Tajuk 19: Tersangka

0 0 0
                                    

Hah. Ji-Han terkesiap ketika pintu dibanting kasar dan keras. Debamnya membuat gadis itu ngilu. Tubuh tinggi nan kurus adiknya terjerembap di lantai dan badan tegap nan besar ayahnya menjulang tinggi di atasnya.

Mata kami bertemu. Ji-Hoon merangkul erat tas yang berisi buku-buku pelajaran hari ini untuk menguatkan diri. Tendangan di perutnya semakin keras, pukulan di kaki pun sepertinya sudah terlalu biasa.

“Kau tahu berapa biaya yang harus aku keluarkan untuk memenuhi kebutuhan les privatmu? Beraninya kau tidak datang padahal sekolah sudah membubarkan kalian sejak jam makan siang tadi!”

Ji-Han menunduk. Dia tidak bisa pergi dan menghalangi adiknya. Berharap penderitaan ini berakhir dan pria tua yang tidak tahu diri itu mati.

Ahn-Jeong membawa Da-Reum ke luar dari rumah sakit Yeonghwa. Mereka berjalan sambil menunggu taksi yang melintas tepat di depan mereka. Laki-laki itu melihat Da-Reum yang menggenggam erat penghangat tangan yang diberikannya beberapa jam lalu. Laki-laki itu merasa bingung karena sang gadis hanya diam saja ketika Ahn-Jeong datang.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Ahn-Jeong sembari menyimpan kantong keresek berisi bubur abalone untuk mengisi energi temannya yang terbaring.

Da-Reum mengangguk lesu seraya bangkit untuk duduk dengan bantuan cekatan Ahn-Jeong. Dia pun tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini teman masa kecilnya itu teramat dekat. Ahn Jeong, laki-laki itu berada di kelas saat dia didorong Woo-Soo dari atap. Apakah? Da-Reum menatap tanpa berkedip saat laki-laki di depannya mengeluarkan kotak bubur yang mengeluarkan asap. Perut yang keroncongan minta diisi. Suaranya pun tampak nyaring membuat Da-Reum menunduk dan menyentuhnya.

“Makanlah,” titah Ahn-Jeong, “aku yakin kau lapar.”

Suasana menjadi canggung. Perawat yang hilir mudik memeriksa pasien, banyak suara mengaduh atau pun merintih, tidak ada satu saja kesenangan. Dokter yang tampak sibuk mengecek satu per satu pasien yang sudah dirawat suster. Bunyi sirene dari mobil ambulans yang terus berdatangan, beberapa orang yang mengobrol dengan keluarga mereka di atas ranjang seperti Da-Reum dan Ahn-Jeong.

Da-Reum makan dengan lahap. Tangis yang berlangsung hampir setengah hari itu menguras tenaga. Dia masih tidak percaya kalau Suhee yang di masa lalu bisa sehat-sehat saja kini terbaring di rumah sakit. Ah.

“Apa kau tahu kabar dari Suhee?” tanya Da-Reum berhenti menyuap.

Ahn-Jeong yang menggenggam ponsel melirik Da-Reum lalu membalik benda itu menghadap. “Dia berhasil melewati masa kritis. Kau ... bisa tenang!”

Penjedaan di kalimat Ahn-Jeong menimbulkan kerutan di kening Da-Reum, tetapi karena tidak memahaminya dia hanya mengangguk.  Kembali mengambil sesuap bubur yang tinggal tiga suap lagi. Menghabiskan semuanya lalu meneguk minum yang diberikan Ahn-Jeong dan sebuah penghangat tangan.

Ahn-Jeong menatap gadis di atas ranjang sambil tersenyum. Matanya beralih kembali ke ponsel yang berada di atas meja, balasan dari seseorang membuat dia kembali menoleh. Sebelah alisnya terangkat ketika menelisik wajah itu dari bawah ke atas. Leher yang bergerak naik turun karena meneguk air mineral menjadi sasaran selanjutnya.

“Ehm ... di mana Suhee dirawat? Kau tahu?” Da-Reum memutar tutup botol sambi memperhatikan Ahn-Jeong yang mengedarkan pandangan. Gadis itu risi.

Setelah menggaruk leher yang tidak gatal karena menaruh perhatian berlebihan Ahn-Jeong baru menjawab, “Rumah Sakit Seonguk. Kau mau ke sana?”

Da-Reum mengangguk. Mereka kini menunggu taksi untuk pergi ke Rumah Sakit Seonguk tempat Suhee dirawat. Malam yang dingin menyapa kulit wajah yang tidak tertutup apa pun. Salju sudah mencair menjadikan jalanan yang mereka lalu menggenang air. Angin yang semakin lama dinikmati semakin menusuk itu tidak berniat untuk mundur dan memberikan istirahat bagi penghuni. Bahkan tembok yang menjadi tempat duduk sangat dingin.

Ahn-Jeong berdiri. Memastikan ada taksi yang melewati mereka di sini atau harus memanggilnya di depan jalan sana. Meskipun tidak kunjung tiba, laki-laki itu tetap berdiri tegak sambil memandang ke satu arah.

“Duduklah!” pinta Da-Reum setengah teriak. Tangannya menepuk tembok di sebelahnya, dagu gadis itu diarahkan pada tangannya.

Ahn-Jeong duduk di samping kiri Da-Reum. Matanya melihat ke bawah, dua kaki yang terbalut dengan kaus kaki hitam dibalut sepatu pantofel berwarna senada. Dia sedang berpikir.

“Apakah baik-baik saja ...,” kata Ahn-Jeong menggantung.

“Eh?”

“Kenapa kau masih berusaha menyelamatkan Suhee padahal dia yang memfitnahmu berkencan dengan laki-laki tua. Kenapa?” tanya Ahn-Jeong tidak mengerti pemikiran Da-Reum.

“Dia temanku. Dia juga pernah menjadi sahabatku. A-ni. Kami masih sahabat sampai hari ini, Ahn. Tidak mungkin aku tenang saja kalau dia dalam bahaya.”

“Dia membahayakan nyawanya sendiri,” sela Ahn-Jeong dengan nada sedikit tinggi.

“Tap—“

Ponsel seseorang berdering. Da-Reum menyadari nada musiknya menyebabkan Ahn-Jeong terdiam dengan menatap Da-Reum yang mengabaikannya dan mencari ponsel. Di ransel hitamnya, dia menemukan benda tersebut lantas  mengecek siapa yang memanggilnya. Jempolnya mengusap layar ke kiri untuk menolak panggilan tersebut, telepon genggamnya dia taruh di saku kemejanya.

Gadis yang mengikat rambutnya mengatur napas karena lagi-lagi ponselnya berdering. Da-Reum menatap Ahn-Jeong sejenak dan mengabaikan panggilan dari kakaknya Juee.

“Kau bisa menjawabnya.” Ahn-Jeong mengeluarkan ponsel untuk melihat jam yang terus bergerak. Dia berdiri membelakangi Da-Reum yang memandangnya lekat, sedang apa dia di sana hari itu? Lantas, kenapa gerak-gerik dan perilakunya sangat mengganggu.

Da-Reum mematikan ponselnya dan mengubah notifikasi pesan dan telepon agar pindah ke mode bisu. Hati Da-Reum menjadi tidak terarah, tidak karuan. Dia menemukan dirinya sendiri berprasangka pada orang-orang yang kini mendekatinya. Bukankah terlalu aneh jika kejadian yang seharusnya terjadi, tidak lagi terjadi. Bukankah, seseorang mungkin mengubahnya?

Kamu, Da-Reum. Jika keadaan di dunia ini berubah itu karena kamu kembali ke sini dan membalikkan semuanya. Hee-Sun selamat dan masih ada di sini, tetapi Suhee berbaring di rumah sakit. Da-Reum terbebas dari tuduhan Suhee, tetapi Suhee yang mendapat balasannya.

Da-Reum berlari ke jalan meninggalkan Ahn-Jeong yang sejak tadi berkutat pada ponsel miliknya. Kalau tidak peka, laki-laki itu akan mengabaikan suara sepatu di belakangnya yang menjauh ke jalan besar.

“Da-Reum!” panggil Ahn-Jeong sambil mengejarnya. Langkah kaki panjangnya sangat mampu mengejar Da-Reum yang sampai dalam dua belas detik ke gerbang keluar.

Keduanya berlari ke jalan raya. Da-Reum sampai di rambu lalu lintas yang berwarna hijau, dia membungkuk memegang lutut sambil terengah-engah. Dia ingat telepon dari Woo-Soo dan mengecek terlebih dahulu ponselnya. Pesan dari Ji-Han memperjelas sesuatu. Dia menatap laki-laki di sampingnya yang berdiri dengan napas pendek dan cepat.

Ahn-Jeong.

God's Gift: 100 Daysحيث تعيش القصص. اكتشف الآن