Tajuk 22: Si Kembar

1 0 0
                                    

Ji-Hoon menabur abu di sungai Yongtse. Air mata jatuh menggarisi pipinya yang sedikit lebam serta sembap. Di sudut pelupuk mata, biru keunguan tercetak jelas. Memberi kesan yang menakutkan ketika kelopak mata yang seharusnya menutup, kini terbuka. Jelas, bocah itu memaksakan diri untuk terus terjaga walau dengan keadaan yang mengerikan. Dia menaiki perahu kecil agar sampai ke tengah dan mengapung di atas air yang tenang. Hangatnya musim gugur memberikan seberkas keindahan untuk melepas seseorang yang amat berharga. Di samping Ji-Hoon, saudari kembarnya terduduk di anyaman kayu tersebut sambil menutup dada. Hanya menemani sang kakak yang tengah menabur abu tanpa bisa membantu. Padahal, itu terakhir kalinya mereka harus bertemu.

Sosok yang seharusnya terbaring manja di kamar yang superbesar. Rohnya harus terempas ke laut. Sosok yang amat sangat lembut, tetapi berhati baja itu pergi meninggalkan mereka ketika si kembar sedang sibuk mengejar mimpi dan jati diri. Kilat bayang yang terpancar dalam senyum penuh kasih harus pergi. Meninggalkan si kembar dengan laki-laki yang selalu seenaknya sendiri. Laki-laki yang menginginkan penghormatan, tetapi tidak menghormati dirinya sendiri dan orang lain. Laki-laki yang ingin kepatuhan dan dedikasi, tetapi tidak pernah memberi contoh yang seharusnya.

Laki-laki itu berdiri di tepi sungai sambil menekuk lutut. Air mata yang bercucuran, rambut klimis yang menjadi terang karena sinar matahari yang mengenai. Kedua tangan terangkat sambil terus tersedu, terisak, dan terkekeh. Begitu penggambaran yang jelas di mata Ji-Han. Setelah abu kakak perempuannya habis ditabur, mereka berdoa sambil berharap bisa melepas kepedihan ini. Akan tetapi, semuanya hanya harapan saja. Tuhan, sama sekali tidak membantu.

"Apa lagi yang akan hilang dari kita?" tanya Ji-Han sambil memegang tangan kanannya yang memar. Meski diolesi dengan obat luka atau pun pereda, mereka tetap timbul kembali ke permukaan tatkala suasana hati ayahnya memburuk.

Ji-Hoon tertawa kecil, sudut bibirnya terangkat cukup tinggi dan menampilkan gigi taring yang tajam dan putih. "Menurutmu?" sarkasnya, "bukankah sudah jelas kalau nyawa kita pun akan hilang."

"Benar. Semoga Tuhan mempercepat."

"Apa yang kalian lakukan?" teriak suara menggema yang membuat tubuh keduanya kaku, tetapi juga cukup hebat menahan getar.

Laki-laki itu berjalan sambil menimbulkan bunyi di sekitar ruangan yang besar dengan lantai krem yang berhias bunga-bunga Ginkgo kesukaan ibunya. Dia membentak, "Dasar anak-anak pemalas! Apa kalian harus tetap di sana setelah pemakaman selesai? Orang mati tidak akan hidup kembali. Kau paham?"

Paham. Ji-Han dan Ji-Hoon akan sangat memahami hal itu jika yang pergi selamanya bukan dari seseorang yang membuatnya berantakan. Dia takut akan hal tersebut ketika ayahnya hendak mengayunkan tangan ke wajah seperti biasanya.

Namun, beruntunglah mereka ketika pembantu rumah tangga menghampiri dan mengabarkan ada tamu. Keluarga Yang ternyata mengenal kakak Ji-Han. Yang Ahn-Jeong yang berusia dua belas tahun bertemu dengan si kembar yang sebaya. Pun, pertama kalinya mengenal Da-Reum yang menemani Ahn-Jeong.

Ketika dua manusia dengan nasib yang sama dan ingin mencari perlindungan, apa yang mereka rencanakan? Mereka membuat janji pertemanan yang mendalam ketika sampai di sekolah menengah yang sama. Pertemanan yang berkembang cepat, menaruh kebahagiaan dan rasa saling percaya. Tindakan kekerasan ayahnya telah berkurang karena usia yang tidak bisa lagi dikembalikan.

"Ayah membuat ibuku terbunuh! Aku tahu itu."

Malam itu perlawanan Ahn Ji-Hoon dimulai. Ji-Han yang ketakutan terkesiap dan tidak sengaja menjatuhkan mainan kaca yang berisi air dengan sinterklas dan pohon natal. Kakinya menginjak serpihan tersebut sampai berdarah.

"Dasar, kau!"

Ji-Hoon mundur. Pertama kali dalam hidup dia menghindar dari layangan tangan kasar yang akan mengenai wajahnya. "Aku tidak pernah mengatakannya pada siapa pun. Termasuk Ji-Han. Aku melihatnya! Aku melihat bagaimana ibu meregang nyawa karena ayah memberinya obat yang berlawanan karena perselingkuhan ayah."

Ayahnya terkesiap.

"Aku tidak pernah bisa melupakannya. Melupakan tragedi siang itu dan lima tahun yang lalu. Bagaimana Ji-Hyo Noona terjatuh karena ayah mendorongnya. Padahal apa kesalahannya kalau dia melindungi kami?"

"Berisik! Dasar anak tidak tahu diuntung. Dia bukan kakakmu!" hardiknya dengan meraih kerah baju sekolah anaknya. "Perempuan jalang itu bukan anak pertamaku! Dia sama seperti ibunya yang menyedihkan!"

"Lalu bagaimana dengan kami?" tanya Ji-Han sambil terisak dan suaranya pelan sekali.

"Kalian?" Laki-laki itu tertawa seraya menghempaskan tubuh Ji-Hoon ke lantai. "Tentu ... kalian adalah anakku!"

Mata keduanya berair. Lalu ... lalu kenapa kau memperlakukan kami tidak lebih buruk dari anak orang lain? Ji-Han membatin dan hendak mendekati Ji-Hoon. Tangan kiri Ji-Hoon bergetar, seperti biasanya karena cidera sewaktu kecil.

"Tapi sayang. Kalian seharunya tidak lahir bersama. Itu membuatku benci dengan rengekan kalian yang menyakiti gendang telingaku dan ibumu ... ibumu tidak secantik ketika pertama kali kami menikah!" cercanya, "karena kalian!"

Menyakitkan. Namun, setelah keberanian hari itu dan kelemahan pria tua yang semakin bertambah menambahkan lebih banyak kebahagiaan dan kurangnya rasa takut. Perlawanan itu menjadi awal sebuah kesepakatan.

"Aku membenci gadis itu."

"Aku kira kau menyukainya, Ahn!" balas Ji-Hoon sekenanya.

"Kau gila?" Ahn-Jeong melotot. "Setelah melihat bagaimana bejatnya orang tuaku, mereka pergi begitu saja setelah mengolok-olokku."

"Mereka melihat dan mendengar, tetapi enggan untuk menolong? Kau ingin apa?"

"Aku ingin mengajarinya rahasia itu, Hoon-ah!"

Rahasia bagaimana kesulitan hidup menancap di ubun-ubun tanpa seorang pun yang dapat membantu. Walau pun orang-orang itu, sebenarnya, bisa mengatasi masalahmu.

Da-Reum mendengarkan dengan saksama rahasia Suhee. Suhee menyukai Ji-Hoon dan Juee menyukai Ahn-Jeong. Keduanya akan berkencan setelah membereskan sebuah masalah. Tunggu. Apa Da-Reum tidak salah dengar? Juee menyukai Ahn-Jeong? Tidak mungkin. Gadis itu jelas-jelas menyukai Ji-Hoon. Suhee menyukai Ji-Hoon.

"Anak itu bilang kalau dia telah ditipu. Ji-Hoon telah menipunya. Anak nakal itu melakukan berbagai cara untuk melepaskan diri dari Ji-Hoon dan berharap menjelaskan semuanya kepadamu," terang Paman Kim.

Di lain sisi, Woo-Soo menerima telepon dari Tuan Hong. Ahn-Jeong tidak sekadar anak-anak berusia sembilan belas tahun.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now