Tajuk 17: Kurang 43 Hari

2 0 0
                                    

Ahn-Jeong membawa tubuh gadis lemah di punggungnya. Dia bergerak menuruni banyak anak tangga dan tiga tikungan tajam. Meskipun penuh kehati-hatian, Ahn-Jeong menyebabkan kepala gadis itu terbentur ujung tembok yang lancip. Namun, anehnya gadis itu tidak menjerit sedikit pun. Laki-laki mengenakan seragam putih dengan rompi biru tua menurunkan Da-Reum dari punggungnya, membaringkan tubuh itu di lantai.

“Da-Reum? Wang, hey?” seru Ahn-Jeong sambil mengangkat punggung gadis itu di tangan kirinya. “Wang Da-Reum?”

Ahn-Jeong melihat ke atas, di ujung anak tangga paling atas tidak ada siapa pun. Koridor di depan pun sangat sepi karena siswa-siswi dibubarkan terlebih dahulu. Tangan kanannya mengeluarkan ponsel dari saku celana abu-abu, menekan beberapa angka lantas menempelkannya pada telinga.

“Iya, saya perlu bantuan. Kami berada di Yeonghwa School lantai tiga, teman saya pingsan beberapa menit yang lalu!” jelasnya, “palli-yu!”

Ahn-Jeong mengelus puncak kepala Da-Reum, lalu turun mengelus pipi hingga dagu. Laki-laki itu menggigit bibir bawah, tangan kanan yang menyentuh wajah gadis yang tidak berdaya bergerak ragu. Kepalanya perlahan mulai condong ke depan, kian dekat ke wajah Da-Reum dan mata tertutupnya. Embusan napas mereka bertukar, sedikit lagi bibir Ahn-Jeong akan mengenai hidung Da-Reum, tetapi kegiatannya berhenti ketika seseorang di atas tangga berbincang.

“Begitu!”

“Ah. Tidak seperti itu, Hyeong!” sela Woo-Soo setelah mendengarkan penjelasan Kyung-Ho. “Juee ... adikku, adalah teman dekat Da-Reum dan Suhee. Mereka memang terlibat percekcokan, tapi apa bunuh diri pilihan yang baik dari perkelahian sepele. Maksudku—“

“Ck. Aku enggak mau tahu soal itu. Da-Reum, Juee, atau mungkin Hee-Sun harus memberi pernyataan tentang hari-hari sebelumnya.” Kyung-Ho langsung memotong pembicaraan Woo-Soo yang sedari tadi mengelak.

Mereka menuruni tangga dengan langkah lambat karena sambil mengobrol. Tidak menangkap kejanggalan di area tersebut mereka melawati Ahn-Jeong yang sedang memapah Da-Reum ke koridor menuju kelas di lantai tiga. Sedangkan dua pria tadi berbelok kembali menuruni tangga.

Kyung-Ho mendapat telepon dari salah satu juniornya yang ikut mengantar Suhee ke rumah sakit. Mereka juga telah menghubungi wali korban dan menerima pemeriksaan dari dokter. Kyung-Ho mengangguk mengerti setelah membuat Woo-Soo diam. Pria itu pergi keluar untuk menyusul ke rumah sakit. Dengan buru-buru.

“Ada apa?” Woo-Soo menyusul dan menyejajarkan langkah dengan pemimpin timnya. Mengikuti ke arah area parkir setelah pos penjaga.

Kyung-Ho membuka pintu mobil sambil menjawab, “Pamannya Suhee memarahi Myung-Hae. Bapak Tua itu, membuat keributan di rumah sakit!”

Paman Suhee? Nee ... aku harus mendapatkan informasi tersembunyi dari Suhee lewat pamannya yang sangat dipercaya itu. Bukankah editan video itu dibantu oleh pamannya? Woo-Soo mundur dan berbalik, berjalan cepat untuk mengambil mobilnya dan mengikuti seonbae-nya ke rumah sakit.

Bersamaan dengan dua mobil keluar melalui jalur kanan, mobil ambulans putih dengan pelat ungu dan merah di bagian tengah datang. Woo-Soo yang terlalu fokus pada paman Suhee untuk meraih keselamatan sang adik, melupakan Da-Reum begitu saja.

Ahn-Jeong menaikkan gadis itu ke ambulans. Di dalam mobil dengan peralatan medis yang cukup, Ahn-Jeong fokus pada jemari Da-Reum yang panjang, dia mengambil ponsel yang menyembul di saku rok gadis itu dan menyembunyikannya.

Jantung seakan-akan meledak. Angin malam yang berembus kencang seperti menerbangkan sehelai bulu dan membawanya terbang entah ke mana. Di hamparan langit gelap, tidak ada sesuatu pun yang digapai. Bulan dan bintang-bintang yang menghias tidak pula memberi bantuan, tidak ada yang mau. Satu pun tidak mampu.

Setelah terenyak dan melayang dalam gelap Da-Reum membelalak, menatap laki-laki yang mendorongnya tengah panik lantas mengulurkan tangan. Namun sayangnya, uluran itu terlalu jauh hingga sulit digapai. Matanya yang membulat sempurna melihat sosok yang sangat dikenalinya di lantai tiga, tempat kelasnya berada.

Pandangan Da-Reum bertemu dengan laki-laki itu sebelum akhirnya benar-benar merasa jatuh. Paru-parunya seperti kehilangan fungsi karena sulit sekali bernafas. Dia tergolek di tanah dengan rasa sakit yang luar biasa. Tangan yang terbuka itu pun tidak sanggup bergerak. Cairan kental keluar dari mulutnya, seluruh tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. Bau amis tercium. Kesadaran Da-Reum perlahan memudar.

“Enggak, enggak mungkin!” batinnya.

Apa yang terjadi padaku? Da-Reum menoleh ke samping kanan, laki-laki yang kini kembali bersamanya sedang berdiri kaku melihatnya.

“A ... Ahn ....”

Laki-laki itu duduk seraya menaruh lututnya pada lengan kanan Da-Reum. Mata sayu yang tertunduk lesu itu menangkap penderitaan yang Da-Reum rasakan. Dia menekan lututnya dengan sengaja membuat Da-Reum meringis semakin kesakitan.

“Kalau saja ....” Perkataan laki-laki itu menggantung lantas terbawa angin. Wajahnya didekatkan ke samping telinga Da-Reum.

“Kalau saja kau tidak kembali ke masa lalu dan menghancurkan semuanya. Menghancurkan segala persiapan. Rencanaku tidak akan gagal dan membuat Suhee kehilangan nyawanya. Kau tahu?”

Rasa sakit itu semakin membuat Da-Reum tersiksa. Kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan seorang teman yang selalu menemaninya, menyebabkan tubuh Da-Reum bergetar hebat sambil mengeluarkan lebih banyak darah.

“Akan ada banyak kejutan. Nantikanlah!” ucap laki-laki itu penuh ancaman.

Mulut Da-Reum terbuka lebar ketika laki-laki itu bergerak menjauh dan membelakanginya. Punggung itu? Punggung yang dilihatnya ketika berada di atap bersama Juee. Kejadian di masa depan. Da-Reum ketakutan. Akan tetapi, sulit untuk bangun dan mengejarnya. Dia ingin memanggil nama laki-laki itu berharap bisa menghentikan. Bahkan untuk nama belakangnya saja, sulit sekali.

Tangan kanan Da-Reum ingin meraih laki-laki itu, tetapi tetap tidak bisa. Dia bergerak gelisah sembari mencium bau darah yang menyengat di sekitarnya. Dia menatap langit kembali, ke arah atap, laki-laki yang mendorongnya sedang menatap tersenyum.

“Da-Reum!” panggil seseorang.

“Halo, Nona!” seru seseorang, “Pasien, apa Anda bisa mendengar perkataan saya?”

“Pasien?” Laki-laki yang mengenakan jas putih itu menepuk pundak pasiennya yang terbaring gelisah di ranjang. Teman-teman yang lain hanya memperhatikan dengan saksama.

Da-Reum terperanjat, langsung membuka mata masker oksigen yang menempel di hidung dan mulut menutupi setengah wajahnya. Dia tidak bisa melupakan kejadian barusan yang ternyata hanya bagian dari alam bawah sadarnya. Ahn Ji-Hoon.

“Ahn Ji-Hoon,” kata Da-Reum dalam satu tarikan napas. Laki-laki yang sejak tadi menemaninya dengan masa bodo tiba-tiba peduli dan bangkit.

Pandangan keduanya bertemu. Dokter yang memeriksanya masih mengecek secara keseluruhan sambil memperhitungkan sesuatu. Sang dokter memberi tahu perawat untuk memberi dosis dan jadwal memeriksa pasien.

Ahn Ji-Hoon berdiri sambil melihat ke mata Da-Reum, ekspresi datarnya terasa dingin. Dia memutuskan untuk kembali duduk karena sang pasien hanya menatapnya tanpa berbicara lebih jauh. Ahn Ji-Hoon mengeluarkan ponsel dan menelepon.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now