Tajuk 18: Titik Terang

0 0 0
                                    

Setelah perawat melepaskan masker oksigen dan memastikan Da-Reum sudah tenang, perempuan dengan seragam ungu itu pergi meninggalkannya. Ruangan besar memiliki banyak sekali pembatas kaca dan tirai. Kaca besar yang dibingkai putih kebiru-biruan tidak transparan karena memiliki motif menyerupai bentuk bunga yang memenuhi permukaan.

Sesekali Da-Reum melirik pada laki-laki yang memakai seragam sekolah sepertinya. Laki-laki itu sedang sibuk membaca buku, bukan buku pelajaran atau pun buku-buku rumus cepat yang biasanya Da-Reum bawa. Ahn Ji-Hoon sedang membaca novel dengan sampul mode gelap dengan seorang gadis berseragam sebagai objek penasaran dari kover tersebut.

Merasa mendapat perhatian yang tidak mengenakkan, remaja yang duduk sambil menyilangkan kaki, matanya ditutup buku mengubah posisi duduk. Ahn- Ji-Hoon menurunkan letak buku yang sejajar dengan wajah sampai ke dada, balas menatap temannya yang sedang terbaring. Tetap dingin, tanpa ekspresi.

“Kenapa?” tanya Ji-Hoon sambil mengernyit ketika Da-Reum membuka mulut. Menyela sebelum gadis itu bisa berbicara.

Ji-Hoon kembali menutup wajah saat gadis itu mengedarkan pandangan. Dia melanjutkan, “Ahn-Jeong ada keperluan. Dia memintaku untuk menjagamu sampai tersadar.”

Gerakan cepat Ji-Hoon menguatkan tas gendong di pundak tidak Da-Reum sadari. Remaja seusia Da-Reum itu berdiri menghadapnya seraya menutup buku dan menentengnya. “Aku harus pergi. Aku yakin kau sudah sadar dan bisa memutuskan semuanya sendiri.”

Maksudnya? Giliran Da-Reum mengernyit. Memutuskan apa maksud dia? Da-Reum melihat rivalnya sejak kelas sepuluh itu menggeleng pelan lalu menarik napas. Membenarkan poni pendeknya ke kiri.

“Maksudku, kalau kau ingin pulang atau tetap di sini, itu pilihanmu. Kau ... tidak perlu penjagaan, kan?”

Da-Reum mengangguk dan membalas, “Terima kasih.”

“Ahn-Jeong mungkin terlambat,” kata Ji-Hoon sebelum pergi.

Punggung tegap dan gagah itu berjalan santai ke luar, sesantai dia menyibak rambut yang kembali acak ketika angin di ruangan terbuka mengenainya. Ji-Hoon mengeluarkan ponsel lantas menelepon adiknya.

“Oh, Ji-Han-ah!” sapanya. Suara di dalam telepon genggam itu belum menjawab.

“Apa kau pernah bermimpi seseorang saat seseorang itu berada dekat dengan kita? Sepertinya mimpi buruk.”

Suara di seberang sana terdengar malas menjawab. Mungkin, memang tidak berniat menjawab. Ji-Hoon menggerakkan buku berukuran delapan belas sentimeter itu menepuk pahanya. Menunggu jawaban saudara kembarnya yang sedang berceramah panjang lebar.

“Kenapa bisa? Bukannya minta maaf karena menghilang tanpa kabar, kamu malah bertanya enggak jelas!”

Ji-Han marah. Tentu saja. Adiknya yang datar di mata orang lain, selalu menjengkelkan di mata Ji-Han. Bahkan, hal sepele seperti itu harus dia tanyakan ketika dirinya sudah mendapat hukuman dari orang tuanya karena Ji-Hoon tidak datang les hari ini.

“Ah, aku minta maaf, Kak.”

Sambungan telepon diputus. Laki-laki itu pergi dengan santai menyeberangi jalan dan pergi ke halte untuk menunggu bus sambil melanjutkan membaca. Beberapa panggilan tidak terjawab membuatnya mengutuk, hari ini sepertinya akan terlewati dengan cara yang lebih buruk dari kemarin. Dia menutup bukunya lalu bersandar pada tiang penyangga, mendongak, dan menutup mata. Lelah.

Alis Ji-Han berkerut ketika tanpa sadar dia marah-marah tidak jelas, dia menutup ponsel lipatnya lalu menaruhnya di atas meja. Dia meringis ketika tidak sengaja lengannya menabrak sisi meja. Dia memegang luka di betis dan lengannya yang tertutup baju tidur.

Ke mana Ji-Hoon pergi sampai lupa untuk les? Ji-Han berputar di kursi belajar kembali menatap buku tebal dan siap untuk mengerjakan soal-soal yang ada di sana selepas materi yang tadi siang diajarkan guru lesnya. Menghela napas panjang sampai kapasitas oksigen di paru-paru terkuras.

Telepon Ji-Han bergetar. Notifikasi pesan dari Hee-Sun yang mengabarkan kalau Suhee berhasil diselamatkan. Ji-Han cukup senang karena bisa mengurangi rasa bersalah di hatinya. Ji-Han menutup buku tebal juga buku tulis, menyimpan pensil dan pulpen di cangkir yang sudah dihias dengan kertas motif bunga-bunga.

Gadis itu beranjak dari kursi menuju tempat tidur, sekilas melirik meja Ji-Hoon yang saling membelakangi, ujung ke ujung. Dia tengkurap sambil mengetik pesan balasan untuk Hee-Sun, berterima kasih. Tangan kanannya membiarkan ponsel tergelatak dengan sembarang, dia membalik badan dan telentang. Berpose seperti bintang laut yang memiliki lima kaki lalu menatap langit kamar. Kosong. Hanya ada lampu tempel dengan cahaya putih. Baik untuk digunakan pelajar.

Ji-Han menyipit lalu menggeleng cepat. Dia tidak tahu kalau Suhee lebih memilih untuk mencelakai diri sendiri dari pada jujur padanya. Juee pun sama sekali tidak bersuara. Keduanya tidak terpengaruh dengan permohonan Ji-Han. Apa ancaman akan mempan?

Sebentar. Suhee sepertinya tidak menyukai Da-Reum dekat dengan Ahn-Jeong? Kendae, wae? Dia seharusnya tahu kalau Ahn-Jeong dan Da-Reum hanya sebatas teman sejak sekolah dasar. Semua teman-teman mengetahui hubungan keduanya. Sebatas teman. Ji-Han menyentuh kepalanya. Kenapa dia tidak langsung bertanya pada Da-Reum?

Ji-Han berpikir sejenak setelah mengotak-atik benda persegi panjang yang memantulkan cahaya ke bola matanya. Nomor Da-Reum sudah muncul paling atas di kontak telepon. Dia mulai mengetik sesuatu untuk memulai percakapan.

Gadis yang memainkan telunjuknya dengan membentuk segitiga di hamparan putih langit kamarnya tampak ragu. Balasan belum juga diterima. Apa dia perlu pesan yang memancing Da-Reum membutuhkannya.

Ji-Han ragu. Bagaimana respons Da-Reum ketika dirinya memberi tahu tentang kejadian lima hari yang lalu. Saat mereka melihat Da-Reum dan Ahn-Jeong di sekolah.

[Aku punya pertanyaan. Apa hubunganmu dengan Ahn-Jeong?]

Jempol kecil Ji-Han hanya dapat mengetik kalimat tersebut. Keraguan dalam hatinya semakin membuncah karena pesan singkat yang dia kirim tidak kunjung mendapat balasan. Padahal dengan jelas notifikasi pesan diterima. Bergeraklah lebih dahulu, Ji-Han. Bertanya pada Ji-Hoon tentang hal ini pastinya tidak akan mendapat jawaban. Mungkin, orang tua mereka pun tidak akan tahu bahwa Ji-Hoon sudah berubah. Benar-benar berubah.

[Aku menemui Suhee lima hari yang lalu. Saat dia diduga menghilang. Aku hanya ingin tahu tentang adikku. Apakah dia memberi tahu sesuatu tentang apa pun padamu?]

Terkirim.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now