Tajuk 23: Kenapa Juee?

0 0 0
                                    

Woo-Soo menggenggam erat ponselnya. Gerak-geriknya seperti ingin membanting benda elektronik itu ke lantai rumah sakit yang dinginnya melebihi musim dingin. Sialan! Lantas kenapa? Kenapa dia mencelakai Juee sampai tega membunuhnya? Ironis, ketika mata Woo-Soo melihat Paman Kim dan Da-Reum sama-sama termenung. Pencariannya selama ini membuahkan hasil, tetapi bisakah dia menghentikan kematian adiknya tanpa kejadian menyedihkan lain sebagai gantinya. Saat dia menyadari semuanya, waktu yang diberikan telah mendekati batas.

“Maafkan Suhee, Da-Reum.” Paman Kim meraih tangan kanan Da-Reum yang hangat. Da-Reum mengangguk tersenyum.

Telepon seluler Da-Reum berbunyi saat dirinya menutup pintu rumah sakit setelah pamit. Woo-Soo pun ikut menoleh ke sumber suara dan berjalan terlebih dahulu, memberikan banyak ruang untuk si gadis yang seharusnya sedang mekar. Lulus sekolah lalu kuliah dan lanjut kerja. Namun, harinya kini harus terulang untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Menghindarkan diri dan teman-temannya dari masalah yang lebih besar. Kening Da-Reum berkerut, berkumpul di atas batang hidung. Ragu.

“Paman ...,” serunya lirih.

Woo-Soo menoleh dan menyahut, “Ye?”

Dengan tangan yang terangkat ke depan wajah, Da-Reum menunjukkan layar ponselnya menghadap Woo-Soo. “Ahn-Jeong!”

Dering ponsel terhenti. Dering kedua menyusul dan tatapan Da-Reum seolah-olah enggan untuk menyapa temannya itu. Kenapa ia harus takut dan menghindar saat semua bukti yang ada belum jelas dan begitu nyata.

Da-Reum buru-buru mengangkat telepon sesuai permintaan Woo-Soo. Laki-laki itu kini sudah merapatkan jaraknya pada Da-Reum. Tangan kiri mengusap layar, tangan kanan membawa benda pipih tersebut menyentuh telinga kanan, sebelum bersuara dia mengatur napas agar tempo dan intonasinya teratur.

“Oh, Ahn-Jeong!” serunya sambil berjalan, pandangannya tetap pada Woo-Soo.

“Shh ... sepertinya ....” Ahn-Jeong menarik napas kasar lalu melanjutkan, “Bagaimana kabar Suhee?”

“Dia belum sadar, Ahn.”

Mereka berjalan menggunakan lift sambil terus fokus mengatur obrolan untuk membuktikan bahwa Ahn-Jeong pelaku sebenarnya. Aku harap bukan. Kenapa dari sekian banyak orang yang membenciku, justru Ahn-Jeong yang begitu sering membantu? Mungkin Ji-Hoon melakukannya sendiri karena tidak suka dengan keputusan olimpiade tahun lalu.

“Hm, baiklah. Aku berharap dia akan segera pulih.” Ahn-Jeong tersenyum menyemangati. “Meskipun dia jahat padamu dan tidak setia kawan, dulu atau pun sekarang, kau tetap menganggapnya sahabat, kan? Sampai jumpa besok!”

Entah mengapa kalimat itu menghantui Da-Reum sepanjang malam. Bahkan, dalam mimpinya, tragedi mengenaskan yang terjadi malam itu, seperti terulang lagi dan lagi.

Pernahkah kamu berpikir bahwa nama Da-Reum bahkan mendominasi kalian berdua? Juee terus mengingat perkataan Ahn-Jeong yang tidak segan-segan mempermalukannya di depan adik kelas karena Juee menyukai Ji-Hoon. Ji-Hoon akan lebih memilih Da-Reum dalam segala hal dari pada dirimu, kan? Perkataan lainnya membuat Juee tidak percaya diri meskipun Da-Reum mendukungnya untuk menyampaikan maksud hati tersebut langsung pada Ji-Hoon. Namun, tidak pernah tersampaikan sendiri karena laki-laki yang dia sukai berdiri tepat di belakang laki-laki yang mencercanya.

Ji-Hoon hanya diam saja ketika menonton langsung orang lain mengolok-oloknya. Seharusnya dia marah pada laki-laki tinggi dengan predikat juara dua yang disandangnya dengan sifat dingin dan angkuh. Baiklah. Abaikan perihal keangkuhan seseorang jika orang tersebut memiliki keluarga nyata yang kaya, terhormat, terpandang, dan jelas keturunannya.

Entah bagaimana, Juee mulai merasa semua kebaikan Da-Reum memang untuk kebaikannya sendiri. Bantuan-bantuan kecil dan nasihat itu seolah-olah membagi kenyataan pahit bagi Juee bahwa persahabatan mereka bukan simbiosis mutualisme.

Sebotol susu dengan mereka yang sangat Juee sukai tersedia di mejanya. Saat kelas sedang kosong karena dirinya selalu berangkat pagi ke sekolah. Tangan Ahn-Jeong mengulurkan botol susu itu sembari mengucapkan, “Sorry. Rasanya kata-kata aku kemarin keterlaluan. Ji-Hoon pernah cerita kalau dia lebih suka sama Suhee dari kalian bertiga.”

Juee tersenyum kecut sambil membalas, “Kata-kata itu emang enggak ada yang salah.”

Ahn-Jeong duduk di bangku depan dengan tubuh yang menghadap pada Juee. Laki-laki itu bisa mendengar kalimat terakhir, ah ... mereka ternyata saling suka, membuatnya mengusap tangan Juee dengan lembut seakan-akan menyemangati.

“Tidak apa-apa. Belum terlambat untuk menyukai orang lain karena rasa itu mungkin masih bisa diselamatkan!”

Deg. Jantung Juee berdebar terlalu kencang. Sampai lupa diri dan melupakan apa yang sebenarnya diinginkan Ahn-Jeong untuk dilakukan.

Hubungan mereka lambat laun mekar. Tanpa sepengetahuan Suhee maupun Da-Reum, Juee menjalani hubungan percintaan remaja yang sehat dengan Ahn-Jeong. Saling bertukar pandang lantas tersenyum, memberi makanan, dan jika ada kesempatan jemari mereka bisa saling tertaut. Menyentuh kelembutan yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Mereka saling berbagi kenyamanan tanpa tahu akibatnya sejak hubungan itu kian menjauh.

Juee yang cerdik menyembunyikan hubungan akhirnya ketahuan Suhee. Bukan. Ji-Hoon memberitahunya tentang hubungan Ahn-Jeong dan Ji-Hoon. Mereka pernah sekali kencan berempat dan itu diketahui Ji-Han dan Hee-Sun. Akan tetapi, Juee tidak bisa lagi mundur dan menyanggupi persyaratan Ahn-Jeong satu per satu. Menjauhi dan membuat Da-Reum terpuruk adalah keputusan yang salah.

Malam itu, Juee datang karena Ahn-Jeong menyuruhnya kemari. Senyum mekar di wajahnya seolah-olah kehidupan cintanya akan semakin berkembang, mereka akan memberi tahu semua teman di sekolah dan tidak lagi membatasi jarak karena Ahn-Jeong sudah membalaskan dendam.

“Da-Reum? Sedang apa kau di sini?”

Ekspresi terkejut gadis di depan Juee melebihi keterkejutannya. Da-Reum dengan polosnya mengatakan kalau Juee-lah yang memintanya untuk datang. Sedangkan, dirinya tidak tahu menahu soal itu.

Ketika tengkuk Da-Reum dipukul dan jatuh pingsan, Juee melihat semuanya. Malam yang membuat angan-angan keindahan berganti gelap menakutkan. Bagaimana pengakuan Ahn-Jeong yang tidak terelakkan membuat hatinya hancur.

“Kau berhubungan dengan Ahn-Jeong?” tanya Woo-Soo pada Juee yang tengah menunduk di meja belajar. Tidak mengindahkan pertanyaan sang kakak Juee melepas tangis yang sempat ditahan.

“Jawab! Apa yang sudah dia lakukan padamu selama ini?” hardik Woo-Soo sambil menarik tubuh Juee supaya berdiri tegak.

“Mianhae, Oppa. Aku enggak tahu dia cuma manfaatkan rasa suka kami. Aku seharusnya sadar kalau dia hanya mau membuat Da-Reum menderita lewat teman terdekatnya. Apa yang harus aku lakukan?”

Sebelum semuanya terlambat, mereka telah menyusun rencana.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now