dia tonton.

Haksaeng!” ulangnya untuk membuat Da-Reum mengangkat kepala. Akan tetapi, gadis itu masih dalam posisi.

Laki-laki itu memasukkan tangan ke saku celana, lalu meminta rekannya untuk ke luar ruangan. Berharap memberikan kenyamanan yang diperlukan Da-Reum. Tidak dapat dipungkiri, segalanya mungkin akan sia-sia. Polisi itu tetap menunggu sampai Da-Reum bosan menunduk dan tangannya menghangat.

Da-Reum meneguhkan hatinya setelah berpikir lama. Dirinya bukan pembunuh. Dia mengulang kata tersebut sampai masuk ke alam bawah sadarnya. Da-Reum masih terus meremas jari karena situasi yang tidak menyenangkan itu. Keringat tidak berhenti memenuhi kening dan pelipisnya.

“Sudah lebih baik?” tanya polisi pada Da-Reum yang memandang ke meja, penghalang di antara mereka.

Da-Reum mengangguk mantap. Dia tidak bisa lari, dia hanya berharap kekejaman seorang polisi yang pernah di dengarnya atau ditontonnya adalah salah.

Polisi tersebut tersenyum lalu berkata, “Nama marga kita sama.”

Da-Reum beralih menatap polisi tersebut lalu bergumam, “W–wang ….”

“Wang Kyung-Ho!” balas Kyung-Ho, “Kyung-Ho!”

Da-Reum memaksakan bibirnya untuk menyunggingkan senyum. Kedua tangan itu dipenuhi jejak kuku.

“Ini ….” Kyung-Ho mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk bulat. Bandul merah muda menggantung pada rantai tipis. Benda tersebut mengeluarkan warna merah lebih terang saat terkena cahaya matahari yang masuk lewat jendela.

“Liontin ini punyamu?” Kyung-Ho bertanya perlahan agar tidak terdengar mengintimidasi. Menyingkirkan ekspektasi pada gadis seusia Da-Reum tentang pekerjaan polisi. Apa lagi, gadis itu masih di bawah umur.

Da-Reum menggeleng lemah. Benda tersebut baru kali ini dilihatnya. Punggung tangan gadis itu terangkat untuk mengelap pelipis yang keringatnya sudah turun ke rahang. Menetes tepat pada rok biru dongkernya.

Kyung-Ho memperhatikan remaja yang ada di depannya dengan saksama. Mulai dari mimik, pergerakan intens dari tubuhnya, pun suara yang keluar. Jelas Da-Reum tidak mengenal liontin tersebut, tetapi semua petunjuk mengarah padanya. Bahkan setiap orang yang bersaksi, mengarahnya dengan motif yang sama.

“Juee …,” ucap Da-Reum menggantung. Dia ragu untuk menanyakan alasan tersebut.

“Temanmu akan diautopsi. Agar kami bisa tahu penyebab kematiannya. Untuk bisa menangkap pelakunya segera.” Kyung-Ho tersenyum sambil mengangguk.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now