Tajuk 13: Muncul Informasi

1 1 0
                                    

Woo-Soo bisa saja tersedak saat adik perempuannya melemparkan pertanyaan yang sarkastik. Laki-laki pertengahan tiga puluhan itu menelan paksa nasi yang belum terkunyah seluruhnya agar bisa menjawab pertanyaan itu.

"Ah, Oppa!" teriak Juee. Mimik kesal sang adik tidak bisa diremehkan, dia tidak akan pernah mengabaikan keluarga satu-satunya sebelum hal buruk menimpa mereka lagi.

"Kakak enggak akan kasih tahu aku?" ancamnya, "Oppa-nen Da-Reum-eul chu-a hanta?"

"Aniya, Juee!" Woo-Soo bangkit lantas mendekati Juee yang siap untuk berangkat sekolah.

Tidak terasa hari libur telah usai, kekhawatiran Woo-Soo semakin tinggi. Apa lagi mengetahui kalau dua sahabat adiknya kini terpisah jarak. Walau pun Woo-Soo yakin bahwa Da-Reum tetap akan memperlakukan adiknya dengan baik. Dia takut untuk melepas Juee menjelang hari-hari yang semakin menipis.

Juee merasa aneh dengan tatapan yang diberikan sang kakak. Dia mengangguk-angguk kemudian menggaruk leher. Sang kakak masih mematung di depannya, membuat Juee kesulitan lewat untuk mengambil tas gendongnya yang berada di dekat meja makan.

Woo-Soo memeluk sang adik. Tangan kanannya berada di puncak kepala mengelus rambut lembut yang tergerai, tangan lain berada di pundak sambil menepuk-nepuk. Oppa janji, tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kamu lagi.

Aneh. Pikiran Juee tidak pernah setenang ini, tetapi juga tidak pernah secanggung ini. Dia ingat kejadian dua Minggu lalu.

Juee sedang kesal karena Suhee memarahi dan menuduhnya telah membocorkan rahasia yang mereka niatkan untuk mencemarkan nama baik Da-Reum. Sahabat sekaligus sahabat yang kepandaian sangat berbeda. Bagi sebagian orang, memiliki teman yang pandai sangat bermanfaat. Namun, bagi yang lain, bagi Suhee dan Juee mereka tampak buruk di mata orang lain.

Rencana yang gagal total itu dilimpahkan pada Juee karena berdandan terlalu lama dan memberitahu Da-Reum lewat telepon. Suhee memarahi, menuduh, dan mempermalukan Juee di jalan. Jalanan yang penuh dengan banyak orang yang menikmati pergantian musim.

Ketika salju pertama turun, Juee sedang berlari menyusuri jalan setapak sambil menahan amarah yang siap meledak karena tertahan. Sepanjang perjalanan, dia hanya bisa meratapi kesedihan. Juee yakin kalau setelah ini Da-Reum tidak akan menerimanya sebagai sahabat, dia juga yakin kalau Suhee akan memanfaatkan momen ini untuk lebih dekat pada seseorang.

Pintu rumah dibuka dengan keras. Juee langsung masuk ke kamarnya tanpa membuka alas kaki. Seisi kamar yang begitu berantakan, beberapa cucian kotor yang tidak pada tempatnya, serta meja belajar yang penuh dengan kertas berserakan. Juee merasa bersalah dan takut untuk menghadapi esok hari.

"Juee!"

Panggilan itu membuat Juee bangkit sambil menyeka kasar sisa air matanya. Gedoran pintu pun makin keras yang membuatnya ingin marah. Waktu sudah mendekati tengah malam dan kakaknya mengetuk pintu seperti orang gila.

"Juee!" teriak sang kakak yang suara ketukannya akan menghancurkan pintu.

Dengan tongkat bisbol yang sering dimainkan sang kakak, Juee berjalan cepat agar dapat mengayunkannya setelah pintu terbuka. Namun, Juee langsung mundur beberapa langkah saat badan besar Woo-Soo menubruknya lalu memeluknya erat. Seperti posisi saat ini, hari itu pun kakaknya bertingkah aneh sekali.

Laki-laki yang mengenakan jaket kulit hitam dengan celana bahana yang memiliki sobekan di lutut itu bergumam sesuatu. Semula tidak terlalu jelas karena Juee meronta-ronta agar pelukan itu segera dilepas. Akan tetapi, Juee akhirnya menyerah, memilih untuk menerima pelukan dari sang kakak yang jarang sekali menjenguknya.

Aku benar-benar kembali. Enggak apa-apa. Dirimu akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Juee buru-buru melepaskan pelukan tersebut setelah ingatannya berhenti berputar. Pertanyaan yang diajukan seribu kali pun tetap tidak ada jawaban karena Woo-Soo enggan berkomentar apa pun mengenai kejadian malam itu. Terlebih pada Juee. Juee menggeleng lalu mundur selangkah dan maju beberapa langkah untuk mengambil tasnya.

"Aku pergi," pamit Juee tanpa basa-basi lagi. Dia hanya mengangguk sekali setelah berada di luar rumah dan hendak menutup pintu.

Setelah melepas kepergian adiknya, telepon berdering. Getaran di saku jaket denim yang digantung pada paku yang sengaja dipasang di pintu kamar. Woo-Soo meraih telepon selulernya dan menempelkan benda itu pada telinga.

"Yeoboseyo!" sapa Woo-Soo sambil tersenyum. "Bagaimana, Hyeong? Apa pencarian secara detail tentang gadis itu sudah selesai?"

"Tentu saja. Mudah sekali mendapatkan informasi untuk remaja yang menguasai tiga bahasa asing dan dikabarkan akan memasuki universitas ternama negeri ini."

Penjelasan runut dari Tuan Hong memberi Woo-Soo alasan untuk lebih mencurigai banyak orang.

Woo-Soo hanya bisa manggut-manggut. Laki-laki yang memiliki rambut dua sentimeter  itu menahan ponsel mengenakan bahu, tangannya sibuk mengenakan jaket. Bersiap untuk keluar.

"Ada insiden!" sela Tuan Hong yang berada di telepon.

"Apa?"

"Ahn Ji-Hoon, anak dari Komite Kedisiplinan Sekolah, pernah menuntut Da-Reum. Kecurigaan terhadap nilai-nilai yang hampir sempurna dari Olimpiade Matematika tahun lalu."

Woo-Soo mempercepat langkahnya mengatur perlengkapan yang akan dibawa. Tanda pengenal, pistol dengan sengatan listrik, dan uang yang disimpan di bawah lemari. Tangannya masih memegang benda elektronik tersebut.

"Ada sesuatu yang lain?" tanya Woo-Soo penasaran, "Ahn Ji-Hoon. Namanya Ahn Ji-Hoon?"

"Yes. Kendae ... anak itu berhasil membersihkan namanya karena olimpiade berskala nasional tidak mengidentifikasi kecurangan. Panitia acara itu menjamin keaslian soal dan sangat rahasia."

Di mana aku pernah mendengar nama itu? Ahn Ji-Hoon? Aish, aku merasa pernah melihat namanya atau mendengarnya di suatu tempat. Woo-Soo menutup panggilan ketika pria dari Badan Intelektual Negara itu memberikan semua informasi. Dia bergegas menekan nomor telepon dengan nama Da-Reum.

Mobil bekas abu tua yang tidak terurus dan terlihat kumuh dihampiri Woo-Soo. Dia membuka pintu dan langsung mengemudikannya ke tempat tujuan. Berharap mereka bisa bertemu di dekat sekolah dan tidak ada yang mengganggu karena Suhee, teman yang membenci dan menghalangi Da-Reum sedang di skors.

Woo-Soo pun ingin tahu informasi yang Da-Reum dapatkan selama dua Minggu ini. Mereka juga harus mengatur rencana dan menghalau kejadian nahas yang mungkin saja terjadi.

Kaki kiri Woo-Soo menginjak rem cepat kala ingatannya kembali pada nama Ji-Hoon. Telepon pada Da-Reum belum tersambung, dia memutuskan untuk menelepon Kyung-Ho, kepala tim tempat dia bertugas.

"Yeob—"

"Ji-Hoon!" sergah Woo-Soo, "Ahn Ji-Hoon, laki-laki yang mengemudi motor dan menabrak trafo listrik. Kejadian tahun lalu. Namanya benar Ahn Ji-Hoon?"

"Santai sedikit." Kyung-Ho terdengar menggerutu, tetapi akhirnya membalas, "Oh, benar!"

Woo-Soo memukul setir mobil. Kini dia sadar, terlalu berpikir rumit untuk mencari jalan keluar padahal semua yang terhubung sudah ada di depan mata. Apa mungkin ... Juee meninggal mengenaskan karena dirinya?

God's Gift: 100 Daysحيث تعيش القصص. اكتشف الآن